"Apa kau tidak merasa sedih?"
Itu adalah pertanyaan yang menurutnya juga bodoh untuk ditanyakan, bahkan pada bocah kecil yang pasti merasakannya ketika kehilangan orang tua mereka. Tapi Lisa Albern merasa perlu menanyakan hal itu.
Jadi ketika mereka sampai di mansion dan duduk berdampingan di sofa ruang tamu, dia langsung membuka suaranya. Dia tidak membiarkan suasana sunyi menyelinap di antara mereka, karena itu dapat membuat dia kembali ragu untuk mengungkapkan kebenaran kepada adiknya.
"Entahlah." Pertanyaan itu dijawab dengan ketidakjelasan. Itu bukan penolakan atau upaya adiknya menepis pertanyaan, karena dia bahkan tidak merasakan ada perasaan apa pun dalam kata-katanya.
Wajah Lisa terdistorsi, dia tertunduk dengan ekspresi yang pahit.
"Maukah kamu mendengar ceritaku ...? Aku tahu mungkin tidak ada artinya untukmu, tapi aku merasa jika aku tidak mengatakannya sekarang, aku tidak akan punya kesempatan untuk mengatakannya lagi .... Tolong."
Lisa terlihat memohon sambil menahan emosinya. Dia bersusah payah menjaga dirinya agar tidak mengucapkan maaf karena dia rasa dirinya masih belum berhak melakukannya.
"Ya."
"Terima kasih."
Lisa tidak bisa menyalahkan sikap adiknya, karena itu adalah kepribadian yang tercipta setelah bocah itu melewati kesendiriannya. Jadi dari pada mempermasalahkan jawaban singkat itu, dia lebih memilih melanjutkan kata-katanya.
"Aku tidak akan menyalahkanmu yang mencoba menutup diri setelah mengetahui pekerjaan orang tua kita. Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan tentang Ayah dan Ibu. Jadi ... aku ingin tahu bagaimana kesanmu tentang mereka."
Sebelum dia mengatakannya, Lisa telah menyiapkan dirinya untuk menerima apa pun jawaban adiknya.
"... Aku harus memperingatkanmu, mungkin sulit untuk mendengarnya. Apa kau masih ingin tahu?"
Edwin tampak berpikir sebelum akhirnya memberanikan diri dan mengajukan pertanyaan, seolah dia juga menimbang seberapa banyak toleransi yang bisa diberikan kakaknya jika nanti dia mungkin akan berakhir menghina orang tuanya.
"Ya, karena itu yang ingin aku dengar."
Lisa mengangguk tanpa ragu.
"Sampah!" Katanya dengan terus terang.
Bocah itu hanya mengucapkan satu kata itu, tapi berkat itu, Lisa tidak bisa menahan dirinya untuk menampilkan wajah terkejutnya.
Seolah menegaskan kata-katanya, bocah itu berkata sekali lagi.
"Mereka tidak lebih dari sampah dan penjahat rendahan."
Lisa mengepalkan tangannya dengan erat, dia bereaksi bukan karena marah, tapi karena terkejut bahwa kesan adiknya tentang kedua orang tua mereka telah jatuh sejauh itu.
"Be-begitu ...."
Sekali lagi wajahnya terdistorsi, dan dia tersenyum pahit. Sementara dia mengharapkan pendapatnya hanya dalam batas tertentu, tapi ternyata lebih parah dari yang dia duga, sehingga dia tampak tersentak.
Bagaimanapun, Edwin telah tumbuh menjadi anak baik, bahkan dia menganggap bahwa kebaikan adalah jalan hidup paling ideal.
Untuk itu, meskipun bocah itu selalu dikecewakan, karena keinginannya untuk mengajak ayah dan ibunya bermain terus diabaikan, dia tidak pernah mengeluh dan selalu menerimanya.
Dia melakukannya hanya karena didorong oleh keinginan untuk menjadi anak yang baik. Dengan begitu, suatu hari mungkin orang tuanya akan bangga terhadapnya dan tidak akan mengabaikannya lagi. Begitulah pemikiran praktis bocah berumur lima tahun.
