Permulaan dari sebuah kehidupan adalah akhir kehidupan yang lain
.
.
.
Semua pasang mata dipastikan akan memandangi Novalin dengan takjub. Wanita itu berubah dalam waktu singkat menjadi seorang pengantin setelah hampir delapan tahun berlalu. Sesungguhnya dia amat gugup dan juga cemas. Beberapa jam lagi dia akan menyandang status baru.
Pintu ruang make up mendadak terbuka, wajah Novalin terangkat dari lamunannya. Bosnya muncul sambil menggendong bayi mungil dalam dekapannya. "Hai, pengantin… bentar ya." Kepalanya menengok keluar pintu dan sedikit berteriak, "Sayang, boleh tidak bawa Clay sebentar. Ada yang mau aku urus disini."
Seseorang berjalan mendekat dari luar dan lantas mengangkat bayi dari gendongan wanita itu. "Jangan bikin masalah, di acara orang sayang." Tegur sosok itu membuat Novalin diam-diam tersenyum mendengarnya.
"Tenang saja. Ini urusan internal perusahaan. Sudah sana."
"Sayang! … Ah, selamat berbahagia Novalin."
Novalin mengangguk pada sapaan itu sebelum pintu akhirnya ditutup dan menyisahkan dirinya berdua dengan pimpinannya. Octavia langsung menarik sebuah kursi dari sudut ruangan mendekati keberadaan Novalin.
Wanita itu melepas earpiece-nya dan mematikan ponsel diatas meja rias. "Sekarang hanya sisa kita, Nov. Boleh lo jelasin ke gue kenapa sampai masalah ini nggak sampai ke gue?"
Novalin menggigit bibir bawahnya. Semua yang terjadi sampai saat ini berada dibawah wewenang pimpinan Decode. Novalin pikir Octa sebagai pimpinan DS, akan memahami begitu saja mengenai masalah ini. Dia hampir lupa kalau persetujuan Octa juga penting.
"Maafin gue, Ta. Gue nggak sempat cerita ama lo."
Octa menggeleng. "Terlepas dari posisi kita sekarang, gue tetap rekan lo, Nov. Apa yang terjadi sekarang, nggak terlalu jauh menurut lo? Gue bisa aja ngomong sama bos besar kalau emang perlu. Lo nggak perlu melakukan ini, Nov."
Novalin tersenyum kecil. "Nggak papa, Ta. Ini memang pilihan gue juga."
Octa mendesah sebelum menyentuh pelipisnya. "Waktu itu, Clay sempat sakit makanya gue nggak bisa menemui lo. Makanya gue minta Mona. Tapi kalo tau hasilnya bakalan kayak gini, gue nggak tau harus ngomong apa."
"Tenang aja, Ta. Gue bisa lalui ini kok." Janji Novalin berusaha terdengar yakin, meski dari dalam dia sendiri tahu ini merupakan pilihan aneh yang pernah dia ambil. Satu sisi dia mesti menjalani pernikahan ini demi kebahagiaan puteranya. Namun disisi lain, dia harus mempertaruhkan kepercayaannya pada perusahan tempatnya bekerja. Novalin tak tahu ke depan rencana apa yang akan Saga persiapkan. Dia tak tahu akan sampai mana dia bisa menatap Octa tanpa rasa bersalah.
"Oke. Gue nggak bisa berbuat apa-apa kalo lo bilang gitu. Tapi maaf, Nov posisi lo di kantor terpaksa diganti orang lain. Setelah hari ini, status lo nggak bakalan beda dari Mona. Karena kalian sudah menjadi bagian keluarga besar."
Novalin sedikit lega mendengar itu. Bukan menyombong tetapi pada akhirnya beban pekerjaanya sedikit ringan. "Maafin gue Ta. Dari dulu, gue emang nggak pernah mau jadi wakil pimpinan. Urusan di DS sering gue abaikan sejak mengambil tugas sekarang."
"Itu nggak penting Nov. Selama kita bisa bekerja dengan nyaman dan aman, gue pikir urusan kantor bisa belakangan. Kita tetap staf lapangan remember?"
Novalin tersenyum senang dan Octa mau tak mau sedikit tenang. "Oke, acaranya jam berapa mulai?"
