Chereads / Difraksi Fragmen / Chapter 20 - Gadis dengan Seragam Pelayan yang Imajinatif

Chapter 20 - Gadis dengan Seragam Pelayan yang Imajinatif

Apakah itu ... mimpi? Edwin kembali terbangun dari tidurnya. Pikirannya masih samar-samar dan tubuhnya terasa hancur karena demam dan kelaparan.

Mimpi yang baru saja dia alami tampak begitu nyata. Perasaan kehilangan yang tak terlukiskan mengalahkannya, membuat air mata mendadak jatuh dari matanya.

Orang tuanya telah mati, dan dia tidak pernah lagi bisa bertemu dengan mereka. Itu sebabnya dia melakukan yang terbaik untuk berhenti mengingatnya. Perasaan yang dia segel sampai sekarang mengalir keluar darinya bersama air matanya.

Di dalam dirinya, dia masih memiliki penyesalan terhadap orang tuanya, bahkan mimpinya barusan menekankan hal itu dengan jelas. Meskipun setelah menyadari itu, tidak ada yang bisa dia lakukan.

"Emm ... selamat pagi, atau mungkin selamat sore."

Seorang gadis cantik dengan rambut hitam yang mengenakan seragam pelayan tengah menatapnya, berkata dengan ragu-ragu ketika melihat Edwin menitikkan air matanya.

"... Rin. Kenapa?"

Setelah pandangannya mulai jernih, dia bisa melihat seorang gadis yang dikenalnya sedang duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Tapi menyadari keanehan dari kehadiran seorang gadis di apartemennya, membuatnya secara refleks meminta penjelasan.

"Saya dengar kalau Anda tidak menghadiri kelas hari ini, jadi saya mencoba mencari tahu dengan datang ke sini. Begitu saya tiba, saya menemukan bahwa Tuan sedang tertidur karena sakit. Ah, maaf karena telah lancang masuk ke kamar Anda!"

Bisa dilihat bahwa Rin menatapnya dengan khawatir, kemudian dia menundukkan kepalanya setelah menyadari kesalahannya.

Edwin bisa merasakan bahwa tubuhnya dibungkus dengan selimut. Jika dia ingat dengan benar, sebelum tertidur dia tidak sempat memakainya.

Dia juga merasa ada sesuatu yang sedikit berat di kepalanya. Ketika dia menyentuh dahinya dengan tangannya, dia bisa merasakan bahwa ada kain hangat di sana. Tampaknya di bagian dalam kain ditaruh sebuah plester kompres karena dia merasakan tekstur yang sedikit keras di dahinya.

Berdasarkan hal itu, Edwin mengerti kalau Rin merawatnya ketika dia tidur. Bahkan Rin juga menyiapkan sendiri kain dan plester kompresnya, karena Edwin tahu tidak ada benda seperti itu di apartemennya.

"Jadi begitu. Maaf Rin, aku jadi merepotkanmu. Tapi, terima kasih ya."

"Y-ya. Saya melakukannya karena keinginan saya, jadi itu tidak merepotkan. Omong-omong apakah Anda sudah makan?"

Rin mengangkat kembali kepalanya, masih ada kecemasan yang tergambar di matanya.

"Belum. Mungkin setelah ini."

Edwin berusaha bangun dan duduk di tempat tidurnya. Karena terlihat tidak memiliki tenaga untuk melakukannya, ketika dia mulai bergerak, Rin membantu dengan menopang salah satu sisinya.

"Saat membeli plester kompres, saya juga membeli bubur instan di minimarket. Jika tidak keberatan, apakah Anda bersedia memakannya?"

Rin bertanya, setelah dia kembali duduk di kursi.

"Apa tidak masalah? Sebenarnya, aku tidak punya cukup tenaga untuk pergi ke dapur, jadi aku baru ingin memintamu memasak mie cup yang aku simpan di dekat lemari pendingin. Tapi kalau tidak merepotkanmu, aku tidak keberatan dengan bubur instan."

Edwin mengerutkan kening, tampak enggan menyuruh Rin karena mungkin akan merepotkannya. Tapi dia tidak punya pilihan lain, rasa lapar tidak mengizinkannya menolak kebaikan Rin.

"Tentu. Itu suatu kesenangan untuk saya jika saya bisa berguna. Oh iya, sebelum itu, tolong isi tubuh Anda terlebih dahulu dengan cairan."

Rin mengambil gelas di meja yang ada di sudut ruangan, lalu memberikannya kepada Edwin.

Edwin menerimanya dan meminum air di dalamnya. Hanya satu tegukan, isi di dalam gelas habis tanpa sisa.

Edwin seakan sudah menunggu lama hanya untuk bisa minum. Kerinduannya pada air akhirnya terbalas, dan kebahagiaan dapat terlihat pada kilauan di matanya.

"Terima kasih, kau menyelamatkanku Rin."

Rin menerima gelas kosong dari Edwin dan menaruhnya kembali di meja.

