Chereads / Difraksi Fragmen / Chapter 18 - Warna dari Kenangan Masa Lalu

Chapter 18 - Warna dari Kenangan Masa Lalu

Chapter 3 : Warna dari Kenangan Masa Lalu

Tapi itu tidak terjadi!

Hari esok yang lebih baik tidak pernah terjadi.

Kesialan sepertinya menampakkan dirinya lebih awal, bahkan ketika dia baru terbangun dari tidurnya.

Edwin jatuh sakit setelah sehari sebelumnya dengan bodoh keluar di tengah cuaca panas, kemudian membiarkan dirinya dengan bebas diguyur hujan.

Inilah yang dia terima ketika dengan lancang berdoa sebelum tidurnya dan meminta hari esok yang lebih baik, padahal dia sadar bahwa dalam hidupnya Tuhan tidak pernah memperhatikannya.

Edwin Albern seolah diciptakan sebagai entitas yang bermusuhan dengan keberuntungan, diisolasi dalam kesialan, dan dibiarkan membusuk sambil melakukan segala hal yang tidak dia inginkan.

Saat ini dia terlihat seperti telah mengalami akhir dari dunia, tetapi dia terpaksa berurusan dengan demamnya sebagai harga yang pantas dia terima atas perselingkuhannya dari kekasihnya. Edwin merasa meninggalkan kekasihnya terlalu lama kemarin karena sibuk dengan urusannya.

Perlu diketahui bahwa Edwin telah mengungkapkan perasaannya pada sebuah kasur single bed yang selalu menemaninya, yang mana dia merasa ditakdirkan ketika mereka berdua dipertemukan untuk pertama kalinya. Dan sampai sekarang, mereka sudah berbagi banyak kenangan setelah menghabiskan waktu mereka bersama.

Bahkan jika diperbolehkan menambah kekasih, dia pasti sudah melamar sebuah kotatsu di toko elektronik di Distrik Perbelanjaan yang selalu menarik perhatiannya, karena setiap dia melewati tempat itu, dia pasti selalu meliriknya.

Begitulah kepribadian laki-laki dengan wajah suram itu, yang mana kriteria kekasihnya adalah tentang kenyamanan.

Untuk itu, dia tidak akan berpikir dua kali dan lebih memilih menikahi sebuah penghangat ruangan, dari pada menjalin hubungan dengan gadis-gadis seusianya yang menurutnya membingungkan, karena isi hati dan ucapan mereka terdengar bertentangan.

Dan saat ini, anak itu tengah merasakan sakit yang hebat berdenyut di kepalanya. Dia dengan susah payah mencoba membuka kelopak matanya, melihat sekeliling ruangan dengan linglung.

Tiba-tiba hawa dingin merayapi setiap bagian kulitnya walaupun dia merasa suhu tubuhnya terasa panas.

Dia berusaha bangkit dengan sisa tenaganya, untuk sekadar melihat ke arah jam dan mengetahui bahwa sudah telat untuk berangkat ke akademi karena waktu menunjukkan hampir pukul sembilan.

Jadi dia memutuskan untuk kembali merebahkan dirinya. Begitu dia melakukannya, dia mulai sadar bahwa dia telah berpikir dengan begitu konyol karena baru saja mencoba memaksa dirinya untuk pergi ke akademi dengan keadaannya saat ini.

Tampaknya dia telah terbawa pola pikir orang normal yang menganggap pergi ke akademi adalah sebuah kewajiban, padahal dia selalu mengeluh tentang hal itu.

Sakit yang Edwin rasakan diperparah dengan kenyataan bahwa dia belum makan apa pun sejak kemarin, makanan terakhir yang dia ingat masuk ke perutnya adalah bekal makan siang dari Glen.

Jika bisa, dia ingin mengisi perutnya dengan mie cup seperti biasa. Tapi terlalu sulit untuk bangkit dari tidurnya, apalagi untuk pergi ke dapur.

Edwin juga menderita pilek dan sakit tenggorokan, itu mungkin disebabkan karena dia lupa untuk menghidrasi tubuhnya dengan air.

Nyeri yang terasa ditubuhnya membuat dia meringis dengan suara yang terdengar sengau. Bunyi napasnya serak dan berat. Kesadarannya telah ditekan sampai ambang batas yang bisa dia pertahankan.

Sepertinya, untuk mengatur napasnya saja dia kesusahan. Dia merasa kehilangan semua tenaganya, karena itu dia perlahan menutup kembali matanya, sesaat kemudian penglihatannya dipenuhi kegelapan.

Dia kehilangan kesadarannya dan tertidur sekali lagi.

***

(Dalam sekejap rutinitasku teraduk sekali lagi. Sebab bayanganmu yang hinggap membawa paksa beberapa hal untuk dipahami.

Aku terjebak di pusaran perasaan dengan kenangan berwarna yang memudar. Dan segala tentangmu membuat sudut pandangku bias dan berpendar.

Kukira tidak mungkin bagiku merasa kesepian, tapi sialnya kepergianmu menjelaskan begitu mengerikannya kesendirian.

Kukira tidak mungkin bagiku untuk takut akan sesuatu, sampai akhirnya tebersit di pikiranku tentang perandaian dunia tanpamu.)

.

.

.

Mungkin itulah yang sejujurnya dikatakan oleh hati kecil bocah itu ketika dia disadarkan kenyataan tentang kematian kedua orang tuanya.

Tampaknya, karena kelelahan yang parah, kesadarannya terbawa dalam ingatan ketika dia berusia lima tahun, ingatan yang entah bagaimana pernah secara tidak sengaja dia lupakan.

Itu adalah sepuluh tahun lalu di musim dingin tahun 738 dalam penanggalan kalender Krieg Heilig.

