Novalin membuka matanya. Sisi disebelah ranjangnya kosong. Gawat. Buru-buru Novalin bangkit dan mencari keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu berada dalam rumah membuat Novalin beralih menuju kamar putranya. Javier masih mengucek matanya ketika Novalin membuka pintu kamar putranya.
"Selamat pagi Mom."
"Selamat pagi sayang, Jav lihat Daddy?"
Javier menggeleng. "Belum Mommy. Daddy kenapa memang?"
Novalin berusaha menenangkan diri. "Tidak apa-apa sayang. Kalau masih ngantuk, tidur aja lagi bentar."
"Tidak Mom, aku harus ke sekolah cuaca sudah bagus Mom." Jelas puteranya melirik ke arah jendela yang memantulkan berkas cahaya matahari pagi.
Novalin mengabaikan perkataan puteranya dan langsung berlarian keluar rumah. Mustahil Saga akan menghilang dari pandangannya hanya dalam jangka waktu semalaman. Novalin menyesali keputusannya untuk mengatakan semua pada lelaki itu. Apakah dia terlalu cepat mengatakannya. Namun menurut David, bila Novalin menahan informasi itu maka Saga akan dipastikan tiba-tiba pingsan lagi karena nyeri dikepalanya.
Jantung Novalin hampir copot ketika menyaksikan Saga akhirnya muncul dari pantai menuju rumah mereka.
"Ga, kamu dari mana?!" jerit Novalin sambil mendekati lelaki itu.
Saga membalas menatap wanita itu dengan bingung. Ditangan kanan Saga ada potongan kayu panjang yang merupakan bangkai dari sebuah perahu. "Aku tidak ingin membangunkan kamu."
"Tapi kamu pergi diam-diam dariku, itu membuatku cemas, Ga. Apa yang sebenarnya kamu lakukan?" tanya Novalin mengamati lelaki itu membawa kayu-kayu bekas tersebut menuju bagian belakang rumah mereka.
"Kamu tidak menyiapkan Javier ke sekolah?" tanya Saga balik sambil meletakkan barang bawaannya ke atas tanah dan membetulkan posisi lengannya yang mulai berdenyut.
Novalin merasa diabaikan langsung berdiri didepan tubuh Saga. "Saga Decode, kamu belum jawab pertanyaanku!"
Saga menghela napas. "Apa yang sebenarnya kamu pikiran, Nov. Aku kabur setelah mendengar semua cerita kamu semalam tentang aku? Tidak sayang, tidak begitu. Aku harus membuat semua penampungan air untuk menampung persediaan air kalau badai datang lagi." Jelas Saga melirik pada barang yang dibawanya dengan susah payah dari bibir pantai. Saga sudah menduga sejak cuaca tidak bagus kemarin pasti terjadi sesuatu dipantai. Benar saja, ada sebuah perahu yang rusak dan bangkainya mengotori pantai. Dibanding membuang sisa bangkai tersebut, sebuah ide melintasi pikirannya.
Mendengar itu membuat Novalin tertegun. "Kamu…"
Saga menatap Novalin yang seakan kehabisan kata. Kesempatan itu diambilnya untuk mengecup sekilas bibir wanita itu membuat kesadarannya kembali.
"Saga!"
Saga terkekeh. "Pergilah, sebentar lagi Javier akan terlambat kalau kamu tidak bergegas sekarang." Katanya sambil melanjutkan tugasnya dengan gergaji yang sudah disiapkan dari gudang belakang rumah.
Novalin menatap semua itu memastikan bahwa semua memang baik-baik saja sebelum dia beranjak masuk dan menemui puteranya yang sudah menanti didalam rumah. Novalin tahu mereka akan sedikit terlambat, hanya saja dia belum mampu menenangkan pikirannya. Dia cukup tahu, bagaimana cara Saga yang dengan sangat mudah kabur seperti diwaktu lalu. Bukan tidak mungkin bila ingatan lelaki itu kembali nanti maka dia tidak akan melakukannya. Tidak ada yang tahu pasti.
"Apa yang terjadi Mom?"
Novalin menunduk menatap Javier yang tengah memandanginya dengan rasa ingin tahu. "Tidak apa-apa sayang. Mom hanya kebanyakan pikiran saja. Ayo kita berangkat."
"Apa Jav menyusahkan Mom?"
Novalin menggeleng. "Tidak kok. Jav lebih penurut sekarang."
Kepala Javier menggangguk senang. Tapi pertanyaannya belum berhenti. "Kalau begitu Dad membuat Mommy susah?"
