Kenyataan tak seburuk mimpi
.
.
.
Novalin baru selesai membersihkan diri dan menatap wajahnya pada cermin dalam kamar mandi. Kalung dengan bandul berbentuk kunci yang dikenakannya adalah sebuah kunci dari kotak penyimpanan uang dan barang-barang penting selama mereka tinggal di desa.
Sesuai dengan petunjuk dari atasannya, Novalin hanya perlu menghidupi keluarga kecilnya dengan hati-hati selama suaminya belum pulih. Bagaikan bom waktu Novalin sendiri tidak pernah tahu, kapan ingatan Saga akan kembali dan bukan tidak mungkin lelaki itu akan dengan mudah menghancurkannya atau puteranya. Ini sebuah resiko besar yang Novalin pertaruhkan. Masalahnya hidup dengan Saga bisa menjadi pilihan lebih baik daripada harus berurusan dengan dunia luar yang lebih berbahaya lagi.
Tanpa sadar ingatan Novalin terulang pada kejadian seusai pernikahan mereka.
…
Seakan ada yang mengendalikan, sebagian besar tamu pada pernikahan Saga dan Novalin hanya terluka ringan. Sampai polisi hadir membereskan kekacauan di halaman gereja dan wartawan datang meliput. Berita besar sulit ditahan. Pernikahan putera kedua keluarga Decode berakhir ricuh oleh serangan orang tidak dikenal.
Baik Sadam dan Octa sama-sama sibuk menangani pemberitaan maupun kondisi saham perusahan. Decode Security disalahkan habis-habisan karena peristiwa tersebut. Sadam berusaha menenangkan pihak keluarga di rumah sakit.
Namun diantara semua itu hanya Novalin yang tak mampu berpikir jernih karena keberadaan suaminya yang hilang tanpa jejak. Novalin sungguh panik dengan serangan tersebut. Belum apa-apa omongan tentang pembawa sial mulai membuat kupingnya jadi sakit. Hanya saja kehadiran Monalisa membuat pihak keluarga terpaksa diam. Karena semua orang tahu, tak ada yang berani menyentuh atau bicara sembarang terhadap istri pemilik seluruh Decode Company kecuali mau berhadapan dengan amarah Sadam dan pimpinan DS. Rumor mengenai koalisi tiga orang tersebut sudah cukup santer dikalangan para eksekutif.
"Udah Kak tenang saja, Sadam sudah meminta polisi untuk cari keberadaan kak Saga. Kakak tidak mau menemui dokter untuk diperiksa juga?"
Novalin menggeleng. "Saya baik-baik saja Nyonya."
"Kakak, jangan panggil nyonya lagi. Sekarang aku jadi adik ipar kakak lho."
Novalin sama sekali tak mampu tersenyum dalam situasi tersebut, meski dia tahu apa yang Monalisa katakan ada benarnya. "Saya benar-benar tidak enak Mona, tadi-tadinya tuan Saga sudah mengingatkan saya tentang orang-orang itu. Saya saja yang tidak konsen."
Mona lantas menyentuh bahu Novalin dengan pelan. "Kak, ini pernikahan kakak wajar kakak tidak konsen untuk hal seperti itu. Sudah jangan dipikirkan, Sadam dan kak Octa akan mengurus semuanya. Kakak tenang saja."
Sadam mendadak muncul dan merangkul Mona dari dekat. "Nov, ini buruk."
"Apa maksud tuan?"
Sadam menghela napas. "Informan dari DS bilang, yang mendatangi kita barusan bukan orang sembarangan atau preman biasa. Mereka anggota mafia..."
"Mafia? Jangan bercanda Dam."
Menyadari kekhawatiran dibenak Mona itulah yang membuat Sadam lantas merangkulnya semakin erat. "Saga membuat perjanjian dengan kepala mafia itu. Entah apa, yang jelas mereka mengincar nyawanya sekarang. Aku sudah meminta polisi segera mencari dan menemukan Saga sekarang. Tim kakak iparku juga ikut mencari. Masalahnya kalau dengan mafia, biasanya ada sebuah penawaran sebagai jaminan. Aku belum tahu apa yang akan mereka minta dari kita bila kenyataannya Saga dijadikan sandera mereka."
Novalin langsung jatuh terduduk diatas kursi tunggu rumah sakit.
