Chereads / LEGACY Series / Chapter 6 - KEPINGAN ENAM

Chapter 6 - KEPINGAN ENAM

Dunia warna abu-abu

.

.

.

"Let's make a deal, M."

M menggeleng kepala. "Ini akan menjadi akhir hidupmu. Kami sudah tidak membutuhkanmu lagi."

"Wait, kamu harus dengar dulu, aku sudah punya rencana..."

"Said goodbye, Saga Decode."

"NO!"

Ledakan besar terdengar, mobil yang membawanya mengambil jalur yang salah. Kaca depan dan sampingnya berpendar, bagaikan slow motion Saga segera menutup matanya sebelum semua menjadi gelap gulita.

Argghh… Saga langsung membuka matanya secara cepat. Kepalanya mendadak pening, dengung aneh menghantam kupingnya. Apa yang baru saja muncul dalam benaknya membuatnya tidak bisa tenang. Badannya basah oleh keringat, napasnya memburu dan Saga tersentak melihat dimana dirinya berada.

"Dad? Mom, Dad sudah bangun."

Saga mengucek matanya sekali lagi. Bocah berambut ikal berlarian keluar ruangan. Saga mengerutkan kening, mencoba menenangkan diri dan mengingat kembali apa yang terjadi padanya beberapa saat lalu.

"Jangan berisik sayang. Dad sedang tidak sehat. Coba Mom lihat ya." Suara lembut perempuan menyahut. Anak kecil yang tadi ada dikamarnya kembali dengan seorang wanita. Saga menatap mereka bersamaan. Wanita itu berambut pendek, dengan tinggi lumayan hampir menyamai telinganya. Bola mata wanita itu hijau gelap dan rambutnya hitam sebahu. Tak ada kesan menggoda diwajah itu, namun kecantikannya bukan jenis yang Saga sukai.

Anak kecil disebelah wanita itu memiliki rupa wanita itu dalam versi lebih kecil. Kecuali warna matanya dan rambut yang berbeda. Saga memindai mereka namun tak satu pun dari antara ciri-ciri itu ada dalam pikirannya.

"Kau sudah bangun?" tanya wanita itu padanya sambil mendekat.

Saga meneguk ludahnya. "Siapa?"

"Mom, Dad kenapa?" Anak itu menarik ujung baju wanita disebelahnya. Wanita itu beralih menunduk hingga wajah mereka sejajar. "Look, Dad sepertinya masih sakit. Panggil Om David ya." Pintanya dan kepala anak itu mengangguk paham. Segera kaki kecilnya berderap keluar ruangan.

"Javier, jangan lari sayang. Pelan-pelan saja." Teriak wanita itu namun anak tadi sudah jauh menghilang. "Kamu… tidak ingat apapun?"

Saga menggeleng yakin. Saga menatap sekitar mencari petunjuk. Kamarnya berdiri diatas lantai dengan dikelilingi dinding kayu yang kokoh. Jendelanya ditutupi tirai transparan. Deru ombak dan bunyi kepakan sayap burung bersahutan diluar sana. Dahinya semakin berkerut menyaksikan foto dirinya memeluk tubuh wanita didepannya dengan mesra dalam sebuah figura kecil disebelah tempat tidur.

"David akan memeriksa keadaanmu. Sementara biar aku siapin makan siangmu," kata wanita itu sambil meletakkan sebuah pakaian bersih didekat kaki Saga.

"Tunggu." Tahan Saga mencoba duduk tegak.

Wanita itu berbalik. "Siapa nama kamu?"

"Novalin, istri kamu."

Saga terdiam semakin lama mendengar nama itu. Nama itu terdengar tidak asing dalam benaknya namun sebelum dia bertanya lebih lanjut wanita itu berlalu begitu saja.

^

Pria bernama David adalah dokter umum disekitar tempat tinggal Saga. Setelah mengangkat stetoskop dari tubuh Saga, pria itu mulai menjelaskan secara ringkas pada Saga maupun Novalin. Javier sedang dibiarkan bermain didepan rumah.