"Tidak mungkin, saya tidak pantas dengan kata-kata itu."

Rin menggelengkan kepala dengan lemah. Meski dia berkata seperti itu, tapi dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan yang muncul di sudut bibirnya.

Edwin terlihat berhati-hati untuk tidak memandang Rin, dia melihat ke arah jam, lalu mengerutkan keningnya. Pukul tiga sore, hanya berselang satu jam dari waktu biasanya semua kelas di akademi selesai, jadi dia bertanya kepada Rin dengan heran.

Sebagai informasi, akademi tempat Edwin belajar memulai kelas dari jam delapan pagi dan berakhir pada jam dua siang.

"Apa kegiatan Komite Akademi sudah selesai?"

Dia menyiratkan bahwa tidak biasanya Rin pulang dari akademi di waktu seperti ini, karena biasanya dia selalu pulang lebih lama dari pada siswa lain.

"Seperti yang Anda lihat, saya sudah lebih dulu menyelesaikan pekerjaan yang penting, jadi beberapa sisanya saya serahkan kepada Wakil Ketua Komite Akademi."

Tapi sejujurnya, masih banyak tugas Komite Akademi yang perlu dikerjakan. Belum lagi, setelah kelas selesai, Rin seharusnya menghadiri pertemuan yang telah dia rencanakan dengan siswa dari anggota Great Noble House di Wilayah Torch yang ada di kelas Edwin.

Tapi mendengar kabar bahwa tuannya tidak menghadiri kelas, Rin yang khawatir bergegas mengunjungi apartemennya begitu kelas selesai.

Sebelum pergi mengunjungi Edwin, dia sudah menyuruh Nabil menggantikannya memimpin pertemuan yang dia tinggalkan. Nabil tidak keberatan, bahkan dia mengiringi kepergian Rin dengan senyuman hangat.

"Kalau kehadiranmu di sini tidak mengganggu pekerjaanmu sebagai Komite Akademi, maka tidak masalah. Tapi, emm ... jika tidak keberatan, bisakah kau jelaskan, ada apa dengan seragam pelayan?"

Edwin akhirnya mengutarakan sesuatu yang sejak tadi mengganggunya. Dia masih tidak nyaman untuk sekadar melihat ke arah Rin.

"Oh, Anda menyadarinya! Sejujurnya, sebelum datang ke sini saya sudah menebak kalau Tuan tidak menghadiri kelas karena sakit. Dan Nabil mengatakan kalau saya harus memakai pakaian ini, yang mana dapat membuat Anda sembuh lebih cepat."

Dia tidak berbohong dalam hal itu. Setiap bagian dari bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa dia mengatakan yang sebenarnya.

Sejak pagi, ketika dia mengetahui kalau Edwin tidak menghadiri kelas, dia memikirkan alasannya bersama Nabil, dan akhirnya sampai pada kesimpulan tersebut.

Tapi untuk masalah seragam pelayan, Rin pada awalnya ragu-ragu untuk memakainya, apalagi melihat Nabil menyarankannya sambil tersenyum seperti lelaki tua yang mesum. Namun setelah Nabil mengatakan bahwa seragam pelayan tersebut bisa mengeluarkan pesonanya, Rin akhirnya menerimanya.

"Ka-kalau begitu aku terima niat baikmu. Tapi lain kali kau tidak perlu sampai berpakaian seperti itu."

Edwin paham bahwa gadis itu telah ditipu oleh rekannya, tapi sebagian dirinya tidak bisa menyangkal kalau pakaian itu terlihat cocok untuknya.

Pakaian itu sangat menonjolkan lekuk tubuhnya, sedikit erotis tapi pada saat yang sama juga artistik untuk digambarkan. Renda-renda di seragamnya dibuat dengan baik, terutama di sekitar dadanya yang terlalu dianugerahi, di mana di bagian itu terdapat pita kecil yang sepertinya dikhususkan untuk menarik perhatian, membuat Edwin sama sekali tidak ingin mengalihkan pandangannya ke arah sana agar tidak terperangkap jebakan dari pembuat seragam tersebut yang tampaknya sangat pandai menebak selera laki-laki, terlebih tipe perjaka yang kesepian seperti dirinya.

Rin juga menyanggul rambutnya, memperlihatkan tengkuk lehernya yang terbuka, putih bersih dan tampak halus. Bahkan sebuah kalung dengan hiasan lonceng kecil di kerah seragam pelayannya, tidak bisa menurunkan pesona wanita dewasa yang dia miliki, malah menjadikannya tampak lebih imut.

Mata Rin berbinar gembira sebab mengira kata-katanya sebagai tanggapan yang positif.

"Ya, sesuai permintaan Anda. Omong-omong, Tuan menyebutkan tentang mie cup. Apakah Anda selalu makan itu setiap hari?"

"Ya."

Apa ada yang salah dengan itu− wajahnya mengatakan demikian.

"Saya dengar Anda cukup baik dalam memasak, tapi kenapa hanya memasak mie cup?"