Tetapi beberapa bulan lalu, adiknya secara tidak sengaja mengetahui pekerjaan kedua orang tuanya sebagai mafia. Begitu mengetahui bahwa mereka adalah penjahat yang akan membunuh orang lain dan merampas barang mereka tanpa perasaan bersalah, emosi bocah itu benar-benar terguncang.
Dipengaruhi oleh upayanya menjadi anak baik, namun langsung disadarkan bahwa upayanya selama ini berakhir sia-sia, bocah itu kehilangan pegangan hidupnya.
Campuran emosi yang mengendap jauh di dalam hatinya meledak bersamaan, sehingga anak itu tidak tahu apa yang seharusnya dia rasakan saat itu.
Dari pada kelihatan marah, saat itu dia lebih terlihat seperti dia telah benar-benar kehilangan perasaannya. Bisa dikatakan bahwa itu adalah cara dia mempertahankan diri agar hatinya tidak merasakan luka berlebihan, yang mungkin bisa membuatnya berakhir dengan kegilaan.
Begitu menyadari bahwa berharap hanya akan mendatangkan penyesalan, otaknya langsung mematikan semua indra yang berhubungan dengan perasaannya.
Dan sejak itu dia tidak lagi berharap tentang kedua orang tuanya, dan lebih memilih menjaga jarak dengan mereka.
Lisa menarik napas dalam-dalam, sebelum dia menatap wajah adiknya dengan serius.
"Mungkin egois untuk meminta sesuatu darimu setelah apa yang mereka lakukan. Tapi aku mohon, tolong untuk jangan membenci Ayah dan Ibu."
"..."
Mata adiknya melebar, tapi hanya itu. Tidak ada yang dia ucapkan.
"Ayah dan Ibu ... mereka tidak seperti yang kamu pikirkan. Mungkin sulit untuk dipercaya karena mereka adalah orang meninggalkanmu, tapi kamu harus tahu bahwa mereka bukan penjahat."
Lisa mengatakan itu sambil menatap lurus ke mata adiknya.
"Apa kamu mencoba mengatakan bahwa melindungi wilayah mereka dengan cara membunuh orang lain bisa dimaafkan?"
Edwin mengatakannya, tanpa melepas kontak mata dengan kakaknya.
"Itu ...."
Itu karena kamu tidak berusaha melihat dari sudut pandang mereka− begitulah yang ingin dia katakan. Tapi dia menelan kembali kata-katanya. Terasa sangat tidak adil jika dia mengucapkannya pada bocah lima tahun itu, karena itu terdengar menggelikan. Sudah pasti hal yang salah untuk meminta bocah itu mengerti keadaan seseorang yang lebih tua darinya, padahal mereka tidak pernah mencoba mengerti tentang dirinya.
"... Keluarga kita, sudah melakukan pekerjaan itu sejak ratusan tahun lalu. Apa kau akan percaya jika aku mengatakan bahwa keluarga kita adalah Pilar Pendiri Kelima Wilayah Torch yang keberadaannya dirahasiakan dari sejarah, meskipun kita secara tidak langsung membantu dalam mengembangkan negara ini?"
Lisa melanjutkan kata-katanya yang terputus dan membuat pertanyaan yang terdengar seperti lelucon. Dia tidak memperhatikan reaksi adiknya karena pikirannya sudah dia fokuskan untuk menjelaskan segala hal tentang keluarganya.
"Kamu yang setiap hari membenamkan diri di perpustakaan dalam mansion ini, pasti tahu tentang sejarah negara ini dan keempat Great Noble yang mendirikannya. Tapi informasi yang akan aku ceritakan tidak mungkin bisa kamu dapatkan meskipun membaca jutaan buku sekalipun, kecuali kamu mendengarnya langsung dariku atau salah satu dari empat Kepala Keluarga Great Noble."
Lisa melanjutkan ceritanya.
Setiap Great Noble House diberikan tanggung jawab masing-masing. Keluarga Witchell bertanggung jawab membuat alat dan teknologi, Keluarga Wimsey bertanggung jawab mengatur tata kota dan pembuatan jalan, Keluarga Walters bertanggung jawab dalam mengelola dan memproduksi makanan, dan Keluarga Windt bertanggung jawab membantu pekerjaan kasar dan keamanan.
Lalu tugas apa yang diterima oleh Keluarga Albern?