"Tidak mungkin."

"Penyesuaian, tuan Saga." David mengingatkan. "Secara fisik semua baik-baik saja. Luka dibahu anda sudah membaik dan mengenai ingatan saya percaya itu takkan memakan waktu lama. Anda tenang saja, Novalin adalah wanita yang kuat. Obat yang saya resepkan jangan lupa dihabiskan."

Saga menatap dokter itu bergantian dengan Novalin. Beragam pertanyaan melintas dibenaknya. Tetapi dia tahu mustahil membantah bila dia sendiri masih asing dengan situasinya sekarang. Novalin ijin untuk mengantar David pergi.

Saga berusaha bangun dari pembaringan dan menatap sekali lagi figura tersebut. Otaknya berpikir keras. Dari gambaran disana, dia cukup tahu kalau dirinya memang sudah melakukan pernikahan dengan wanita itu. Masalahnya mengapa dia tak bisa ingat kapan waktu foto tersebut diambil. Dia juga yakin itu bukan rekayasa karena bekas luka dilehernya sempat terlihat disana.

Saga punya bekas luka dibelakang lehernya, bentuknya berupa garis kecil warna putih membentang dari sisi kiri leher hingga menuju punggung. Luka itu dia peroleh saat latihan bela diri ketika masih kanak-kanak. Dari kejauhan mungkin takkan ada yang menyadari tetapi saat dari dekat maka hal itu akan jelas. Itu mempengaruhi selera berpakaiannya yang cenderung tertutup. Lagipula kualitas gambar dalam figura itu diambil dengan menggunakan kamera yang canggih karena dapat menangkap hal-hal detil seperti itu.

Saga berdiri dan hendak berjalan keluar kamar, dia harus mengecek segalanya. Bahunya memang terasa sakit saat tangannya dibawa bergerak. Langkahnya terhenti pada standing mirror sebelum mencapai pintu. Tangan Saga otomatis mengangkat baju yang baru digantinya, perut rata dan dada bidangnya tidak terluka. Kecuali bahu kirinya yang tampak lebih bengkak dibanding sisi sebelahnya. Wajahnya baru akan berpaling ketika Saga menyadari lagi belakang kepalanya dicukur dan ada bekas jahitan kecil disana.

Saga mulai memerhatikan lebih saksama dan memang sebagian besar anggota tubuh bagian kiri menunjukkan adanya bekas luka.

"Apa yang sebentarnya terjadi?" batinnya tak percaya.

Kepalanya mendadak pusing memikirkan jawaban pertanyaannya sendiri namun kakinya masih bisa bergerak bebas. Saga memerhatikan seisi ruangan. Keluar dari kamar langsung berhadapan dengan koridor panjang dan menemukan seorang bocah tengah duduk diam mengawasi papan catur seorang diri.

"Bermain dengan siapa?" tanya Saga basa basi.

Javier mengangkat kepalanya dan menunjukkan sisi kosong didepannya. "Dad mau main denganku?"

Saga menimbang sejenak sebelum akhirnya mengikuti permintaan anak kecil tersebut. "Siapa nama kamu tadi?" tanya Saga mulai menjalankan bidaknya.

Javier memerhatikan langkah yang diambil Saga dan mengambil bidak putihnya. Saga bertarung dengan bidak hitam. "Javier, Dad."

"Sejak kapan, aku jadi ayahmu?"

Novalin masuk dan langsung ikut duduk diantara keduanya. "Cukup, Saga. Jangan ajak Javier bicara yang tidak-tidak."

Kepala Javier terangkat pada ibunya. "No problem Mom. Aku akan ceritakan semua pada Dad. Lihat Dad akan menemaniku bermain,"

Novalin tersenyum, sambil mengusap kepala puteranya dia berbisik agar Javier segera mencuci tangan dan bersiap ke meja makan. Permainan itu berhenti karena Javier menuruti permintaan Novalin.