"Mungkin sepuluh menit lagi, supir bakalan jemput gue Ta."
Octa mengangguk dan kembali mengambil peralatannya. "Sorry ya Nov, gue nggak bisa anterin. Padahal gue pengin banget ikut. Tapi sesuai permintaan tuan Saga, hanya keluarga yang boleh ikut artinya gue nggak bisa. DS pun juga hanya lima orang doang. Itu pun pengawal masing-masing anggota keluarga. Dan mereka bilang kalo aturan dari pihak WO, mereka harus berdiri diluar tempat acara. Benar-benar tipikal tuan Saga."
Novalin tahu tentang opsi itu karena Saga sendiri yang mengatakannya. "Nggak papa Ta. Lo udah jauh-jauh kesini aja udah bikin gue senang. Salam ya buat Leon ama anak-anak lo."
Octa tersenyum setuju sebelum merangkul sebentar Novalin dan berpamitan keluar ruangan. Novalin kembali memandangi pantulannya di cermin dan menghela napas panjang. Sebelumnya dia sudah memberi clue pada puteranya mengenai masalah ini. Sesuai dugaan Javier melompat kegirangan.
Sementara waktu, selama mengikuti prosesi pernikahan maupun bulan madu sesuai agenda dari bos besar maka Javier tidak masalah dititip pada keluarga teman baiknya. Bos besar sudah menawarkan agar Javier diberi kesempatan tinggal bersama disalah satu kediaman Decode namun Novalin menolak. Identitas puteranya harus tetap aman dalam genggamannya.
"Permisi, sudah waktunya berangkat nona."
Novalin lantas menegakkan bahu mendengar itu. Seorang perempuan dari pihak WO datang dan membantu Novalin menuju kendaraan. Entah mengapa perasaan was-was mengusik pikiran Novalin. Octa bilang orang-orang mereka hanya berjumlah sedikit. Bukannya pengamanan tetap diperlukan disaat seperti ini?
Novalin tahu, dirinya bisa menjaga diri sendiri tetapi dengan gaun sepanjang mata kaki seperti ini Novalin berdoa semoga semua baik-baik saja.
^
Saga tak pernah menyangka setelah melihat berbagai prosesi pernikahan, sekarang akan menjadi gilirannya. Setelah kakak tertuanya melangsungkan dengan megah dan besar-besaran, adiknya dengan gaya santai namun tetap elegan maka sekarang Saga lebih mengecilkan lagi porsi acaranya.
Jasnya berwarna hitam, bahkan kemeja dalamannya pun serupa. Hampir semuanya serba hitam sesuai permintaannya. Tetapi tetap saja, keberadaan mawar merah menjadi salah satu yang membuat penampilannya terlihat lebih baik.
Matanya melirik sekilas pada kontrak pernikahan yang akan baru diselesaikan tadi pagi. Meski wanita itu sudah menyetujuinya namun beberapa hal masih dipikirkan Saga sehingga penetapan untuk tanda tangan kontrak baaru akan dia lakukan setelah mereka berdua dinyatakan sah sebagai suami istri. Bukan apa-apa dia tahu, gerak geriknya akan diawasi. Bila dia ketahuan melakukan hal ini, entah keputusan apa yang akan dilakukan adik sialannya.
Pintu kamarnya diketuk. Tanpa mempersilahkan, seseorang masuk dan langsung mengamatinya. "Kau terlihat tampan sekarang."
"Tutup mulutmu."
"Jangan coba-coba dilepas ya. Aku tau kau sengaja ingin membuat pernikahanmu seperti pemakaman." Tuding Sadam pada jas pengantin.
Saga tahu kehadiran dan semua omong kosong adiknya hanya untuk memancingnya. Karena itu Saga segera berbalik dari cermin dan menatap cerah Sadam dengan menyipitkan matanya.
"Selanjutnya apa?"
Sadam melipat kedua tangannya didepan dada. "Agendanya kan sudah kau baca sendiri. Apa perlu kuulangi?"
Saga menarik napas, mencoba tetap bersabar. "Kau tau apa yang kumaksud, brengsek. Mustahil hanya ini yang akan kulakukan dan sesudah itu tidak terjadi apa-apa. Aku mengenalmu, bajingan."
