Rawnie memesan taksi online untuk pulang. Untung saja taksi online itu cepat datang sehingga dia tidak perlu berdiri lama didepan pagar rumah itu. Sepanjang perjalan hanya rasa sedih dan kecewa yang bercampur aduk dirasanya. Sesekali air matanya jatuh tanpa sepengetahuannya. Hari ini sangat melelahkan bagi tubuh maupun hatinya.
Meskipun perlakuan menyakitkan ini sudah sering dia dapatkan, tapi tetap saja rasanya menyakitkan untuk diulang kembali.
"Kau pulang cukup larut."
Rawnie mengentikan langkah kakinya ketika hendak menaiki tangga kemudian menoleh kearah kanan.
"Kenapa kau belum tidur?" Bukannya membalas ucapannya Rawnie justru bertanya kepadanya.
"Menungguku pulang?" tanya Rawnie lagi.
Pria itu menggeleng. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya ingin membuat kopi cuaca malam hari ini cukup dingin."
Ia mengaduk sebuah cangkir kembali. "Kemarilah sebentar dan minum kopi ini."
Rawnie menurut menghampiri Ansel yang berada di meja makan. Ia menerima cangkir tersebut, sedikit melirik karena merasa aneh dengan sikap Ansel malam ini.
Ternyata seserubut kopi bisa sedikit menenangkan pikirannya. "Kau sudah bisa berjalan sendiri?"
"Iya, obatnya cukup ampuh, tapi masih sedikit nyeri sebenarnya."
Rawnie mengangguk paham. Setelah itu ia mencoba menghabiskan secangkir kopinya. "Aku pergi ke atas duluan ya. Rasanya badanku sangat lengket dan aku harus membersihkannya segera."
"Iya."
Rawnie tersenyum tipis. "Terimakasih kopinya."
Ansel mengangguk. Dia juga bisa melihat wajah letih dari wanita itu.
Saat berjalan dua langkah pergi Rawnie kembali berbalik. "Ansel."
"Kenapa?"
"Selamat malam."
***
Perubahan sesuatu terhadap tingkah laku terkadang tidak mampu terkendali. Secepat itu hingga membuat kita tidak merasakan perbedaan pada diri kita sendiri. Sepertinya hati yang menjalankan setiap arah tanpa sepengetahuan kita. Mungkin saja ada maksud baik mengapa hati merubah beberapa hal dari diri kita.
Seperti Rawnie yang saat ini masih memikirkan hal diluar kepala yang terjadi semalam. Rasanya aneh sekali saat mendapatkan perlakuan baik dari Ansel, tapi dia pikir dirinya juga aneh. Ia juga tidak habis pikir mengapa dirinya bisa bersikap santai saat berhadapan dengannya, tidak seperti biasanya.
Sekelebat bayangan pria itu tiba-tiba muncul dalam pikirannya.
"Rawnie stop!" ucapnya berusaha mengontrol dirinya sendiri.
Setelahnya Rawnie tidur terlentang menghadap langit-langit kamar. "Hufttt..."
Rawnie bingung dengan aktifitas yang akan dia lakukan sekarang. Bosan dan jenuh, dia butuh waktu untuk memperindah hari nya. Hari ini dia juga masih libur.
Selang beberapa waktu ia menemukan ide yang menurutnya brilian, yang membuat dirinya segera beranjak kasur dan mengambil handuk. Dua puluh menit berlalu dan akhirnya dia menyelesaikan aktifitas mandinya.
Dengan tas yang dislempangkan ke kanan, ia berjalan turun ke bawah.
"Ikut aku!" Ajak Rawnie yang tiba-tiba langsung menarik pergelangan pria tersebut.
"Eh, apa-apaan!" serunya saat Rawnie menarik dirinya keluar kamar.
"Lepas." Dengan tenaganya akhirnya dia bisa melepas cekalan tersebut.
Rawnie meniup poninya seraya bersedekap. "Temani aku pergi."
"Aku tidak mau, pergi saja sendiri." Ansel langsung berbalik arah untuk kembali masuk ke kamar tetapi sebelum itu Rawnie mencegah dirinya kembali.
Menurut Rawnie sekeras apapun dirinya membujuk tetap saja akan ditolak oleh pria itu. Terpaksa ia harus menarik paksa pria itu kemudian memanggil pelayannya untuk membantu dirinya membawa Ansel ke dalam mobil.
Percayalah nasib Ansel saat ini seperti tahanan yang dibawa paksa. Ia dipaksa masuk ke dalam mobil yang sudah ada Rawnie di dalamnya. Kemudian ia dipaksa untuk memakai slingbelt.