"Edwin ...."

Sebuah suara yang bergetar memanggilnya. Bocah itu melihat sekeliling dengan heran. Sebelum dia menyadarinya, dia sudah dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan formal dengan warna yang serba gelap.

Mereka semua menghadap ke arah dua makam tepat di depan bocah itu, dengan pandangan yang dipenuhi kesedihan.

Dia merasa pernah melihat kejadian ini di suatu tempat, tetapi dia ragu apakah dia benar-benar akan melupakan sesuatu yang penting seperti ini.

Kemudian tubuh bocah itu bergerak sendiri. Dia kembali menghadap ke arah makam, dan menemukan bahwa batu nisan di makam tertulis nama kedua orang tuanya.

Tapi anehnya, tidak ada emosi dalam ekspresinya, bahkan tidak ada tanda kesedihan sama sekali. Bocah itu hanya berdiri diam dan menatap datar makam kedua orang tuanya.

Orang lain mungkin mengira bahwa tatapannya adalah cara dia bersedih atas kematian orang tuanya. Tapi mereka sepenuhnya salah, karena bocah itu bahkan tidak merasakan emosi apa pun.

Dia hanya berdiri memenuhi tuntutan formalitas untuk hadir sebagai putra dari pihak yang berduka. Tidak ada perasaan yang mengiringi bocah itu meski telah kehilangan orang terdekatnya.

Tapi sepertinya, mengatakan bahwa mereka dekat mungkin terlalu berlebihan. Karena pada kenyataannya, walau hubungan mereka adalah anak dan orang tua, tapi mereka tidak menjalin interaksi yang lebih dekat untuk bisa disebut keluarga.

"Edwin ...."

Kakaknya memanggilnya sambil mengusap lembut kepalanya.

Bocah itu memiringkan kepala ke samping.

"Ya ...."

Edwin menjawab singkat, tanpa ada emosi apa pun yang dibiarkan ikut dalam nada suaranya.

Perempuan itu memperhatikan adiknya dengan ekspresi yang seolah menahan kesedihan. Dia merasa bahwa sebagian dari wajah datar yang ditampilkan adiknya adalah kesalahannya.

Adiknya pernah memulai kehidupannya dengan bahagia, tapi itu hanya sampai dia berumur tiga tahun. Setelah itu, orang tuanya sibuk dan tidak sempat lagi menaruh menaruh perhatian kepadanya.

Tapi dia tahu bahwa itu hanya kebohongan. Orang tua mereka menyibukkan dirinya dengan sengaja dan berusaha mengabaikannya. Tapi adiknya yang dilahirkan dengan kecerdasan di atas rata-rata tampaknya juga mampu memahaminya.

Itu bukan hanya prasangka, tapi kesimpulan dari hasil pemikiran mereka setelah berulang kali membaca suasana yang mengambang di udara.

Adiknya telah ditinggalkan tanpa diberitahu alasannya, tapi bocah itu ternyata menerimanya. Sepertinya dia tidak mempermasalahkan perhatian yang berkurang. Selama dia merasa keluarganya masih berada di dekatnya, dia terlihat cukup bersyukur hanya dengan begitu.

Sejak saat itu, bocah itu telah merangkul kesendiriannya, membiasakan waktunya berlalu dalam kesepian.

Dia juga terlihat menekan keinginannya yang timbul untuk sekali lagi merasakan kasih sayang, yang seharusnya memang sejak awal menjadi haknya.

Untungnya, adiknya jarang sekali keluar dari mansionnya, sehingga bocah itu tidak bisa membandingkan kehidupannya dengan anak lain seusianya. Jika saja dia tahu perbedaan kehidupannya dengan mereka, mungkin dia akan merasakan kesepian lebih dari yang bisa dia kira.

"Ada apa?"

Edwin memperhatikan bahwa kakaknya menatapnya dengan lekat, jadi dia bertanya dengan rasa ingin tahu.

Perempuan itu menggigit keras bibirnya, merasa sudah terlambat untuk menyesal.

Dia merasa telah melakukan dosa yang tidak bisa dimaafkan karena tidak pernah mencoba memahami adiknya. Sebagian perasaan bersalahnya juga disebabkan karena dia hanya meluangkan waktu sedikit untuk bermain dengannya.

Dengan alasan itulah dia merasa bahwa dirinya tidak memiliki kelayakan untuk meminta maaf.

Hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan untuk menebus semua itu. Dia perlu menceritakan kepadanya tentang keluarganya dan segala hal yang selama ini mereka lakukan.

Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi adiknya dengan lembut.

"Sesuatu ... ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu. Mari kita bicara setelah ini."

Dia nyaris tidak bisa menemukan suaranya, sebab dia ragu untuk menceritakan kepada adiknya tentang keluarganya, meski dia mengerti bahwa bocah itu berhak untuk tahu.

"Ya."

Ekspresi tercengang berada di atas wajahnya, tapi Edwin kecil hanya menuruti permintaan itu tanpa banyak bicara.

Upacara pemakaman berakhir dan satu-persatu orang mulai meninggalkan area pemakaman. Bocah itu dan kakaknya adalah orang terakhir yang meninggalkan makam.

Dan setelah mereka pergi, tanpa sepengetahuan bocah itu, banyak sekali orang yang memadati Distrik Segitiga Imajiner hanya untuk menyampaikan kedukaan mereka, dan diam-diam menghampiri makam untuk mendoakan orang yang bersemayam di dalamnya.

Penduduk Wilayah Torch melemparkan bunga di jalan-jalan untuk mengiringi kepergian dua orang yang bahkan tidak pernah mereka temui. Dan ketika itu, suasana negara jatuh pada titik paling suram untuk beberapa hari ke depan.

***