Saat takdir mulai menebar jala, menghindar pun sulit
.
.
.
Javier memandang ayah dan ibunya bergantian. Dia sudah bosan menunggu ayahnya yang tak kunjung menghampirinya. Mana mungkin dia bermain sendiri lagi. Waktu ini amat berharga. Sebentar lagi ibunya mengatakan dia akan masuk sekolah itu artinya waktu bermain akan berkurang. Padahal dia sudah punya ayah sekarang.
"Ada Javier." Kata Novalin melirik puteranya.
Saga mengangkat satu alisnya. "Dan?"
Novalin menghela napas sebentar. "Maksudku, aku terbiasa tidur bersama putraku tiap malam. Dia tidak bisa kutinggal tidur sendiri."
Saga mengangguk kecil namun dia menyerah. "Lantas selama aku tidak sadar, kau juga meninggalkanku tidur sendirian?"
Novalin semakin sulit menjawab. Javier pun maju dan menatap ayahnya. "Ada apa Dad? Kenapa Dad lama sekali?"
Saga mengalihkan pandangannya dari Novalin kepada bocah kecil didekatnya. "Bukan apa-apa bocah, ayo kita lanjut."
"Aku bukan bocah Dad." Protes Javier tidak terima. Saga mengacuhkan itu gantinya dia mengacak rambut ikal Javier.
Kedua orang itu lantas melangkah beriringan meninggalkan Novalin untuk melanjutkan tugasnya. Namun kenyataannya begitu kedua orang itu menjauh, lutut Novalin langsung lemas. Dia terduduk sejenak diatas lantai dapur.
Apa yang baru saja terjadi amat sangat tidak diantisipasinya. Selama Saga dalam keadaan tidak sehat, dia memang selalu menemani lelaki itu tidur. Tapi bukan disampingnya. Novalin masih tahu batasannya. Dia mengatakan nama Javier semata-mata hanya untuk menyelamatkan keadaan. Javier memang selalu ditemani hingga tertidur namun begitu puteranya sudah pulas maka dia akan diam-diam kembali menuju kamarnya.
Masalahnya rumah yang mereka tempati saat ini hanya memiliki dua kamar. Otomatis Novalin lebih banyak menghabiskan waktu tidur bersama puteranya. Sekarang beban pikirannya bertambah satu. Perlahan Novalin bangkit dan melanjutkan kembali tugas memasaknya. Mudah-mudahan saja Saga tidak serius dan masalah itu selesai.
^
Saga mencuri pandang ke arah istrinya. Namun wanita itu malah mengambil posisi duduk yang jauh. Menyisakan puteranya yang cerewet didekat Saga dan bertanya tentang apa saja yang ingin dia ketahui dari kehidupan ayahnya. Padahal belum ada yang bisa Saga jawab satu pun karena memang tidak ada yang dia ingat. Semuanya abu-abu.
Saga tahu Novalin belum sepenuhnya menerimanya. Padahal dia pikir wanita itu mengharapkannya namun mana bisa dia langsung ditolak begitu saja. Saga cukup percaya, baik dalam ingatan sebelumnya dia adalah orang yang sulit ditolak.
"Hm, aku ingin tahu bagaimana keadaanmu, Ga."
Saga melirik sekali lagi pada wanita itu selagi Javier menawarkan diri untuk mengangkat piring dan gelas ke dapur belakang. "Aku baik-baik saja, sekarang." Kata Saga lantas menghabiskan air dalam gelasnya.
Novalin tersenyum kecil mendengar itu namun dia tetap menyodorkan strip obat yang semakin sedikit untuk dikonsumsi Saga. Obat rutinnya harus habis. Hidup lelaki itu bergantung dari obat dan makanan yang dia santap tiap hari.
"Karena kamu sudah mendingan sekarang, kalau aku tinggal bisa kan?" tanya Novalin hati-hati.
Dahi Saga berkerut. Apa wanita ini sedang meminta izin darinya sekarang?