Sekali lagi Novalin menggeleng. Dia menuntun anaknya agar berpamitan sebentar pada ayahnya dihalaman belakang rumah. Selagi Javier melakukannya Novalin beranjak untuk membersihkan wajahnya sebentar dalam kamar mandi. Pagi ini benar-benar cukup kacau.
^
Saga menatap kepergian istri dan putra kecilnya dengan tenang. Saga tahu kecemasan dibenak Novalin, namun dia tetap belum sepenuhnya meyakini informasi yang dipaparkan istrinya itu. Apa yang membuatnya menjadi musuh bagi keluarganya sendiri?
Apakah mereka membencinya sampai melakukan semua ini? Tapi apa alasannya.
"Argh…" Saga meringis. Tangannya tanpa sengaja terkena serpihan kayu. Darah mulai mengalir dari ujung jarinya. Saga memutuskan berhenti dan beranjak menuju dalam rumah.
Andai Novalin masih ada, wanita itu pasti sudah cemas dan berlarian mencari obat untuk menghentikan perdarahan kecil itu. Saga menghela napas. Cara wanita itu memperlakukannya membuat Saga pikir, lama kelamaan dia bisa jatuh dalam pesona wanita itu. Walau dia sendiri belum puas terhadap jawaban wanita itu.
Sekarang dia tahu apa yang dia lakukan untuk rumah kecil mereka adalah bentuk kepeduliannya terhadap keluarga itu. Belum lagi keberadaan putra kecil Novalin yang amat mengidolakannya. Saga pikir, walau hilang ingatan, hidupnya masih dapat berguna untuk orang lain. Termasuk keluarga kecil yang amat mencemaskan kesembuhannya.
Selesai membalut luka dengan kasa dari kotak obat, Saga melanjutkan tugasnya. Dari waktu yang diperkirakan besok pancuran itu sudah bisa digunakan. Kecuali malam ini akan turun hujan maka alat itu sudah pasti bisa dipakai.
Hampir dua jam berlalu Saga memutuskan untuk istirahat dan memilih untuk sarapan. Perutnya memang kosong sejak pagi. Saga membersihkan kakinya sebentar sebelum beranjak masuk menuju ruang makan. Diatas meja sudah ada sarapan yang dibuat Novalin untuknya. Senyum Saga mengembang. Walau sudah terlambat Novalin tidak pernah lupa mempersiapkan makanan dalam rumah.
Saga teringat untuk menanyakan apa sebenarnya profesi istrinya sekarang. Kalau memang dia bertugas sebagai juru masak dipanti tempatnya sekarang bekerja, mengapa tubuhnya tetap saja ramping dan bahkan mampu menguasai bela diri. Terlalu fokus mencari ingatannya membuat Saga melupakan satu itu.
^
Menyaksikan apa yang sedang coba dibuat Saga terhadap rumah kecil mereka membangkitkan sebuah perasaan asing dalam benak Novalin. Dia cukup tahu suaminya itu mulai menjalani perannya dengan sempurna. Karena itu Novalin cukup tahu diri untuk bergegas pulang dan segera menyiapkan makan siang yang enak untuk mereka nikmati bersama.
Setelah membantu Javier membuat pekerjaan rumahnya. Mereka bertiga lanjut makan malam dan begitu selesai Saga menawarkan diri untuk membereskan piring-piring mereka. Javier lanjut ke kamarnya untuk bermain permainannya sebelum Novalin datang dan memintanya menyiapkan peralatan untuk sekolah besok hari. Seusai itu barulah Novalin kembali bersama Saga menuju kamar mereka.
Saga langsung memejamkan mata ketika badannya menyentuh ranjang. Novalin mengambil lotion dari dalam lemari dan mulai mendekati tubuh Saga yang sedang dalam posisi tengkurap.
"Apa yang kamu lakukan, Nov?"
Novalin menghela napas. "Kamu sepertinya sangat kelelahan Ga. Biar aku pijitin sebentar ya."
Saga tetap memejamkan mata dan membiarkan Novalin mulai membawa pelan tangannya dalam posisi lurus sebelum menuangkan sedikit lotion. Novalin ingat untuk melakukan pijitannya secara perlahan. Dulu dia juga sering dilatih oleh ahli fisioterapi karena banyak cedera bila harus melindungi pimpinannya di masa lalu. Novalin merasa bekas luka akibat kecelakaan dibahu lelaki itu pasti mengganggunya. Hanya saja Saga enggan membahasnya. Saat jatuh tempo hari, Novalin cukup mengkhawatirkan bagian itu dibanding kakinya.