Rin tampak bingung, sedangkan Edwin terlihat menghela napas.

"Bukankah sudah jelas, karena memasaknya tidak perlu banyak usaha dan tidak butuh banyak waktu."

"Tapi menurut saya makanan seperti itu kurang sehat, lagi pula apakah Tuan cukup hanya dengan makan makanan itu?"

Terdengar kecemasan dalam nada suaranya.

"Rin, kau mulai terdengar seperti Glen!"

Edwin mendengus, tanggapannya sama seperti ketika Glen mengomentari makan siangnya.

"Saya akan menerima itu sebagai pujian dari Anda karena menilai saya setara dengan keturunan dari Tuan Morgan."

"Lakukan sesukamu. Tapi kau tidak perlu khawatir soal makananku. Kalau aku sedang ingin memakan sesuatu, aku akan menyuruh Luke membelinya dan mengantarnya ke tempat ini."

Dia seolah-olah mengatakan dengan mudah bahwa kapan saja dia menginginkannya, dia bisa menjadikan orang kepercayaannya sebagai petugas layanan pesan antar makanan.

Rin sebenarnya mempertanyakan itu bukan tanpa alasan. Sebelumnya Edwin tinggal di mansion bersama kakaknya, jadi kebutuhan makannya sudah disediakan oleh para pelayan yang bekerja di mansion.

Tapi sekarang dia memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya sebagai syarat bahwa dia bersedia didaftarkan ke akademi, dan dalam syarat itu dia ingin tinggal sendiri tanpa ditemani bahkan oleh pelayan keluarganya.

Rin juga menyadari bahwa tuannya malas untuk membuat sendiri makanannya, walaupun dia memiliki keahlian dalam memasak. Jadi setelah mendengar bahwa tuannya hanya memakan makanan instan, Rin merasa bahwa dia masih punya kesempatan untuk menawarkan dirinya, karena sejak awal itulah alasan dia bertanya.

"Ka-kalau begitu, apakah Anda tidak keberatan, um ... ji-jika saya memasak untuk Anda setiap hari?"

Dia mengatakan kalimat itu dengan malu-malu, hanya saja suaranya teredam oleh bunyi bel yang tiba-tiba terdengar dari pintu depan.

Edwin tidak memperhatikan ucapan Rin karena fokusnya langsung teralihkan oleh bunyi bel.

(Arghh!! Siapa sih orang yang berani mengganggu waktu kami berdua!)

Garis bibir Rin ditampilkan dengan sinis, terlihat jelas kalau dia kesal. Hampir sedikit lagi tujuannya akan tercapai, tapi bunyi bel mengganggu rencananya di saat-saat terakhir.

"Biar saya lihat dulu siapa yang datang."

Rin tersenyum tapi sinar matanya perlahan meredup dan berubah dingin, lalu dia berdiri dan berjalan ke luar dari ruangan.

Edwin merasakan hawa dingin yang aneh, tapi dia mengabaikannya karena merasa bahwa itu mungkin disebabkan oleh demamnya.

Rin hampir sampai di pintu depan, dia menampilkan raut wajah bermasalah. Penyebabnya sudah jelas karena pergantian peristiwa yang mendadak padahal dia cukup menantikan waktu berdua dengan laki-laki berwajah suram itu, walau saat ini kesuramannya telah jatuh ke tingkat lebih rendah lagi bahkan mungkin lebih parah dari wajah alien yang divisualkan dalam film lawas.

Mungkin hanya Nabil yang mengerti betapa gembiranya Rin begitu dia diberitahu bahwa ini adalah kesempatannya untuk menikmati waktu berdua. Meski Nabil mengatakan jangan memikirkan pekerjaan Komite Akademi karena dia bisa mengurusnya, tapi Rin benar-benar melupakan pekerjaan itu dengan dirinya sendiri, dan malah bersenandung ketika dia berjalan ke apartemen tuannya.

Pikirannya secara kompleks menggambarkan kemesraan yang sempurna yang bisa terjadi dalam event merawat kekasih yang sakit, daya imajinasinya yang kuat membuat napasnya terengah-engah dan wajahnya meleleh. Intinya, ekspresinya adalah hal yang tabu untuk ditunjukkan kepada orang lain.

Begitulah berharapnya Rin kali ini, sehingga dia telah siap membunuh orang yang saat ini sedang menekan bel terus-menerus tanpa henti seakan mempermainkannya menjadi nada dari sebuah lagu pengantar tidur.

"Berani juga orang itu! Jika tujuannya hanya mengganggu, aku sudah siap mengirimnya ke dunia lain dengan cara memutar kepalanya."

Nada suaranya dipenuhi kemarahan. Dia merasa tidak perlu mengintip dari interkom untuk melihat orang itu, jadi dia langsung membuka pintu. Begitu dia membukanya−

"Eh ...!"

"Hah ...?!"

Seorang gadis yang beberapa tahun lebih muda dari Rin berdiri di depan pintu dengan wajah terkejut.

***