"Pemaksaan!"
Rawnie tidak mempedulikannya dia langsung menginjak gas meninggalkan mansion nya.
Sepanjang perjalanan selain diam dan memandangi jalanan Ansel hanya bisa menggerutu dalam hatinya. Ia sangat kesal dengan perilaku Rawnie yang suka memaksa seseorang.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Ansel saat suara tawa mulai pecah dari balik kesunyian mobil itu.
"Mukamu menyedihkan dan sangat jelek."
Ansel tidak habis pikir dengannya. Setiap hari dia selalu dibuat kesal olehnya. Rawnie benar-benar menguji kesabarannya.
"Kurasa kau harus menarik ucapanmu barusan sebelum nantinya kau akan menyesal."
Rawnie hanya tertawa pelan untuk mengejek. "Jangan terlalu berkhayal nanti kau bisa jatuh lalu kesakitan. Aku tidak mau menolongnya yah."
"Berkhayal? Nope! Itu kenyataannya. Seharusnya kau tidak lupa dengan beberapa sikap pelangganmu terhadap diriku."
"Aku tidak lupa, tapi aku pikir selera mereka terlalu rendah."
"Apa maksudmu?"
Ia mengedikan bahunya. "Simpulkan saja sendiri."
Rawnie memiliki seribu satu alasan untuk menghindar dari fakta sebenarnya bahwa pria di sampingnya memang tampan. Sepertinya dia tidak ikhlas dengan fakta tersebut.
Akhirnya mereka sampai di bangunan yang cukup tinggi. Banyak orang yang berlalu lalang di sana. Namanya juga pusat perbelanjaan tentu ramai pengunjung.
"Ayo cepat keluar!" seru Rawnie.
Ansel tak menggubris. Dia memang berniat untuk menunggu di dalam mobil.
"Apa kau tuli hah?" Rawnie menaikan suaranya satu oktaf lebih keras.
"Aku akan menunggu di sini saja."
Bagaimana mungkin Ansel mau keluar dengan penampilannya yang sekarang. Ia pikir wajah nya sangat buruk karena belum sempat mandi ataupun cuci muka sekalipun. Hanya memakai kaos oblong dan boxer, sepertinya itu penampilan yang sangat buruk.
"Kau yakin akan tetap berada di dalam mobil?" tanya Rawnie kembali.
Ansel mengangguk penuh percaya.
"Baiklah jika itu memang keinginan mu, tapi jangan salahkan diriku jika kau mati sia-sia di dalam mobil karena aku akan menguncinya dari luar."
Saat Rawnie hendak menutup pintu dan meninggalkan Ansel. Pria itu berteriak. "Tunggu!"
"Aku ikut denganmu," ucapnya pasrah.
Akan lebih baik jika dia menanggung rasa malunya dari pada harus merasakan sesak karena kehabisan oksigen dan mati sia-sia seperti apa yang Rawnie katakan padanya tadi.
Rawnie sangat puas karena dia menang kali ini. Menaklukkan Ansel ternyata tidak sesulit itu, pikirnya.
Kali ini mereka berada di sebuah mall ternama di kota New Orleans. Rawnie sengaja mengajak Ansel pergi ke tempat itu karena ia tahu jika hari ini akan ada sale besar-besaran yang jelas menggiurkan dirinya. Tentu saja sebagai seorang wanita ia sangat menyayangkan jika harus terlewat pada sale kali ini. Bukankah ini merupakan kesempatan emas untuk berbelanja.
"Haruskah aku ikut masuk ke dalam?" tanya Ansel. Ia ragu untuk ikut masuk ke dalam. Rasanya minder melihat penampilan orang-orang di sana.
Rawnie tentu mengangguk. "Iya, memangnya kau menunggu di sini sendirian?"
"Kau tidak malu?"
"Malu? Malu kenapa?"
"Dengan pakaian yang aku kenakan sekarang."
Wanita itu menggeleng. "Kenapa aku harus malu, memangnya jika berbelanja kita dianjurkan memakai pakaian yang bagus?"
Ansel tersenyum. "Iya kau benar."
Dia tidak percaya jika Rawnie akan berkata seperti itu dan menerima keadaannya yang sekarang.
"Lagipula kan kau yang memakai pakaian seperti itu, bukan aku. Jadi tidak masalah."
Nyatanya berekspetasi terlalu tinggi tidaklah baik. Rawnie tetaplah Rawnie. Wanita menyebalkan yang senang sekali menjatuhkan harga dirinya.