Tak ada yang menyuruhmu tetap maju, berhenti adalah hak tiap orang
.
.
.
"Aku ingin kau segera menikah."
Saga yakin pendengarannya tidak salah. Namun ini juga tidak masuk akal. Beruntung dia bukan orang yang dapat tertawa dengan lepas seperti kebanyakan orang. Karena yang Saga mampu lakukan adalah menatap lawan bicara dengan lurus alih-alih memecahkan kepalanya dengan benda apapun yang tercepat dia jangkau saat ini.
"Itu saranku untuk masalahmu, kalau kau ingin memikirkannya silahkan. Namun perlindunganku terhadapmu hanya sampai kau memberikan jawaban."
"Kau tidak bisa mengancamku sekarang, bajingan. Jangan hanya karena sekarang kau punya kuasa atas semua perusahan maupun keluarga, kau bisa seenaknya mengaturku."
Sadam tersenyum kecut sambil menatap kedua telapak tangannya, sebelum beralih menantang wajah kakak tirinya. "Dengarkan aku, terlepas dari hubungan kita. Aku tahu sampai kapan pun kau akan terus membenciku. Tapi aku tak bisa menutup mata darimu, dalam tubuhmu mengalir darah yang sama denganku."
"Maka aku takkan pernah mengadakan perdamaian denganmu sampai mati."
Sadam mengangguk. "Itu pilihanmu. Aku tak bisa menjebloskanmu seperti orang-orangmu ke dalam penjara karena itu akan menghancurkan nama besar keluarga kita. Dengan membuatmu menikah, maka seluruh tanggung jawabku menjadi sedikit berkurang. Pihak ayah, sudah sepakat denganku. Kalau kau mengikuti anjuran kami, kau boleh mengklaim sisa hakmu dalam warisan keluarga besar. Mungkin kau sudah lupa, namamu bahkan tidak ada dalam wasiat kakek juga. Entah apa yang kau miliki sekarang, brother."
Saga langsung berdiri dari posisi duduknya. Gerakan cepat itu memancing semua orang bergerak dalam ruang pertemuan itu. Termasuk Novalin Vlair. Entah mengapa refleks wanita itu berlainan. Dalam situasi tersebut dia mesti bergerak melindungi Sadam, selaku pimpinannya. Tetapi kenyataannya dia malah berdiri membelakangi Saga.
Posisi itu membuat Saga malah tertegun pada belakang kepala wanita itu. Apakah dia berusaha ingin melindunginya sekarang?
Sadam menunduk sekali lagi dengan senyum kemenangan jelas dirautnya. Dia tahu sikapnya memang cukup berlebihan, tapi itu langsung memancing kemarahan kakaknya. Semakin dia teruskan, maka asap akan mendadak keluar dari kepala kakaknya. Tapi berdasarkan apa yang dapat dilihatnya itu, dia cukup tahu, rencananya tak pernah gagal.
"Aku anggap pembicaraan ini selesai. Sementara kau akan tinggal pada rumah yang disediakan kantor. Tenang saja, aku tidak menyuruhmu menginap di mess kok. Kita masih keluarga. Kalau mau kabur juga silahkan. Aku tidak keberatan kalau mendengar kabar kematianmu besok ditangan mafia itu."
Sesudah itu Sadam berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Pengawal-pengawal dari DS bergerak mengikutinya. Menyisakan Saga yang masih berdiri dengan emosi dan Novalin yang tak berani memandangnya.
^
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Novalin makin tak berani bergerak. Dia tahu pertanyaan itu tertuju padanya. Karena hanya dia dan majikannya dalam ruangan itu. Kali itu, nada yang terdengar berbeda. Tak ada luapan emosi atau amarah tertahan seperti sebelumnya. Hanya sebuah pertanyaan biasa. Tapi tak ada yang biasa bila orang itu adalah Saga Decode.
"Saya tidak menginginkan apapun tuan. Saya hanya menjalankan tugas."
Saga mendengus tak percaya. Lelaki itu bergerak menuju pintu keluar. Novalin terpaksa menyusul dari belakang. Namun langkah Saga mendadak berhenti. Novalin juga refleks berhenti. Kali itu seringai Saga terlihat.