"Satu lagi, dari informan DS sebelumnya mereka juga sempat menyekat Saga saat dibandara tetapi mengapa laporannya tidak ada di DS. Octa sama sekali tidak memerhatikan hal ini juga."
Novalin semakin kalut. Kejadian dibandara memang sempat terlupakan olehnya karena dia pikir Saga bersedia mengikutinya sampai ke kantor DS itu artinya memang bukan masalah besar. Keberadaan anggota keluarga Decode memang sering diincar karena latar belakang kekayaan mereka. Siapa menduga hal itu malah menjadi sesuatu yang mengerikan sekarang.
"Itu salah saya tuan. Saya yang tidak…"
"Sudahlah, Nov. Menyalahkan keadaan takkan membuat kakakku kembali. Memang dia selalu keterlaluan sejak lama."
"Dam!" tegur Mona membuat Sadam lantas menutup mulutnya. Kedua pasangan itu pamit mundur karena dipanggil oleh anggota keluarga lain. Menyisahkan Novalin yang duduk terasing disana dalam balutan gaun pengantin.
Tiga hari selama pencarian, akhirnya petunjuk keberadaan Saga ditemukan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Sadam, mafia tersebut meminta jaminan terhadap nyawa Saga. Dan jaminan itulah yang akhirnya membuat Novalin mau tak mau meninggalkan kehidupan normalnya ke sebuah desa terpencil untuk membangun keluarga barunya.
Sadam mengeluarkan banyak uang untuk menjemput kembali kakaknya yang ditemukan dalam kondisi kecelakaan dibawah kaki jurang. Beruntung nyawa Saga tertolong. Hanya saja keadaannya terluka parah.
Mendapat perawatan intensif selama hampir tiga bulan baru bisa keluar rumah sakit. Novalin hampir depresi selama perawatan tersebut hingga lelaki itu mulai menunjukan tanda-tanda kesadaran dari koma panjangnya. Bukan apa-apa, Novalin hanya merasa Tuhan sedang menghukumnya karena setuju melakukan pernikahan kontrak dengan lelaki yang sama sekali tidak dicintainya, demi memenuhi permintaan putera yang amat dicintainya.
"Nov, mereka tahu aku akan menyelamatkan Saga. Biar bagaimana pun dia kakakku dan sekarang suamimu juga. Tapi mereka katakan, kalau sampai mereka menemui Saga di kota ini atau dimanapun mereka bertemu maka Saga takkan dilepas hidup-hidup. Karena itu aku terpaksa mengasingkan kalian sementara waktu."
Mata Novalin berkaca-kaca mendengar itu. "Tapi apakah tuan Saga akan selamat tuan?"
Sadam terdiam beberapa saat sebelum mendesah. "Kukira dia pasti bertahan Nov. Tapi tadi dokter bilang kalau belakang kepala Saga dilukai cukup keras. Kemungkinan saat sadar kembali, dia takkan mengingat beberapa hal."
Novalin tertegun dengan kenyataan itu. "Lantas saya harus bagaimana tuan?"
Sadam menepuk bahunya. "Untuk sekarang, kita pastikan sampai Saga benar-benar pulih baru kita pindahkan kalian. Kalau memang benar dia kehilangan ingatan itu bisa diatasi dibanding dia mengalami cacat seumur hidup."
"Saya takut tuan." Aku Novalin dengan jujur.
"Maafkan aku Nov. Aku tak menyangka kondisinya akan seperti ini. Meski kalian sama-sama tidak memiliki perasaan yang sama, namun aku tahu kau pasti cemas dengan kondisinya."
Novalin tahu apa yang Sadam ucapkan benar. Dia sama sekali tidak mengharapkan Saga seperti sepasang suami istri pada umumnya. Namun bukan berarti dia tega menyaksikan kondisi lelaki itu tak berdaya dibalik ruang perawatan. Dari sanalah Novalin selalu berdoa untuk kesembuhan lelaki itu.
Saga akhirnya sadar. Beberapa kali dia menunjukkan tanda-tanda sadar dan kembali tertidur bagai orang pingsan. Sampai dipindahkan diruang perawatan biasa, perkembangannya tak jauh berbeda. Beragam konsultasi dengan dokter spesialis dilakukan pihak keluarga pada akhirnya Saga berhasil dibawa ke desa tersembunyi yang sekiranya takkan bisa dijangkau mafia tersebut.