"Apa aku tidak diizinkan bertanya pada anak itu?"

Novalin menggeleng. "Aku tidak melarang, tapi sekarang sudah waktunya makan. Ayo makanlah bersama kami."

^

Javier meletakkan sendok dan garpunya diatas permukaan piring kosong. Makannya memang menjadi lahap setelah ayahnya sadar. Pemandangan itu tak luput dari Novalin yang memerhatikan dengan baik. Javier bukan anak yang sukar diajak menghabiskan makanan. Namun ada kalanya, Novalin harus berpikir keras agar puteranya mau makan. Tak jarang dia harus menguasai beberapa resep hanya agar Javier bersedia mengosongkan piring demi pertumbuhannya.

"Mom, kangen main sama Luna."

Novalin meletakkan gelas seusai meneguk isinya hingga tandas. Sambil menyentuh bahu puteranya, Novalin menatap puteranya dengan sabar. "Bukannya sudah punya Dad, sekarang apa lagi sayang?"

Javier terkekeh, memamerkan deretan gigi putihnya. "Biar Jav bantu ya Mom." Kata Javier sambil mengangkat piringnya beserta milik Novalin. Matanya mengarah ke arah Saga yang hanya diam mengamati interaksi keduanya.

"Tunggu nanti Mommy nyusul ya." Kata Novalin lantas berbalik menatap sosok lelaki disebelahnya.

"Dia bukan anakku."

Satu kata dan Novalin dapat merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat. Skenario ketika lelaki itu benar-benar sadar total belum sempat Novalin pikirkan. Insiden yang terjadi sebelumnya cukup mengerikan. Bila dia mengatakan yang sebenarnya, bukan tidak mungkin besok hari Saga sudah menghilang dari sana. Masalahnya Novalin sukar berbohong. Kemampuan itu seakan tak melekat pada dirinya.

"Memang bukan." Jawab Novalin tenang, sebaliknya dahi Saga berkerut. Lelaki itu melirik ke arah tangan kanannya pun demikian tangan kanan Novalin. Keberadaan sepasang cincin dalam ukiran setipe adalah bukti yang tak dapat dibantah.

"Tapi kita sudah menikah."

Novalin mengangguk. "Sepertinya butuh waktu sampai kamu paham. Selebihnya jangan memaksakan diri." Kata Novalin hendak beranjak menuju dapur menyusul puteranya.

Tangan Saga langsung menahannya. "Tetapi kamu istri aku. Dan aku tidak pernah menikahi wanita yang sudah punya anak sebelumnya."

Novalin berpura-pura takjub mendengarnya. "Jadi kamu sudah ingat semuanya?"

Saga lantas menggeleng dan Novalin tanpa sengaja mendesah lega. "Ini hampir sore, Saga. Kata David kamu harus menghabiskan obatnya. Kamu juga harus istirahat kembali."

Saga membiarkan ketika wanita itu mengambil obat yang dimaksudnya dan menyodorkan benda itu lengkap dengan air segelas. Saga meminum obatnya dan merasa kepalanya lebih tenang dibanding sebelumnya.

Dia sendiri tidak tahu, apa jenis obat yang diberikan padanya. Bisa saja sesudah meminum obat tersebut dia akan kembali tertidur pulas. Saga tidak peduli. Mungkin itu lebih baik supaya ketika dia terbangun kembali maka semua mimpi anehnya ini akan berakhir.

^

Mengintip dari pintu adalah kebiasaan baru Javier sejak mereka menempati rumah kecil di desa yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Javier memang tidak rewel ketika harus mengucapkan perpisahan dengan teman-temannya, apalagi dengan gadis kecil bernama Luna yang sudah sama-sama sekelas dengannya dari taman kanak-kanak.

