Chereads / Cinta Sang Ningrat / Chapter 11 - janji kami berdua

Chapter 11 - janji kami berdua

Di pagi hari, Mas Abi membangunkanku dengan lembut. Tampaknya dia sudah siap dengan pakaian lengkapnya.

"Ras, bangun. Ayo siap-siap. Kita harus pulang ke Yogya untuk acara pernikahan kita besok lusa," Mas Abi membangunkanku dengan hentakan yang cukup halus. Aku membuka mataku sambil menggingat-ingat kejadian semalam yang membuatku benar-benar malu. Ingin kugali lubang untuk menyembunyikan diriku di dalamnya.

Aku tidak menyangka bahwa aku menggoda lelaki tampan di depanku dan berhasil membawanya ke tempat tidur.

"Mas, bisa ga kamu keluar kamar dulu. Aku telanjang di bawah selimut ini dna aku mau ke kamar mandi sekarang," Aku berbicara dengan lirih kepada Mas Abi karena aku merasa sangat malu.

"Kayanya sudah terlambat deh untuk menjadi malu, ras. Perasaan semalam kamu yang mengodaku dan memperkosaku berkali-kali," sindir mas Abi kepadaku yang membuatku menjadi marah seketika.

"Aku memperkosamu mas. Please deh, siapa yang ada di atasku dan mengubah-ubah posisi badanku sampai sakit semua sekarang. Aduuuuhhh," Aku segera meringis kesakitan Ketika kepalaku serasa ingin pecah akibat alcohol semalam.

"Ras, kamu ga papa?" tanya mas Abi dengan perhatian kepadaku.

"Kepalaku sakit, Mas," aku segera memijat kepalaku samil duduk di atas ranjang. Hal tersebut membuat dada telanjangku menjadi terekspos di hadapan Mas Abi. Suamiku segera mengambilkan obat penangkal rasa sakit dan sebotol air mineral.

Aku menerima pil tersebut dan segera menengaknya ke dalam mulutku. Aku memberikan botol air mineral yang telah aku minum kepada Mas Abi yang segera menaruhnya di meja samping tempat tidur kami. Dia menundukkan kepalanya ke area dadaku sebelum mencumbu dan mengulum area losong di salah satu buah dadaku dan meninggalkan bekas. Godaan dari mulut dan jemari dingin suamiku membangunkan gairah birahiku lagi.

"Ras, ingat satu hal. Semua ini adalah milikku dan aku bukan orang yang sua berbagi dengan orang lain. Apabila kamu tidak bisa menjaga marwah keluarga kita maka aku akan menghancurkan semuanya," tatap Mas Abi tajam setelah meninggalkan bekas kemerahan di dekat putingku. Ini kali pertama Mas Abi memberikan tatapan tajamnya seperti peringatan keras kepadaku.

"Iya Mas. Ingat juga bahwa tubuh Mas adalah milik laras seorang. Aku juga bukan orang yang akan menerima pengkianatan dari mas Abi apapun alasannya. Memang Agama kita mengijinkan tentang memiliki istri dua atau tiga apabila mampu. Tetapi aku tidak akan sanggup untuk berbagi suami Mas," pintaku lirih dengan suara serak kepada suamiku.

"Kita lanjutkan nanti sewaktu honeymoon ya sayank. Saat ini kita sedang di buru-buru waktu. Apa kamu sudah selesai beberes kopermu?" tanya Mas Abi dengan sabarnya.

"Sudah Mas. Kemaren sesudah acara wisuda, aku sudah selesai mempersiapkan koperku. Ini tinggal barang-barang yang akan masuk ke kabin saja," selorohku lemah akibat level adrenalinku yang turun setelah gairah kosong yang harus berhenti

"Kalau gitu aku tunggu di luar ya. Apa mau dibantu mandi? Kamu terus aja mengodaku dan membuka-buka auratmu" Mas Abi Kembali mengodaku dengan guyonan kotornya kepadaku. Ingin kulempar bantal ke kepalanya tetapi ku urungkan niatku karena tenaga ku yang masih sangat minimum akibat alkohol semalam. Tetapi hatiku bergembira setelah merasakan semua gairah dan kesenangan alami daripada perbuatan terlarang mereka semalam.