…
"Mom… Dad mau bicara."
Dahi Novalin berkerut. Sejak kapan lelaki itu sadar dan malah meminta puteranya sebagai pembawa pesan. Begitu keluar dari kamar mandi, Javier sedang menantinya sementara lelaki itu entah dimana.
"Dad memang sudah bangun? Tadi bicara apa saja Dad?"
Kepala Javier menggeleng. "Tadi tidak sengaja tungguin Dad didepan kamar. Eh Dad bangun dan keluar diteras. Makanya aku ikut."
Novalin menghela napas. "Ya sudah kalau gitu, Mommy mau bicara penting dengan Daddy. Jav boleh tidak Mommy minta tolong?"
"Boleh Mommy."
Novalin segera menyuruh puteranya menata piring dan gelas kering pada meja makan mereka. Javier langsung berpindah menuju dapur sementara dia bersiap menuju teras depan. Benar saja saat sampai disana, dia langsung berhadapan dengan punggung Saga yang tengah menatap ke arah lautan lepas.
^
"Berapa lama aku tak sadarkan diri?"
Pertanyaan itu Saga lontarkan setelah menyadari kehadiran wanita yang berstatus istrinya dari dekat. Aroma sabun khas sehabis mandi menegaskan kehadirannya.
"Tiga bulan koma dirumah sakit, selanjutnya perawatan pasca koma… bisa dihitung kurang lebih enam bulan sejak pernikahan kita."
Saga mendesah dalam hati. Bagaimana bisa dia hampir dinyatakan tertidur untuk jangka waktu hampir setengah tahun lamanya. Pasti ada yang salah sampai semua ini terjadi. Dia tidak yakin bila dia bisa menanyakan semua sekaligus. Bertahap dia akan mencari tahu namun untuk saat ini dia hanya perlu melakukan beberapa penyesuaian.
"Apakah pernikahan kita sah?"
Novalin tidak menjawab sebaliknya wanita itu langsung menghampiri sisi depan Saga. Rasanya memang tidak nyaman bila berbicara tanpa saling berpandangan wajah.
"Ya."
Saga refleks mundur selangkah mendengar itu. "Tetapi, kenapa aku harus menikahimu?"
"Karena kau yang memintaku untuk menikah."
Saga terkejut lagi mendengar itu. Mencoba mengingat-ingat kapan dia bertindak sebodoh itu sampai harus menikahi seorang wanita yang sudah memiliki anak. Ditatapnya wajah Novalin dengan baik namun Saga tidak menemukan tanda ketertarikan dalam dirinya. Ataukah dulu dia memang sangat menyukai wanita itu, sampai melupakan fakta didepannya? Seperti apa dirinya dimasa lalu? Kepalanya akan lebih sakit bila dia memaksa mengingat semuanya sekaligus.
"Kau yakin? Berapa lama kita pacaran?"
Novalin mencoba bersabar terhadap pertanyaan itu. "Kenapa? Ingatanmu mulai kembali, atau kau memang ingin merencanakan sesuatu sekarang?"
Saga tersentuh dengan emosi diwajah wanita itu. Ekspresi pertama yang Saga ingat dari tatapannya ketika melihat dirinya bangun adalah ketakutan. Selanjutnya tiap bersama puteranya wajah wanita itu akan melembut dan penuh kasih sayang. Sementara tiap percakapan diantara mereka juga diwarnai ekspresi datar namun kali ini berbeda. Seakan ingin mengajaknya berperang. Namun Saga tidak akan semudah itu kalah. Perlahan dia menyentuh kedua telapak tangan Novalin dan gerakan itu membuat Novalin mematung.
"Apa yang kaulakukan?"
Saga menunduk menatap tangan mereka dan tersenyum kecil. "Apakah aku menyusahkanmu selama ini, sampai kau bahkan tidak mau kusentuh juga?"
Novalin benar-benar terpaku mendengar itu. "Ng…"
Saga pikir jawaban untuk satu pertanyaan dalam kepalanya adalah karena wanita itu memang menginginkannya. Buktinya dia tampak tidak berdaya sekarang. Entah mengapa Saga senang. Menyadari kesimpulan sementara itu.
