Chereads / Cinta Sang Ningrat / Chapter 14 - Filosofi cumi-cumi kering

Chapter 14 - Filosofi cumi-cumi kering

Aku berlari mengejar Mas Abi yang berjalan keluar dari lounge membawa tasku di lengannya yang cukup berotot. Kalau di sejajarkan Mas Abi itu seperti aktor drama cina favoritku.

'Ah. Terlalu tinggi.' Pikirku dalam hati membuyarkan lamunanku.

"Tunggu aku mas." Kejarku setelah kubuyarkan lamunanku mengejar suamiku. Aku harus berlari mengejar nya dengan kaki panjangnya. Memang aku akuin tinggi Mas Abi yang berada pada titik seratus delapan puluh lima centimeter kira-kira sangatlah tidak sepadan dengan tinggiku yang Cuma seratus lima puluh lima centimeter.

Jadi aku harus berlari mengejarnya yang hanya berjalan ke arah gate. Ketika aku berhasil mengejarnya dan mengapai lengannya, dia memeluk pinggangku dengan mesra. Tampak dengan jelas bekas kecupanku semalam di lehernya yang jenjang.

"Mas, kenapa tidak pake sweater turtle neck untuk menutupi lehermu?" tanyaku sambil membenarkan kerah hemnya.

"panas," jawabnya santai tanpa embel-embel lagi.

Sepertinya aku harus benar-benar bersabar dengan semua jawabannya yang kalau disejajarkan seperti cumi-cumi kering dengan kualitas paling murah karena bisa bikin gigi sakit dan tidak bisa ditelan tanpa air yang banyak. Filosofi dari sebuah cumi-cumi kering yang menghasilkan seseorang seperti mas Abi.

Kami masuk ke dalam pesawat dan baru kusadari, kami duduk di deret paling belakang di area pojok kanan yang jauh dengan kursi orang tuaku, sedangkan Bella dan mas Ario berada di deretan kiri pojok juga. Mas Abi menaruh tasku di area kakiku dan tasnya berada di area kakinya.

Pramugari mendatangi kami untuk memberikan handuk dingin untuk kami dan memberikan pilihan minuman selamat datang. Aku yang masih belum pulih dari mabuk semalam memilih jus jambu untuk pilihan minumanku dan Mas Abi memilih sebotol air mineral.

Aku sudah duduk dengan sempurna di tempat dudukku dan mas Abi sibuk membaca koran yang diberikan oleh pramugari. Aku yang merasa masih mengantuk menyadarkan kepalaku ke bahu lebar suamiku dan memeluk lengan berototnya.

Mas Abi memberikan kecupan singkat di bibir dan keningku.

"tidur aja ras, kamu terlihat masih capek. Nanti aku bangunin kalau waktunya makan siang," perintah mas Abi sambil mengelus mesra pipiku untuk menidurkanku.

"ga usah, Mas. Aku masih kenyang," jawabku lirih sambil memosisikan kepalaku dengan posisi nyaman. Mas Abi menepuk-nepuk lenganku dan membuatku menjadi lebih mengantuk.

Perjalanan pesawat menuju bandara sukarno-hatta menempuh jarak waktu tujuh jam. Aku merasakan hentakan lembut di area mulutku ketika aku terbangun karena Mas Abi melumat bibirku dengan mesra. Aku meleleh di dalam ciuman ahli dari orang tampan itu sebelum dia menarik dirinya.

"kita mau mendarat sayang. Kamu harus bangun." Kata Mas Abi dengan lembut. Aku masih berat membuka kedua mataku dan menyadari di jendela memang sudah terlihat jekardah dari atas awan.

Aku merapikan sweaterku dan rambutku sehingga tidak terlihat seperti orang yang baru saja bangun tidur. Tidak lama kemudian terdengar pemberitahuan dari kapten dan pramugari bahwa kita akan mendarat di Jakarta bersama semua informasinya.

Tidak lama kemudian kami sudah menuju ke area transfer ke domestik. Ternyata Bella dan Mas Ario mengikuti kami menuju ke yogyakarta untuk acara pernikahan kami sedangkan orang tua Bella akan menyusul di hari H.

Udara panas menghantam ke arah mukaku dan membuatku menjadi sangat panas dengan sweater kerah tinggi di badanku. Kami menuju ke areal lounge untuk garuda menuju ke yogyakarta dimana Papa, mas Abi dan Ario sibuk bekerja di telepon dan laptopnya. Mama tampaknya sibuk dengan dunianya sendiri sambil meminum teh hangat di depannya. Tampak sekali image mama sebagai kaum sosialita kalangan atas.

"Bell, berapa lama jarak antara malam pertama ke yang kedua? Jujur lho," tanyaku sambil meminum capucino dengan susu kedelai.

"yah malam kedua lah. Memang kenapa loe nanya-nanya? Berapa kali semalem kamu di bolak balik?" tanya Bella dengan curiga dan pindah tempat ke sampingku.

"maksudku itu. Dari pertama kali en malam pertama ke malam selanjutnya," tanyaku malu-malu karena area kewanitaanku walau agak sedikit sakit tetapi merindukan tubuh suamiku.

"Yah malam selanjutnya. Jawabla pertanyaannku wahai sahabat karibku. Kamu ketagihan ya?" sindir sahabat karibku ingin tahu yang cukup besar.

"Loe ketagihan ga?" aku bertanya padanya yang lebih dahulu mengetahui tentang birahi bercinta.

"Gila aja klo kaga ketagihan. So Pastilah itu. Tidak perlu kawatir nanti juga loe bakal tahu posisi mana untuk memuaskan birahi daripada kebutuhan dasar kita sebagai manusia. Enak kan." Timpal bella sambil meminum jus alpukatnya.

"berarti guwe amanlah kalau begitu. Tapi aku bakal dipingit nanti malam sampai hari sabtu," rengekku menyadari bahwa aku tidak akan bertemu dengan suamiku sampai ijab kabul.

"Kasian deh Loe. Derita loe! Eh perlu guwe beliin dildo kah?" goda Bella kepadaku yang membuatku hampir saja menyemprot kopi ke wajahnya.

"Anjrit. Mending guwe bertapa dengan aktor favoritku daripada memakai mainan seperti itu," timpalku padanya.

Tidak lama pangilan pesawat kami berkumandang dari pusat informasi dan kami bergegas berjalan menuju gate tempat pesawat kami. Tidak kusangka, ternyata kami tetap duduk di kelas busines menuju ke yogyakarta yang memakan waktu satu jam sepuluh menit. Kali ini, Mas Abi duduk bersama dengan Mas Ario dan meninggalkanku duduk bersama Bella. Aku tercenggang dibuatnya karena pingitan belum dimulai tetapi dia sudah memingitku terlebih dahulu.