"Kenapa memang?"
Novalin membasahi bibirnya. "Jadi begini Ga. Besok aku akan membawa Javier sekolah dan juga memulai tugasku dipanti. Hm, maaf tapi keuangan kita semakin menipis. Untuk makan dan sekolah Javier harus tetap berjalan kan."
Saga terdiam. Apa yang dikatakan wanita itu tidak dibuat-buat. Kenyataan mereka tinggal disebuah rumah sederhana memang adalah fakta yang tak mampu dipungkirinya. Selama ini wanita itu pasti sudah banyak berkorban. Belum lagi bila mengingat dia lebih banyak menyita kedua orang itu untuk memperoleh kesembuhannya sekarang. Saga merasa ada yang salah disini.
Apa pekerjaannya sebelumnya. Pasti ada yang dapat dia lakukan untuk keluarga kecil ini. "Jadi maksudmu aku harus tinggal sendiri?"
Novalin mengangguk pelan. "Kau keberatan?"
Saga menimbang sejenak. Sebenarnya tidak ada masalah bila dia ditinggal sendiri. Mungkin dia lebih mudah menyesuaikan diri dan dapat menemukan kembali ingatannya. Jadi dia bisa keluar dari situasi mereka sekarang.
"Tenang saja, aku tidak akan lama. Aku hanya akan membantu di panti sebagai juru masak. Jadi aku pasti akan cepat kembali." Tambah Novalin membaca ekspresi Saga yang tak kunjung menjawab.
"Oke."
Novalin tersenyum lega. Wanita itu bahkan menyentuh telapak tangan Saga diatas meja. "Sebelum pulang besok aku akan membeli obat untukmu." Janjinya.
Saga menatap binar diwajah wanita itu dan entah mengapa dia bagaikan tersihir. Wanita itu amat tulus terhadapnya. Seakan kesembuhannya adalah sesuatu yang amat penting. Jangan-jangan karena hal inilah dia dulu meminta wanita itu untuk dinikahinya. Jadi bukan wanita ini yang mengharapkannya, apakah dia yang lebih dulu menaruh perasaan pada wanita ini?
Tidak. Saga tidak boleh gegabah dalam membuat keputusan secepat itu. "Bukankah lebih bagus kita konsultasi dulu dengan dokter mengenai obat itu."
Wajah Novalin tertegun sejenak. "Kenapa, kau merasa tidak cocok?"
Saga berdeham. "Kupikir, minum obat terus-terusan tanpa petunjuk dokter bukan hal yang baik." Gantian Novalin yang terdiam. Namun tak lama wanita itu mengangguk dan mundur menuju dapur. Setelah kepergiannya muncul kembali putra wanita itu dan mengajaknya bermain diluar rumah.
^
Dua orang berbeda usia itu sedang menggambar diatas pasir, persis disamping rumah. Novalin dapat mengamatinya dari jendela. Mau tak mau dia sedikit lega dengan kondisi sekarang. Andai dia punya ponsel maka dia pasti akan mengabari David tentang pertanyaan Saga soal obat-obatannya. Andai dia punya ponsel juga, maka bos besar akan tahu perkembangan kakaknya yang semakin baik.
Novalin tahu tidak hanya Saga yang sedang menyesuaikan diri dengan keadaan. Dirinya pun tak jauh berbeda. Belum pernah Novalin mengambil keputusan untuk pengasingan seperti sekarang. Hidup tanpa satu pun alat komunikasi. Bos besar sempat meminta maaf ketika dirinya hanya bisa mengutus beberapa orang untuk mengantar mereka maupun barang-barang mereka hingga tiba di desa terpencil itu.
Tugas Novalin masih banyak. Wanita itu segera membereskan kamar Saga sebelum lanjut menuju kamar puteranya dan akan menghabiskan sisa waktu yang ada untuk ruang tengah dalam rumah. Sambil mengepel lantai pikiran Novalin kembali menerawang.