Bisa dikatakan bahwa Albern lebih seperti badan pengawas yang menstabilkan Wilayah Torch.
Sementara Keluarga Windt memegang kendali penuh pada militer dan ditugaskan sebagai pertahanan negara, Albern adalah bagian yang memenuhi kekosongan sebagai kelompok penyerang, bertugas di garis depan dan berhadapan langsung dengan pihak-pihak yang berusaha mengancam kedamaian Wilayah Torch.
Albern juga bertugas sebagai penghubung keempat Great Noble House.
Bukankah sangat aneh jika tidak ada konflik antar Great Noble selama lima ratus tahun terakhir, padahal hubungan mereka tidak begitu dekat.
Pihak-pihak itu hanya dihubungkan dengan tujuan yang sama, sehingga sangat mustahil jika mereka tidak mengalami konflik apa pun setelah hidup berdampingan dalam jangka waktu yang lama. Tapi di situlah peran Albern sebenarnya. Berkat kehadiran Keluarga Albern, konflik antar keempat Great Noble House bisa terus ditekan.
Dengan alasan itu saja bisa diketahui bahwa Albern adalah keberadaan yang dihormati oleh keempat Great Noble House. Tapi rasa hormat mereka juga dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Albern adalah pihak yang pertama kali berhadapan dengan bahaya dan siap kehilangan nyawa mereka demi negaranya.
Bahkan demi menjaga kedamaian di tempat tinggalnya, mereka tidak segan membunuh pihak lain yang terbukti mendatangkan ancaman pada Wilayah Torch.
"Aku menceritakan ini bukan karena ingin mengubah penilaianmu pada perbuatan mereka. Tapi setidaknya tolong untuk tidak membenci Ayah dan Ibu kita. Mereka melakukan tugasnya karena itu merupakan kewajiban mereka sebagai pewaris Keluarga Albern. Bukankah salah jika kita membenci orang yang bahkan tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga mana, dan malah berakhir menjadi bagian dari keluarga yang pewarisnya sudah ditakdirkan sebagai pembunuh, meskipun itu sama sekali bukan keinginan mereka. Karena jika kedua orang tua kita bisa memilih untuk dilahirkan di keluarga mana, mereka mungkin akan menjadikan Keluarga Albern sebagai pilihan terakhirnya."
Meski begitu, perbuatan mereka bukan hal yang bisa sesederhana itu untuk dapat dimaafkan. Karena itulah sebelumnya Lisa tidak bisa menjawab kata-kata adiknya.
"Aku tidak tahu ...."
"...?"
Lisa tampak tidak mendengar dengan jelas apa yang dikatakan adiknya yang sedang tertunduk setelah mendengar ceritanya.
"Aku tidak tahu apakah aku membenci mereka atau tidak. Aku hanya tidak bisa merasakan perasaan apa pun."
"Begitu .... Jika begitu, tidak masalah. Untuk sekarang jawaban itu saja sudah cukup. Setidaknya terima kasih karena percaya pada kebenaran dalam cerita aneh yang tiba-tiba harus kamu dengar." Dia menerima jawabannya dengan tersenyum pahit.
Lisa mengerti bahwa penjelasannya tentang keluarga mereka yang memiliki hubungan dengan keempat Great Noble terlihat seperti karangan cerita yang mencurigakan. Kata-katanya sama dengan ucapan salesman yang menawarkan produk mereka dengan datang ke rumah-rumah dan menceritakan kegunaan produk itu secara berlebihan.
Edwin kemudian berdiri dari sofa. Sudah tidak perlu lagi bagi dirinya untuk tetap tinggal karena mereka sudah selesai berbicara.
"Jika sudah selesai, aku akan pergi ke perpustakaan."
"Ya."
Setelah berjalan beberapa langkah, dia berhenti tepat sebelum menaiki tangga, kemudian menoleh ke arah kakaknya yang masih duduk di sofa ruang keluarga.
"Aku memang tidak tahu apakah aku membenci mereka, tapi aku tahu kalau aku tidak pernah membencimu."
Kemudian dia melanjutkan menaiki tangga menuju lantai dua, di mana perpustakaan berada. Dia pura-pura tidak mendengar isak tangis kakaknya.