"Kau akan membuatnya semakin menarik, pengawalku."
Mata Novalin mendadak bercahaya. "Apa itu artinya anda menerima saya?"
Saga lanjut berjalan keluar tanpa kata. Novalin akhirnya bernapas lega. Paling tidak tugasnya kedepan tak berubah. Dia bisa melakukan pekerjaan semudah biasanya. Tidak salah memang mempertemukan seseorang dengan musuh mereka. Kalau kenyataannya itu membuat mental seseorang terusik. Novalin cukup bangga, atasannya mampu menyerang majikannya secara halus tanpa kekerasan sedikit pun. Novalin tidak boleh menyerah karena pengalaman ini menarik semangat kerjanya.
"Terima kasih atas kepercayaan anda tuan. Saya sudah mendapat alamat tempat tinggal anda. Ada mobil di parkiran untuk anda pakai juga. Sementara ini makan malam anda akan disesuaikan dengan lokasi tempat tinggal anda. Saya juga akan memberi anda ponsel baru agar kita dapat berkomunikasi sesuai dengan peraturan dari DS. Ada yang ingin anda tanyakan?"
Saga berhenti sekali lagi. Kali itu Novalin tak sempat menduga tindakan itu membuat Saga langsung mendekap pinggangnya ke tubuhnya sendiri. Dan menatap wajah shock wanita itu. "Bukankah sudah kukatakan, kau akan membuatnya semakin menarik, Novalin Vlair?"
"Mm… maaf tuan, tapi bisakah anda melepas saya?"
Kepala Saga miring ke satu sisi. "Apakah ciuman itu tidak cukup?"
Wajah Novalin merona tanpa sadar. "Saya tidak paham maksud anda tuan?"
"Baik kalau begitu akan kutunjukkan maksudku sekali lagi." Kepala Saga mendekat membuat Novalin segera menunduk dan menyentak agar dilepaskan.
"Jangan tuan. Saya percaya anda bukan orang seperti itu." kata Novalin dengan mata terpejam sesaat.
"Seperti apa?"
Novalin memberanikan diri membuka mata dan wajah Saga benar-benar ada didepannya. Sedikit saja, maka kejadian dalam toilet bandara akan terulang lagi. Namun Novalin tak mau mimpi buruknya berulang. Dia harus menarik diri sebelum terlambat.
"Maafkan saya tuan. Saya takkan mengganggu anda lagi."
Saga menguraikan dekapannya dan menatap wanita yang masih mengatur napasnya tersebut lurus-lurus. Bila memang adiknya menginginkan jawaban maka Saga dengan senang hati akan memberinya.
"Kau akan menjadi istriku, Novalin."
Mata Novalin mengerjap. Apa yang barusan didengarnya membuatnya terguncang. Saga tidak pernah bercanda. Itu artinya hidup sedang dalam bahaya sekarang.
^
Novalin jarang membuka pintu rumahnya karena dia selalu mengharapkan kehidupan terbatas dengan lingkungan luar. Namun apa yang terjadi sekarang tak bisa ditolaknya. Wanita cantik berambut panjang sepinggang dengan mata bulat sempurna berdiri didepan rumahnya.
"Apakah aku boleh masuk, Kak?"
Novalin tertunduk karena tidak nyaman dipanggil dengan sebutan tersebut. Pada akhirnya dia menyingkir memberi jalan agar wanita itu masuk dan duduk diruang tamu kecilnya. Beruntung puteranya sedang berangkat sekolah dan hari itu dia berkesempatan libur dari majikannya yang tak kemana-mana.
"Tunggu sebentar Nyonya biar saya siapkan minum."
Monalisa Decode menggeleng. "Ayolah kak, jangan anggap aku seperti orang asing. Aku hanya ingin mengunjungimu. Apakah itu membuatmu tidak nyaman Kak?"
"Maafkan saya, tapi rasanya canggung saja bila saya bersikap biasa pada istri atasan saya."
Monalisa mengibaskan tangan ke udara. "Ih, jangan gitulah kak. Hanya kakak yang paling banyak bantu aku waktu training di DS dulu." Kenang Mona membuat Novalin tersenyum salah tingkah. Mereka memang saling mengenal sejak Novalin menjadi instruktur di DS. Namun siapa menyangka, garis nasib mengubah jalan hidup seseorang. Mona yang dulu adalah juniornya sekarang beralih menjadi atasannya secara tidak langsung.