Dahi Novalin berkerut melihat balutan plester disalah satu jemari Saga tapi tidak ingin bertanya. Lelaki itu tampak sangat lelah untuk sekedar mengajaknya bicara. Setelah beberapa saat berlalu Novalin pikir lelaki itu sudah terlelap karena dia sama sekali tidak protes kesakitan atau melakukan gerakan apapun. "Kamu tidak perlu memaksakan diri, Ga. Kamu belum sepenuhnya sembuh benar." Bisik Novalin sambil menyelesaikan tugasnya.
Novalin baru beranjak untuk mematikan lampu kamar ketika tangan Saga menahannya.
"Ga…"
"Siapa kamu sebenarnya Nov?"
Novalin terdiam sejenak dengan pertanyaan itu. "Kukira kamu sudah tidur, Ga." Bisik Novalin memerhatikan ekspresi lelaki itu.
"Itu bukan jawaban pertanyaanku, Nov."
Novalin menghela napas. "Kenapa memang, kamu tebak aku sebagai apa?"
Saga membuka matanya sebentar, menatap Novalin yang berdiri disebelah sisi ranjangnya. "Kamu keliatan rapuh dari luar tetapi kamu bisa menjatuhkanku dengan sangat mudah. Kamu bisa mengatur waktu dengan sangat baik, padahal kamu punya seorang anak. Melakukan tugas sehari-hari kamu anggap hal kecil. Bahkan sekarang kamu pun bisa memijit badanku tanpa membuatnya menjadi semakin nyeri. Aku… tidak punya gambaran yang tepat Nov."
"Kurasa aku akan menjelaskannya nanti. Untuk sekarang sebaiknya kita tidur saja. Kamu kelelahan Ga. Aku janji akan menjelaskannya tetapi tidak sekarang."
Sudut bibir Saga tertarik. "Kamu takut aku sewaktu-waktu akan pergi?"
Novalin beranjak duduk disisi tempatnya tidur. "Apa kamu mengingat sesuatu?"
Saga menggeleng dan segera membalikkan punggungnya berlawan arah dengan wajah Novalin. Dalam hati Novalin hanya mampu mendesah. Belum waktunya untuk mengatakan semua secara langsung. Novalin tidak tahu kapan ingatan Saga kembali. Dan bila itu terjadi bagaimana dia bisa menyiapkan diri untuk kehilangan lelaki yang sudah mengambil hatinya sekarang.
^
Dahi Javier berkerut memandang buatan tangan ayahnya. Semalam hujan deras. Dan dari yang dia lihat, diatas rangka kayu itu ada wadah penampungan air yang cukup besar. Tetesan air mulai berjatuhan. Namun tidak ada tanda alat itu dapat digunakan. Mau tak mau dia berlari menuju kamar orang tuanya.
Mengetuk dua kali, Javier tidak mendapat respon. Perlahan dia mengintip dari celah pintu. Benar saja, ayah dan ibunya sedang tertidur pulas. Mereka bahkan berpelukan. Javier menghela napas lega. Mungkin dia harus menunggu beberapa saat lagi sampai kedua orang itu bangun. Kini dia berputar dan kembali duduk memandangi pancuran yang dibuat ayahnya tersebut.
Javier pikir dia harus mempelajari semua itu. Siapa tahu kedepan ayahnya akan meminta bantuan darinya. Dia pasti akan sangat senang melakukan itu. Javier tersenyum membayangkan itu semua. Tuhan memang sangat baik padanya. Doanya mulai terkabulkan secara tidak langsung. Dulu dia terganggu dengan cerita teman-temannya yang memamerkan kedua orang tua mereka masing-masing. Sekarang Javier pun dapat melakukan hal yang sama. Namun ibunya pernah mengatakan untuk tidak melakukan itu. Karena memamerkan sesuatu artinya sombong. Sombong itu adalah salah satu sifat yang tidak baik. Javier tidak mau menjadi tidak baik.
"Hei jagoan kecil."