Ibunya mengatakan mereka harus memulai segala sesuatu yang baru dan Javier tidak perlu cemas karena doanya sudah terkabul. Ayah yang dia nantikan telah ada dalam kehidupan mereka. Hanya saja sejak mereka pindah sampai sekarang baru sekali Javier melihat ayahnya itu bangun dari kasur dan mulai mengajak mereka bicara. Selama ini lelaki itu hanya tertidur pulas. Bergantian siang dan malam David, dokter di desa itu, dan ibunya merawat ayahnya.

Makanya Javier tak mampu menahan diri untuk mengetahui kondisi terbaru ayahnya. Dia takkan sabar mengajak ayahnya bermain diluar seperti yang sudah lama dia impikan. Untuk sekarang ayahnya kembali tertidur pulas dan Javier berdoa semoga saja, tidur itu takkan lama lagi. Supaya dia bisa lebih lega.

"Hei, lagi apa?"

Javier sadar ditegur membuatnya berbalik badan dan menutup rapat pintu kamar ayahnya dengan pelan. "Aku mau bantu Mommy cek kondisi Dad."

Novalin mengangguk dan membawa puteranya menuju ruang depan rumah. "Kan sudah Mommy bilang Dad masih belum pulih sayang. Sebentar lagi, kalau Dad sudah baikan pasti Jav bebas main sama Dad."

Javier mengangguk paham. "Baiklah, Jav takkan ganggu Dad dulu ya. Tapi tadi Dad sudah mau main sama Jav, Mommy. Mommy lihat kan?"

Novalin terkekeh. "Sudah, berhubung Dad sudah mau baikan, Jav harus sekolah lagi ya. Mommy sudah tanya Om David. Ada sekolah dekat panti, nanti senin kita mulai ya."

Javier langsung menghela napas. Memang sepanjang masa pemindahan rumah berlangsung Novalin sudah mengurus proses transfer sekolah dan karena belum mendapat tempat yang cocok maka Javier dibiarkan belajar sementara dari rumah.

"Kira-kira Jav bisa ketemu teman kayak Luna nggak Mom?"

Novalin pura-pura menerawang. "Hm… kalau dari kata Om David, di desa lebih banyak anak cowok dibanding cewek."

Bahu Javier langsung turun. "Yah…"

"Kenapa Jav nggak suka, jadi pilih mana nih kita balik ke kota dan Jav nggak punya Dad lagi atau tetap disini?"

Javier langsung menggeleng. "Disini ada Dad bersama kita. Jadi, tetap pilih disini."

Novalin terkekeh dan mengajak puteranya berjanji. "Oke, kalau gitu nanti bantu Mommy ya. Jagain Dad gantian kalau Dad sakit lagi."

Javier langsung membuat posisi hormat bendera dan Novalin kembali tertawa. Tawa dua orang yang mengganggu waktu istirahat seseorang di dalam kamar.

Meski belum memiliki ingatan namun pendengaran Saga cukup tajam. Awalnya dia pikir, dengan obat tadi dia akan tertidur lebih lama lagi. Sayang perbincangan dua orang itu sukses membuat kewaspadaan dalam dirinya bangkit. Dari obrolan itu dia tahu kalau dia memang sudah tidak sadarkan diri cukup lama. Pantas ketika bangun kepalanya benar-benar puyeng dan rasanya amat tidak nyaman.

Matanya menatap langit-langit kamar sejenak. Sekarang apa yang harus dia lakukan disini. Bagaimana caranya keluar dari tempat itu sementara dia sendiri belum pulih. Pernikahan itu jelas sebuah akal-akalan karena dia cukup tahu dia tak mungkin menikahi seorang wanita yang sudah punya anak.

Ah tidak, untuk sementara waktu dia hanya perlu menyesuaikan diri sesuai dengan apa yang dikatakan dokter sebelumnya. Setelah dia mendapatkan kembali kesehatannya dengan baik maka dia pasti akan pergi dari sana.