Dia tidak tahu apakah keputusannya saat ini benar atau tidak, namun selama wanita itu selalu merawatnya dengan baik itu artinya wanita itu memang mengharapkannya.
"Dengar, aku minta maaf. Kupikir kondisiku pasti amat menyusahkanmu sampai sekarang, tapi aku tetap ingin berterima kasih karena kau sudah menjagaku selama ini."
Wanita itu langsung melepas pegangannya dan beranjak kembali ke dalam rumah menyisahkan Saga yang dibuat kebingungan. Bukankah wanita selalu tersentuh bila lelaki memperlakukan mereka dengan lembut. Meski lupa ingatan, tetapi kecerdasan Saga tidak serta merta menurun.
^
Novalin merasa benar-benar bodoh karena melarikan diri untuk alasan yang tidak masuk akal. Saga hanya mengatakan apa yang sesungguhnya lelaki itu rasakan tetapi dia malah tak mampu mendengar apalagi menatap raut tulus dibalik tatapan lelaki itu.
Demi Tuhan, Novalin mengenal siapa Saga Decode sebenarnya. Dia tahu bagaimana lelaki itu dalam bertindak apalagi dengan aura intimidasinya yang tak tertandingi. Mengapa mendadak mengucap maaf dan terima kasih menjadi sesuatu yang terasa amat besar sekarang?
"Mom udah bicara dengan Dad?"
Novalin menurunkan kepala menatap puteranya yang mendekatinya. Mau tak mau Novalin mengangguk dan lanjut menuju dapur. Javier mengekor langkah ibunya.
"Mom sepertinya Dad sudah benar-benar sembuh sekarang. Buktinya Dad sudah bisa mengajak kita semua bicara, Mom."
Novalin tak mampu menahan antusias puteranya. Berbanding terbalik dengan dirinya sendiri yang masih sibuk menata perasaan dan pikirannya.
"Iya sayang oh ya malam ini mau makan apa?"
Kepala Javier otomatis melirik isi lemari penyimpanan makanan. "Ikan dimasak saja Mom."
Mendengar itu Novalin tersenyum setuju. Sebelumnya jumlah ikan dari pasar desa sedang meningkat sehingga mereka bisa membeli untuk sekali dipakai masak tanpa takut kehabisan keesokan harinya.
"Oke akan Mom siapin. Yuk, tunggu Mom dimeja depan."
Javier mengangguk. "Ah. Mom, aku boleh ajak Dad main?"
Novalin menimbang sejenak. "Daripada mengganggu Dad, mengapa Jav tidak menyiapkan buku untuk sekolah besok?"
Javier langsung mendesah. "Itu bisa nanti Mom. Aku mau main dulu sama Dad. Boleh ya?"
"Permainan apa yang kita punya Javier?"
Tangan Novalin otomatis terhenti mendengar pertanyaan itu. Dia berbalik dari depan talenan dan menatap kehadiran Saga diantara mereka. Sejak kapan dia tidak menyadari langkah lelaki itu.
"Catur Dad. Seperti kemarin?" tanya Javier dengan semangat penuh. Saga mengangguk dan meminta anak itu menyiapkannya. Sementara dia melangkah mendekati keberadaan Novalin.
Novalin bukan tidak menyadari hal tersebut, hanya saja dia berusaha senatural mungkin melakukan tugasnya. Merasa terus dipandangi dari samping pada akhirnya Novalin menyerah.
"Ada apa?"
Saga melipat kedua tangan didepan dadanya. "Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"
"Tidak."
Saga langsung maju dan refleks Novalin mundur. Sayang usaha itu percuma karena persis dibelakangnya hanya tersisa permukaan meja dapur. Bila Saga maju selangkah lagi dan Novalin tetap mundur maka bunyi pergeseran benda itu ke lantai akan sangat mencolok.
Saga menyadari gerakan itu mau tak mau lelaki itu tersenyum. "Lantas mengapa kau terus menghindariku?"
Novalin mengerutkan kening. "Aku… tidak menghindarimu."
Saga mengangguk. "Oke kalau begitu, mulai malam ini kita akan tidur bersama layaknya suami istri pada umumnya."
Novalin menatap Saga dengan pandangan melongo. Apakah dia tidak salah mendengar atau Saga memang sedang bercanda sekarang?