Bagaimana bila ingatan lelaki itu kembali?
Mendadak sepasang lengan melingkari pinggangnya dari belakang. Novalin terkejut. Refleks dia menjatuhkan pemilik lengan tersebut ke atas lantai.
"Aawww!"
"Saga? Ya Tuhan." Novalin langsung menyesali gerak refleksnya yang cekatan tadi. Dia segera menunduk dan memeriksa keadaan suaminya. Namun tangannya ditepis. Saga hanya menatapnya dengan ngeri.
"Aku tidak sengaja, maaf."
"Siapa kamu sebenarnya, Novalin?"
Pertanyaan itu membuat wajah Novalin mendadak memucat. Mustahil dia menjelaskan semua. Perlahan dia kembali mengulurkan tangan, hendak membantu namun Saga sudah lebih dulu berdiri dan masuk ke dalam kamarnya.
^
Hari berganti. Novalin bangun lebih pagi dan langsung menyiapkan sarapan untuk mereka santap bersama. Tak lupa dia membangunkan puteranya agar bersiap menuju sekolah. Novalin masih menimbang untuk membangunkan Saga. Karena sisa hari kemarin, mereka tak sempat berkomunikasi. Saga bahkan langsung meninggalkan meja makan setelah meminum obat terakhirnya.
Javier menyadari hal tersebut dan Novalin hanya mampu menjelaskan seadanya pada puteranya. "Apa Jav bangunin Dad sekarang, Mommy?"
Novalin menggeleng. "Sudah biar Mommy aja yang urus Dad. Selesai makannya, Mom antar ke sekolah yah."
Javier mengangguk setuju. Bocah berambut ikal itu menyantap sarapannya dengan lahap. Begitu sarapannya habis, Novalin sudah selesai bersiap-siap. Dia harus mampir sebentar ke pasar. Persediaan makanan mereka mulai menipis. Novalin membuka kotak penyimpanan dan mengambil beberapa uang. Mengunci kembali dengan aman.
Ketika kembali ke ruang tengah Saga sudah memandangi mereka.
"Selamat pagi Ga. Kalau mau makan, ada sarapan di meja. Aku pamit anterin Jav sebentar." Kata Novalin pada Saga yang masih mengacuhkannya.
"Dad, Jav pamit ya." Kata Javier mendekati ayahnya.
Saga mengangguk pada Javier dan menepuk pundak bocah itu. Novalin menyaksikan itu semua dan hanya bisa menghela napas tidak percaya. Sekarang lelaki itu jadi memusuhinya dan malah akrab dengan puteranya?
Beberapa jam berlalu. Javier akhirnya diterima oleh pihak sekolah barunya. Jarak sekolah dengan panti tempat Novalin akan bekerja tidaklah jauh. Namun Novalin masih harus singgah ke pasar. Membeli beberapa bahan makanan dan membawa semuanya pulang.
Novalin sedikit gugup menyadari kehadirannya dirumah sementara Saga masih mengabaikannya. Lelaki itu tertangkap tengah menikmati sarapan buatannya dalam diam. Novalin sedikit lega mengetahui hal itu. Sementara lelaki itu di meja makan, Novalin membereskan barang belanjaannya.
"Kamu belum pergi?"
Novalin tersenyum mendengar itu. Walau nadanya seperti mengusir, namun Novalin tahu lelaki itu akhirnya mau bicara padanya. "Aku nunggu kamu selesai makan, biar aku beresin sekalian."
"Tidak usah. Aku mungkin hilang ingatan tapi cuci piring masih bisa kulakukan sendiri." Sergah Saga dengan tegas.
Novalin mendesah. Mungkin lelaki itu memang ingin mengusirnya. "Baiklah aku pergi ya Ga." Pamit Novalin menuju pintu depan.