Bocah itu tidak tahu bahwa kata-katanya barusan tepat mengenai kegelisahan yang ada pikiran kakaknya. Ucapannya seperti kata-kata pengampunan yang selama ini dia cari.
Dan Lisa merasa bahwa dirinya telah diberikan hadiah terbaik, karena belum sempat dia meminta maaf tapi tampaknya dia sudah dimaafkan, atau lebih seperti bocah itu bahkan tidak pernah menganggap dia bersalah sejak awal.
Sementara untuk bocah itu ...
Begitu memasuki perpustakaan dan menutup pintunya, tangis bocah itu pecah.
Dia langsung bersimpuh seolah lututnya telah kehilangan tenaganya, menangis dengan begitu pilu tanpa menimbulkan suara.
"Aku juga tidak berniat mengatakan kesanku seperti itu ...!!"
Dia melemparkan keluhan kosong. Semua terjadi karena dia berpikir bahwa jika dia tidak mengatakan hinaan itu, bagaimana dia bisa mengatasi rasa sakit di hatinya.
Dan ketika dia mengingat cerita kakaknya, dia merasa lebih bersalah dari sebelumnya.
"Bukankah ini tidak adil, ayah ... ibu ... jika seperti ini akulah yang terlihat seperti orang jahatnya."
Jika boleh jujur, bahkan tanpa cerita dari kakaknya, Edwin sebenarnya sudah pernah membuat kesimpulan tentang pekerjaan orang tuanya. Kepekaan dan imajinasi aktifnya mengarahkan dia pada kebenaran di balik pekerjaan mereka.
Tapi dia terus menolak gagasan itu karena dia sudah menetapkan bahwa mereka adalah penjahatnya, dan dia adalah korban yang telah ditipu oleh mereka.
Tapi cerita kakaknya berhasil memutarbalikkan gagasan itu, dan secara paksa meminta dia tidak lagi bertindak sebagai korban dalam masalah ini. Seolah cerita itu adalah penegas dari kebenaran yang selama ini berusaha dia singkirkan.
Edwin yakin bahwa dia telah membunuh perasaannya, dia juga telah mengubur semua harapannya, tapi kata-kata dari kakaknya berhasil menghidupkan kembali perasaan dan harapan itu.
Seakan, seperti dia telah memutuskan untuk hidup di dunia khayalan, tapi sekali lagi ditarik pada kenyataan. Bersama hatinya yang telah dicairkan dari kebekuan, waktunya yang berhenti sekali lagi didetakkan.
Kehidupan nyatanya teraduk sekali lagi. Bayangan kedua orang tuanya yang melintas di pikirannya, membuat dia terpaksa memahami bahwa dia harus menerima beberapa hal, meski tidak sesuai keinginannya.
Dan saat ini dia kembali berurusan dengan campuran perasaannya yang meledak. Dia merasa bahwa dirinya seakan terjebak dalam kenangan yang diproyeksikan dalam sebuah adegan, di mana warna yang menyusun adegan tersebut tampak memudar, sehingga menjadikan fokus pikirannya terpecah menjadi beberapa bagian.
Dia sudah tahu alasannya kenapa, bahkan tanpa perlu mendengar cerita dari kakaknya.
Dia mengira bahwa dirinya tidak bisa lagi merasakan kesepian, tapi begitu menyadari bahwa kematian kedua orang tuanya adalah kenyataan, dia kembali disadarkan betapa mengerikannya kesendirian.
Dia mengira bahwa tidak ada sesuatu yang bisa menakutinya lagi, sampai akhirnya kedua orang itu pergi, dan dia dipaksa harus menjalani kehidupannya tanpa kehadiran mereka lagi.
Bocah itu mengatakan bahwa dia sudah berhenti berharap, tapi itu hanya salah satu kebohongannya. Karena jika seseorang bisa masuk ke dalam tidurnya, mereka akan bisa melihat, bahwa isi mimpinya selalu tentang kebahagiaan singkat di masa kecilnya.
Kebohongan lain dari bocah itu adalah tentang perasaan yang telah dibunuhnya. Bahkan air matanya yang jatuh saat ini telah sangat membuktikan betapa palsu kata-katanya.
***