Sadam mengangguk dengan santai. "Terserah apapun yang kaukatakan. Ah satu lagi, aku juga tidak keberatan bila sesudah ini Novalin kemungkinan hamil dan punya anak secepatnya."
"Apa?"
Satu alis Sadam terangkat. "Tentu saja kalau kau masih mau menyentuhnya. Lagi pula siapa tahu kalau anak pertama kalian laki-laki mungkin, ayah akan mendaftarkannya ke ahli warisnya kelak." Tembak Sadam.
"Brengsek!"
Pintu kamar mendadak diketuk lagi. Baik kedua lelaki itu sama-sama terdiam. Wajah Monalisa hadir dari balik pintu, dengan dress berwarna cerah. "Aku mencari-cari kalian. Dam, ayo jangan ganggu pengantinnya."
Sadam segera menghampiri istrinya. Dan sebelum sama-sama meninggalkan ruangan itu Sadam menatap Saga sekali lagi. "Ingat satu hal, aku takkan pernah menghapus semua perbuatanmu terhadapku dan juga keluargaku."
Monalisa lantas menyentuh pelan lengan suaminya. "Dam, ayo."
Kedua orang itu segera meninggalkan sang pengantin seorang diri. Saga tidak mau kalah, dia meraih ponselnya dari saku celana dan melakukan sebuah panggilan. Disela nada tunggu dia menggulung kontrak tersebut dalam sebuah tabung yang akan dititipkan pada pihak WO. Dokumen itu akan ditanda tangani bersamaan dengan pencatatan administrasi negara.
"Halo, M…"
Suara helaan napas panjang terdengar. "Apa yang membuatmu berpikir untuk menghubungiku sekarang Saga Decode?"
"Listen, aku butuh back up untuk…"
"Pernikahanmu kan? Tenang saja tanpa kauminta aku sudah melakukannya."
Dahi Saga berkerut. Dia kira M masih membencinya soal masalah di bandara tempo hari. Saga memang belum sepenuhnya melunasi hutangnya soal biaya perjalanan waktu itu. Tetapi M juga keterlaluan dengan memberi orang-orangnya mengejarnya seperti seorang pencuri. Saga tahu apa yang dilakukannya dan dia memang akan segera melunasi semua, hanya saja untuk sekarang dia membutuhkan bantuan lagi. Tetapi darimana M tahu tentang pernikahan?
"Apa maksudmu?"
"Semua orang menikah pasti berbahagia bukan, nantikan juga hadiah pernikahan dariku." Komunikasi terputus sepihak. Saga merasa ada yang tak beres. Masalahnya dia engan meminta bantuan pada orang lain. Bila ada yang bisa menjamin keamanannya sekarang maka jawabannya ada pada Decode Security. Namun Saga sudah mengatur agar orang-orang dari tempat itu cukup seadanya. Dia takkan pernah melupakan kebenciannya pada DS. Apalagi sebentar lagi dia akan menikahi salah seorang anggota aktif DS yang menerbitkan lebih banyak kekesalan dalam dirinya.
"Permisi tuan, sudah waktunya kita berangkat ke gereja."
Saga menghela napas panjang dan keluar mengikuti jejak WO yang bertugas. Dia mengamati sekitar dan memastikan sesuatu.
"Pengantin wanita sudah tiba?"
Perempuan yang bertugas sebagai WO tersebut menggeleng. "Sudah kami cek, pengantin wanita masih dalam perjalanan tuan. Silahkan lewat sini."
Saga mengangguk dan masih tetap waspada. Keduanya memang berada didua tempat berbeda untuk bersiap-siap. Saga dari kediaman utama Decode sementara Novalin menanti dari hotel yang menjadi tempat resepsi tertutup seusai pemberkatan berlangsung.
Seorang supir dari pihak hotel bergegas membuka pintu dan Saga langsung duduk dengan tenang. Pihak WO tadi bergabung dengan rombongan mobil lain persis dibelakang. Mereka sama-sama bergerak menuju gereja yang diatur Sadam.