^
Waktu menunjukan hampir sore hari. Kedua orang penghuni rumah belum juga kembali. Padahal Saga sudah membereskan seisi rumah. Memang baru kemarin istrinya mengepel dan berbenah namun keberadaan pakaian kotor milik anggota rumah dan perabotan rumah tangga dibagian dapur masih belum tertata. Saga merasa dirinya secara sukarela melakukan semua itu. Alih-alih menemukan petunjuk untuk ingatannya.
Dia tidak tahu entah mengapa dia tidak sanggup melihat kekacauan. Bahkan permainan Javier pun sudah disimpan di tempat yang dirasa cukup aman. Ketika Saga sampai pada gudang belakang, matanya tanpa sengaja menatap sebuah kotak yang diletakkan diam-diam dibelakang tumpukan barang bekas.
Dahi Saga berkerut. Apa yang coba istrinya sembunyikan darinya?
Tangannya menyentuh gembok dan itu membangkitkan rasa penasarannya. Saga pikir tidak sulit membuka benda itu tanpa kunci. Tunggu, dari mana pemikiran itu berasal.
"Apakah aku bisa melakukannya dengan tanganku?"
Pertanyaan aneh itu muncul sendiri dalam benaknya. Seperti apa dia di ingatan sebelumnya? Ah tidak, pikir Saga. Tubuhnya belum siap bila harus dibanting istrinya lagi diatas lantai.
Mengenai kejadian itu, Saga sungguh tidak menyangka tubuh ramping seperti milik Novalin menyimpan kekuatan yang amat besar. Tentu saja wanita itu tidak terlihat akan sakit padahal sudah merawatnya cukup lama.
Apa sebenarnya profesi wanita itu?
Bagaimana rasanya bila mereka sampai melakukan hubungan badan? Apakah wanita itu sanggup dipuaskannya? Rasanya itu tidak begitu sulit. Dari wajahnya, Saga yakin wanita mana pun takkan sanggup menolaknya. Apalagi istri sahnya sendiri.
"Sial." Maki Saga atas pemikiran melanturnya. Buru-buru dia meninggalkan gudang itu dan mengembalikan semuanya seperti sedia kala.
Langkahnya terhenti mendengar jejak suara dua orang yang dinantinya kembali.
"Pelajarannya ternyata berbeda dari yang biasa diajarkan Mom. Memang aku sudah pernah mendapatnya di sekolah lama, tapi cara guru mengajarkannya sangat lain Mom. Aku sampai harus bertanya dua kali baru paham."
Entah mengapa senyum Saga mengembang. Membayangkan betapa repotnya sang guru menghadapi pertanyaan putranya yang berulang-ulang. Putranya? Tentu saja bukan. Saga hanya seorang ayah sambung bagi Javier.
"Sudah cepat ganti baju, temani Dad. Mom harus segera masak makan siang sayang. Dad pasti sangat lapar. Bekal yang tadi cukup tidak?"
Javier mengangguk dan menyerahkan tasnya ke tangan Novalin. Kedua orang itu sama-sama terkejut karena Saga sudah berdiri diam dan menatap mereka.
"Hai Dad." Teriak Javier langsung memeluk pinggang Saga. Lelaki itu meletakkan tangan di atas kepala bocah itu dan membawanya untuk duduk.
"Maaf Ga, tadi ada kunjungan khusus pemilik panti jadi aku harus membantu di dapur lebih lama. Kamu main sebentar sama Jav ya, aku akan segera menyiapkan makan siangnya." Kata Novalin namun Saga tidak menanggapi.
Lelaki itu sudah menjadi pendengar bagi semua cerita putranya. Saga tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya masih belum mendapat penjelasan pasti wanita itu. Walau sudah meminta maaf berulang kali, Saga menikmati momennya memainkan emosi wanita itu. Sekali lagi, dia tertarik pada ekspresi yang wanita itu tampilkan. Bila dulu adalah ketakutan, wajah tanpa emosi sekarang yang dapat Saga saksikan adalah kegugupan. Dan itu membuatnya merasa diatas awan.