"Ya tapi sudah kewajiban tuan rumah menjamu tamu, Nyonya." bisik Novalin sambil mulai menyeduh teh di dapur. Monalisa menyusul langkahnya ke arah dapur tanpa dipersilahkan.
"Aduh, panggil Mona aja kak."
Novalin tanpa sengaja tertawa kecil. Reaksi Monalisa tak berubah sedikit pun. "Saya bisa kena SP kalau bersikap santai pada istri bos besar di perusahan utama dan adik bos di kantor."
"Status itu hanya berlaku di perusahan kak. Diluar itu semua, tidak ada yang beda. Oh iya dimana anak kakak? Aku jadi pengin ketemu. Ah tenang saja, rahasia tentang ini hanya antara aku dan Sadam. Kak Octa sama sekali tidak kami beritahu kok." Mona membentuk huruf v pada tangan kanannya.
Novalin menyerahkan teh dan sepiring biskuit didepan Mona. Dalam hati Novalin sudah menebak akan seperti ini. Meski dia masih penasaran dari mana bos besar mengetahui rahasianya. Mustahil ada yang diam-diam membuntuti semua gerak geriknya. Novalin pikir dia hanya orang biasa. Takkan menarik perhatian siapapun.
"Jam segini, dia masih sekolah Nyonya. Anak Nyonya bagaimana perkembangannya. Saya dengar dari gosip di kantor, anak Nyonya sangat menggemaskan. Tapi tidak dipublikasikan."
Monalisa menerimanya sambil mengangguk. "Sadam itu penakut. Lama kelamaan dia bakalan bikin Arthur seperti dia saja. Tumben kakak ikutin gosip di kantor. Biasanya juga tidak."
Novalin menggangkat bahu. "Semua orang membicarakannya, jadi mustahil kalau tidak saya dengarkan."
Mona meletakkan cangkir dan menatap wajah Novalin dengan serius. "Aku sudah denger dari Sadam tentang rencananya pada kak Saga. Jujur aku tidak bisa ikut campur lebih jauh kak. Meski aku bisa memengaruhi Sadam tetapi kak Saga tetap kakak iparku secara sah."
Novalin diam. Kini dia mulai membaca maksud kehadiran istri bos besarnya ini. "Aku kesini karena kudengar, syarat kak Saga setuju dengan pernikahan tersebut adalah calon istri yang dia inginkan. Kupikir kak Saga akan mengatakan seseorang yang sulit kami carikan. Tetapi pilihannya jatuh pada kak Nov sendiri. Aku tahu bagaimana perasaan kakak. Kalau kakak memang tidak setuju dengan rencana ini, katakan saja padaku kak. Aku disini bukan sebagai istri Sadam kak tetapi sebagai perwakilan dari kakakku. Kami sama-sama tidak ingin kakak melakukan sesuatu yang tak kakak inginkan."
Novalin mendesah tanpa sadar. Baik Octa atau Mona tak jauh berbeda. Mereka selalu memiliki pandangan berbeda. Alasan klasik ini yang pernah dia dengar dari atasan DS sebelumnya. Kedua orang itu selalu mendapat tempat karena pendapat mereka. Novalin cukup tahu Octa tak bisa menemuinya secara langsung dan hanya berkomunikasi melalui telepon untuk urusan pekerjaan. Diluar itu Octa masih ibu rumah tangga biasa dengan dua anak yang menyita perhatian. Berbeda dengan Monalisa yang memiliki waktu luang untuk melakukan apa saja.
"Nyonya, saya tidak tahu harus bagaimana,"
Monalisa mengangguk pasti. "Aku paham Kak. Pernikahan itu bukan main-main. Pertama kali diceritakan padaku, aku juga tidak setuju. Ini bukan sesuatu yang dibanggakan. Tenang saja aku akan meyakinkan Sadam agar menekan kak Saga supaya permintaannya diubah."