Aku bergegas menuju kamar mandi ketika aku merasakan sakit di area kewanitaanku dan pingangku. Aku berdiri di didepan wastafel untuk memakai toner pembersih wajah sambil menunggu air panas di shower mulai mengalir.

Terlihat bekas keliaran Mas Abi di tubuhku yang dipenuhi oleh kecupan mesranya. Mas Abi bahkan selalu mengalah dan memuaskanku semalam. Aku yang sebenarnya terbakar oleh api kemarahan akibat pengkianatan Mas Kris membuatku melakukan hal di luar norma kewajaran.

Aku tidak menyesali semua yang kulakukan semalam walaupun aku tidak menjadi istri sahnya. Tampaknya hatiku mulai meleleh dengan semua perlakuan dna perhatian dari Mas Abi. Aku segera masuk ke ruang shower di kamar mandi dan membasuh bersih tubuhku dan mempersiapkan diri untuk pulang ke tanah air.

Kami memilih untuk menyantap makan pagi di lounge untuk kelas busines di airport. Aku tercenggang ketika Mas Abi membayar semua tagihan di hotel untuk mama dan keluarga Bella. Mas Ario menggunakan kartu pribadi Mas Abi untuk menyelesaikan semua tagihan di hotel tanpa adanya kekawatiran sama sekali. Kami menggunakan mobil menuju ke airport dan Mas Ario bersama Mas Abi bergegas memasukkan semua barang kami dan orang tua kami untuk check in.

"berapa ronde semalam?" tanya Bella yang menggandeng lenganku sambil menunggu para suami kita untuk kembali dari konter check in.

"APaan sih? Apanya yang berapa ronde?" tanyaku balik berusaha untuk menyembunyikan malam pertama kami.

"Pakai pura-pura culun ah. Itu bekas cupang di lehermu dan leher mas Abi. Liar sekali kalian," seloroh Bella dengan penuh godaan.

"Memang kamu ga ada bekas sama sekali?" tanyaku kepadanya sambil melihat ke arah lehernya.

"Kita mah professional. Ada bekas di derah di dalam baju lah, kita kan bukan pemula seperti kalian," jawab Bella dengan nakalnya.

"Ah bilang aja kamu ga ngapa2in semalem ma Mas Ario. Udah aku di kentangin dan di biarin sendirian," jawabku marah akibat dari pengkianatan dari sahabatku yang tidak muncul untuk menonton film bersama.

"Lho bukannya tidak mau menemanimu. Tapi Mas Ario dapat teguran dari Pak Bos kalau sampai aku mengetok kamar lu maka bonus bulan ini bakal di C.U.T. ngarti kaga lu? Kasihanilah suamiku yang hidup hanya cukup mengandalkan uang bonus untuk membiayai kebutuhan dasar dapur kami," Jawab sahabatnya dengan muka memelas.

"Muka loe bengek. Biar si Ario ga dapet bonus bulanan juga, dapurmu masih bisa mengebul dengan mewah," jawabku sambil menibir dan menyentil jidat sahabatku yang tertawa mendengar jawabanku.

Mas Abi dan Mas Ario datang kembali ke arah kami dengan boarding pass dan paspor di tangan mereka. Aku melihat koper kecilku sudah menghilang dari tangan Mas Abi yang berjalan sambil memeluk pinggangku ke arah imigrasi dan pemeriksaan custom. Mas Abi membantu kedua orang tuaku dan Mas Ario dengan sabar mengurus kedua mertuanya.

Mas Abi tampak sudah seperti suamiku sesungguhnya dan bukan calon suamiku. Di otakku terus terngiang-ngiang kata-kata peringatan.

'Apa dia tidak akan lari ketika sadar dengan semua kebiasaanmu. Lihat saja Mas Kris saja bisa mengkianatimu dengan cewek lain. Ingat itu laras!'

Peringatan yang terus membuatku berjalan di atas kaca tipis yang bisa saja retak dan pecah kapanpun. Kalau sampai Mas Abi batal meninggalkan aku di hari pernikahan kami, kayanya aku harus mengundul botak rambutku dan berganti menjadi biksu di candi borobudur. Atau aku harus masuk ke pastoral.