Javier mengangkat wajahnya. Ayahnya sudah muncul dan mendekatinya. Dia menatap lagi hasil karya ayahnya dan langsung mengutarakan pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Saga mendengar itu dan mulai menjelaskan alur kerja benda yang dibuatnya dengan susah payah itu. Untuk membuat benda itu mengalirkan air dalam penampungnya, Javier cukup melepas tali yang dikaitkan ke badan pancuran maka air akan langsung turun dari celah yang ada. Prinsipnya hampir mirip dengan air dalam perigi. Bedanya bila perigi tertanam didalam tanah, maka pancuran yang dibuat Saga menampung air dari atas. Saga sendiri sudah melapisi bagian atas dengan jaring-jaring kecil sehingga dedaunan atau benda lain tidak akan mudah masuk dan mengotori wadah bagian dalam pancuran.
"Darimana Daddy tahu semua itu?"
Saga terdiam. Dia tidak ingat jelas dari mana dia mendapat ide itu bahkan sampai melakukannya dengan sangat cukup baik. "Aku tidak begitu ingat, mungkin itu adalah sesuatu dari masa kecilku. Makanya aku bisa melakukannya."
Javier menatap ayahnya dengan kagum. "Daddy keren. Aku saja tidak yakin akan ingat tentang semua ini kalau sudah besar nanti."
Saga menatap putera tirinya sambil tersenyum. "Siapa yang mengajarimu begitu?"
Javier mengangkat bahu. "Mom sepertinya pernah mengatakannya padaku."
Saga menggeleng. "Untuk satu itu, biar aku luruskan. Tidak semua hal dapat diingat saat dewasa tapi akan ada momen-momen tertentu yang terbawa hingga dewasa, Jav."
Javier mencoba memahami maksud tersebut. "Momen itu seperti apa Dad?"
Saga mengusap rambut ikal puteranya. "Seperti sekarang mungkin. Kau akan ingat apa yang barusan kukatakan."
Javier mengangguk paham dan lanjut mencoba mengalirkan air dari pancuran tersebut. Air yang jatuh mengenai kakinya. Rasanya sangat menyegarkan. Javier langsung bersorak senang dan Saga tertawa melihat itu. Tawa itu diam-diam menjadi perhatian Novalin yang sedang membersihkan alat masak didapur.
Saga dan tawanya membuat Novalin benar-benar tidak mampu berpaling. Wajah yang biasanya datar itu sangat tampan ketika memamerkan barisan gigi putihnya. Novalin tidak mampu menggeleng, karena dia amat tahu perasaannya sudah tak mampu dihapus lagi. Saga telah masuk dalam satu sisi dalam kehidupannya. Mengenyahkannya tentu saja tidak akan semudah biasanya. Butuh lebih banyak usaha dan rasanya itu mustahil. Novalin tidak mungkin menciptakan jarak diantara mereka. Mereka bahkan tidur bersama sekarang. Meski tidak melakukan apa-apa.
Novalin menunduk. Merasa berdosa karena bertindak seperti seorang pengkhianat. Dia tidak berpikir bahwa perasaan asing itu akan menjumpainya lagi sepeninggal lelaki yang pernah mewarnai kehidupannya dimasa mudanya.
Novalin sangat menyayangi lelaki itu. Hingga tidak berpikir dua kali saat diajak menikah. Padahal Novalin dimasa itu tidak tahu tentang apapun soal lelaki itu. Dia hanya percaya perasaannya semata dan dia tahu perasaannya kala itu tidak keliru. Lelaki yang menjadi ayah bagi Javier adalah sosok yang amat menyayanginya. Bahkan andai lelaki itu masih ada tidak sulit bagi Javier mendapatkan rasa cinta yang sama, yang dia rasakan.
Sayang kematian adalah pemisah yang kejam. Novalin ingat penghiburan yang disampaikan pelayan Tuhan ketika hari kematian itu datang. Novalin tidak patut menangisi kematian semata karena masih ada kehidupan yang harus dijalani. Novalin mencoba untuk tetap tegar hingga sekarang. Bahkan kalau boleh jujur Novalin langsung menutup hatinya sejak hari itu. Sambil membawa Javier yang masih dalam gendongannya, dia berjanji akan membesarkan puteranya tanpa gangguan dari lelaki manapun.
Sekarang nasibnya pun tak jauh berbeda. Langsung setuju ketika ada lelaki yang menawarinya untuk menikah. Novalin menghela napas panjang. Paling tidak tugasnya berjalan dengan lancar sekarang. Walau tidak sempat berkomunikasi dan melapor semua progress ini pada atasannya, Novalin percaya atasannya pasti akan senang dengan kabar ini. Tetapi disamping itu, tetap saja Novalin tak mampu mengenyahkan kewaspadaan dalam dirinya.
Ingatan Saga adalah sesuatu yang menjadi bom waktu. Kapan saja, semua dapat berubah.