"Tapi Nyonya, apakah itu tidak membawa masalah bagi perusahan ataupun internal keluarga. Tuan Sadam bilang, kesepakatannya dengan tuan Shaka sudah pasti. Hanya saja tuan Saga menginginkan saya karena beliau yakin dengan cara ini, beliau dapat mengancam balik tuan Sadam dan DS."
Monalisa mencibir. "Kakak iparku memang kejam Kak. Aku tahu itu, karena itu aku pikir kakak juga berhak mengatakan tidak."
Novalin menunduk tanpa sadar. Menatap ubin rumahnya yang makin tak berbentuk karena rumah peninggalan almarhum suaminya sudah tampak tua. "Saya belum bisa memutuskan Nyonya. Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Begitu juga saya."
Monalisa mendekat dan menatap Novalin dengan serius. "Kakak butuh sesuatu? Atau kakak butuh dokter, kapan terakhir kali kakak check up?"
Novalin menatap kekhawatiran diwajah Mona dengan haru. Cecaran pertanyaan tersebut bukan dibuat-buat. Namun Novalin merasa ragu apakah dia bisa mengatakan semua kegelisahannya begitu saja.
Monalisa menyadari cara diam Novalin, mengingatkannya pada salah satu sifat kakaknya sendiri. Mendadak introver kadang menyebalkan. "Baiklah, kalau kakak belum ingin membahasnya dengan orang lain, aku tidak akan memaksa. Namun perlu kakak tahu, aku siap mendengar kakak kapan pun."
"Sesungguhnya J menginginkan saya menikah lagi." Monalisa terkejut mendengar hal itu namun dia tetap memberi waktu sebanyak mungkin untuk Novalin bicara.
"Kalau dengan pernikahan ini, dia mungkin akan bahagia. Tiap hari dia meminta pada saya agar menemukan seorang ayah baru baginya. Doanya itu tak henti-henti saya dengar Nyonya. Tetapi calon tuan Saga bukanlah seseorang yang mudah Nyonya. Saya juga tak mungkin resign diusia saya seperti ini. Saya memikirkan nasib J seorang."
Monalisa memeluk sebentar tubuh ramping Novalin dan mengusap punggungnya. "Maafin aku kak. Aku benar-benar tidak tahu, aku hanya tak menyangka akan seperti ini masalah kakak."
Novalin menggeleng. Dia sadar, tak semestinya dia mengatakan persoalannya terhadap Monalisa secara gamblang. Hanya saja pikirannya sedang menumpuk menjadi sesuatu yang semakin lama semakin memberat bila dia terus-terusan memendam. Usianya tak lagi semuda dulu. Dimana dia bisa dengan mudah, bertingkah atau sekedar merajuk seperti wanita-wanita lain. Hidup sebagai single parents sudah memberinya begitu banyak pelajaran.
"Kak, bagaimana kalau pernikahan kontrak?"
Mata Novalin membulat. Entah apa yang merasuki kepala istri bos besarnya sekarang. Pernikahan kontrak?
"Iya kak. Kakak tidak mungkin bersedia menjalani pernikahan selamanya dengan kak Saga bukan? Tapi kakak juga tidak bisa menolak permintaan itu secepat itu karena anak kakak ingin punya ayah sekarang. Jangka waktunya bisa kakak pikirkan sendiri. Aku pikir ini hanya satu-satunya penawaran yang masuk akal untuk situasi ini. Semua terserah pada kakak. Kapan pun kakak mengatakan tidak setuju atau punya cara lain, silahkan sampaikan padaku kalau kakak khawatir pendapat kakak tidak akan disetujui kak Octa atau Sadam." jelas Monalisa dengan amat lancar. Ide itu sesungguhnya bukan sesuatu yang mengerikan. Novalin hanya cukup merenungkannya secara baik-baik.
"Selamat siang Mommy."
Baik Novalin dan Monalisa sama-sama menoleh mendengar sapaan dari pintu depan itu. "Kak, aku boleh kenalan ya sama anak kakak?"
Novalin tak sempat menjawab tetapi langsung menyambut kehadiran puteranya. Sambil membantu melepas tas dipunggung anaknya. Javier duduk dan melepas sepatu sebelum meletakkannya di rak dekat pintu.
"Mommy, ada mobil didepan rumah dan sepatu bagus bukan punya Mommy. Apakah kita punya tamu?"