^
Pemberkatan dan pengucapan janji sumpah berakhir. Semua orang dari pihak keluarganya tampak antuasias menyaksikan acara sakral tersebut. Saga sendiri menyadari bahwa ada sebuah kecemasan tidak masuk akal yang sempat melandanya. Padahal sebelumnya dia sudah melatih dengan baik hal tersebut. Berbanding terbalik dengan pengantinnya yang seakan tak masalah dalam melakukan tiap susunan acara.
Selepas pemberkatan dan pendokumentasian pada bagian administrasi negara, pihak WO mengiring kedua mempelai untuk melakukan sesi pemotretan dengan para tamu undangan dihadapan gereja sebelum melanjutkan acara ke hotel yang telah disewa.
"Aku rasa ada yang tidak beres." Bisik Saga kepada Novalin yang masih tersenyum pada tiap orang yang memandangi mereka.
"Apa maksud tuan?"
"Kita harus segera tinggalkan tempat ini."
Novalin benar-benar menoleh ke arah lelaki yang sudah menjadi suaminya sekarang. "Tapi tuan, kita masih harus berfoto sebentar sesuai…"
"Satu foto saja sesudah itu, ikut aku."
Mau tak mau Novalin menurut. Mereka berdua diarahkan berdiri didepan pintu gereja dan diminta berpose mesra. Awalnya Saga benar-benar menolak ketika diminta merangkul pengantinnya dari belakang. Tetapi desakan dari pengarah gaya dan teriakan keponakan serta tantenya membuat Saga terpaksa melakukan apa yang diminta.
Bukannya tak tahu, tetapi dari ujung matanya dia bisa melihat betapa Sadam menikmati waktu saat dirinya dipermainkan bagai bola ditengah-tengah semua orang.
"Maafkan saya tuan." Bisik Novalin saat tanpa sengaja menginjak ujung sepatu Saga.
"Tutup mulutmu dan selesaikan ini sekarang." Sergah Saga kesal. Keduanya akhirnya berdiri seperti patung dan mendapat sejumlah kilatan blitz dari depan. Ditengah-tengah itulah Saga menyadari kehadiran orang-orang berpakaian gelap yang mendadak muncul diam-diam dihalaman sekitar gereja.
Bila dirinya tak sempat berpaling maka kepalanya dipastikan bocor oleh satu peluru panas. Ledakan tembakan diudara mengacaukan prosesi. Seorang fotografer terjatuh ke lantai karena tembakan.
Baik Saga dan Novalin sama-sama refleks menunduk. "Tuan tidak apa-apa?" tanya Novalin sambil menatap waspada.
"Kita harus segera tinggalkan tempat ini, bukannya sudah kubilang dari tadi." Geram Saga mau tak mau menarik tangan Novalin agar mereka sama-sama berlindung dibalik pilar bangunan gereja.
Orang-orang sudah berhamburan menjauhi bagian gereja. Baik Saga maupun Novalin segera menuju pagar belakang gereja. Dibelakang mereka beragam tembakan mengikuti bayangan mereka. Berhadapan dengan pagar yang cukup tinggi dan ujungnya yang runcing, Novalin sedikit ragu untuk memilih jalan tersebut.
Saga berhenti sejenak menyadari langkah Novalin yang melambat. "Tunggu sebentar, biar aku duluan. Aku akan memapahmu keluar. Pasti ada mobil yang bisa kita gunakan."
Novalin mengangguk dan membiarkan Saga melompat lebih dulu darinya. Sambil menggulung ujung gaunnya ke atas Novalin bersiap-siap mengambil ancang-ancang.
"Tunggu!"
Langkah Novalin tertahan. Dia berbalik dan cukup yakin bahwa kematiannya sudah mendekat karena rombongan itu seakan muncul untuk mengejar nyawanya.
"Nyonya?"
^
Saga berhasil mencapai sisi luar gereja. Belum sempat memanggil nama istrinya, belakang kepalanya mendadak dihantam sebuah benda tumpul. Kesadaran Saga menghilang. Tubuhnya diangkat dua orang menuju sebuah SUV hitam yang terparkir diseberang jalan.
"Kita mendapatkannya, M."
Mobil itu bergerak menjauhi gereja dan memasuki jalanan utama. Keberadaan mobil tersebut tenggelam diantara arus kendaraan lain. Tidak ada yang menyadari keberadaan Saga dan apa yang terjadi selanjutnya.