Novalin berjongkok didepan puteranya dan mengangguk. Sambil tersenyum, dia mengacak rambut ikal Javier dan membawa puteranya menuju meja makan.
"Jav, kenalin ini tante Mona. Atasan Mommy di kantor."
Mendengar itu Javier langsung berdiri tegak dan membungkuk hormat. "Selamat siang tante, saya Javier. Anak Mommy terganteng."
Monalisa tertawa mendengar sapaan itu. Dia mengulurkan tangan dan anak kecil itu membalas jabatan tangannya. "Halo, Javier. Aku Mona. Javier sekolah dimana?"
Javier langsung mengambil posisi duduk dimeja makan dan mulai menceritakan kegiatannya seharian di sekolah. Monalisa mendengarnya dengan ketertarikan penuh. Beberapa kali dia melempar pertanyaan dan Javier menjawab dengan cukup menggemaskan. Javier juga tidak takut-takut untuk bertanya balik pada Monalisa.
Komunikasi diantara dua orang yang belum pernah bertemu itu mengusik relung hati Novalin. Dia sadar, selama ini dia terlalu protect pada Javier sehingga dalam lingkungan puteranya hanya anak seusia dirinya dilingkungan sekolah dan dirinya sebagai ibu dalam rumah. Tak ada tanggapan dari luar sama sekali. Sementara Mona, sesuai dengan apa yang pernah bos besarnya katakan. Mona sangat suka dengan anak-anak.
Novalin mengambil kesempatan itu untuk menyiapkan makan siang mereka. "Nyonya, ikut makan bareng kita ya."
Mona mengalihkan pandangan ke arah Novalin dan menggigit bibirnya sebentar. "Oh oke, tapi aku info Sadam dulu ya. Sebelum dia mulai sadar kalau sudah hampir dua jam lebih aku diluar rumah."
Novalin tertegun. "Nyonya keluar tanpa pamit bos besar?"
Monalisa mengangguk santai lantas mengetik pada ponselnya. "Tenang saja, masih banyak orang dalam rumah itu, dia takkan mencariku. Kecuali Arthur, baru aku pamitan."
Javier mendengar pembicaraan itu dan mulai penasaran. "Siapa Arthur, tante?"
Monalisa meletakkan kembali ponsel dalam clutch-nya. "Anak tante sayang, dia masih kecil makanya belum berani tante bawa kemana-mana. Tunggu sebentar lagi, kalau sudah besar nanti Javier pasti akan ketemu."
Kepala Javier mengangguk. "Jav juga suka anak kecil tante. Banyak teman-teman Jav cerita tentang adik mereka. Jav sudah pernah minta sama Mommy tapi Mommy belum mau kasih."
Monalisa kembali tertawa. Ini benar-benar menarik. Dia melirik ke arah Novalin yang hanya mengangkat bahu didepan kompor dan wajan. "Tenang saja Jav. Mungkin sebentar lagi doa Jav akan didengar."
Mata Javier berbinar. Dia ikut menatap ke arah ibunya. "Beneran Mommy?"
Novalin menggeleng. "Jav, ingat apa yang Mommy ajarkan tentang orang asing?"
Kepala Jaiver mengangguk. "Jangan mudah percaya."
Lagi-lagi Monalisa tercengang. Kecerdasan Javier memang mengagumkan. Novalin akhirnya menyelesaikan masakannya dan mereka sama-sama menikmati waktu makan siang berkualitas. Javier kelihatan masih enggan melepas kepergiaan Mona meski wanita itu sudah bersiap untuk pamitan.
"Sudah sayang, ayo pamit sama tante Mona."
Javier menarik ujung baju ibunya. "Tapi tante Mona akan datang lagi kan Mommy?"
Novalin mendesah. "Tanyain sendiri aja, udah jangan ditahan sayang."
Monalisa menunduk hingga wajahnya sejajar dengan bocah berambut ikal itu. "Tenang saja sayang, kapan-kapan tante datang lagi kok. Sekarang tante harus balik. Arthur membutuhkan tante. Kalau tidak dia akan menangis. Jav tega liat Arthur menangis?"
Kepala Javier menggeleng. Dia mengecup pipi Monalisa dan membiarkan wanita itu pergi dari depan rumah mereka.