Gentar tampak terkejut mendengar kabar tersebut, dalam hatinya pun bertanya-tanya, "Aku sudah membuat kesepakatan dengan Daska untuk kembali bertarung. Aku tidak jadi bertarung dengan mereka, tapi kenapa mereka sudah ditemukan dalam keadaan mati?"
Dengan penuh rasa penasaran, Gentar pun langsung melangkah menuju ke bukit Datar bersama para penduduk lainnya, ia datang ke bukit tersebut hanya ingin memastikan tentang kabar kematian Daska dan puluhan anak buahnya.
Benar saja, setelah ia tiba di bukit Datar. Tampak puluhan mayat tergeletak, termasuk mayat Daska yang kemarin pagi sempat bertemu dengannya dan mengajaknya untuk bertarung di tempat itu.
"Siapa yang sudah membunuh mereka?" Gentar tapak bingung berdiri sambil mengamati mayat-mayat tersebut.
Di tempat itu, ada dua orang pendekar secara diam-diam terus mengamati gerak-geriknya. Gentar merasa tidak nyaman dengan sikap dua orang pendekar itu, yang terus-menerus mengamatinya.
Lantas, ia pun mendekati dua orang pendekar itu. Tanpa ragu, Gentar langsung menegur dua pendekar itu, "Apakah kalian mencurigai aku, sehingga kalian terus mengamati gerak-gerikku?" tanya Gentar menatap tajam wajah para pendekar itu.
Dua pendekar itu hanya diam tak berani menjawab pertanyaan dari Gentar, sepertinya mereka sangat takut terhadap Gentar.
Gentar terus memandangi wajah kedua pendekar itu, raut wajah mereka tampak pucat, dengan cepat keduanya langsung membalikkan badan dan langsung melangkah meninggalkan tempat tersebut.
Setelah itu, dari arah belakang terdengar suara orang berkata, "Pendekar muda, aku tidak menyangka perbuatanmu begitu kejam. Membantai puluhan pendekar dalam waktu singkat!" Suaranya membentak, namun terdengar sangat merdu.
Dengan demikian, ia pun langsung berpaling ke arah belakang. Tampak seorang wanita berpakaian serba merah yang tempo hari pernah ia lihat di sebuah rumah makan, berdiri sambil mengamatinya dengan sorot mata tajam.
Wanita itu tampak sangar. Akan tetapi, wajahnya sangat anggun dan menawan. Gentar melangkah mendekati wanita tersebut, lalu berkata, "Bukankah kau ini yang tempo hari berjumpa denganku di warung?" tanya Gentar.
"Benar, kita pernah bertemu beberapa hari yang lalu. Mari ikut denganku, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" jawabnya langsung mengajak Gentar.
Ia langsung melangkah ke arah timur menuju sebuah tempat yang jauh dari kerumunan warga. Gentar hanya mengangguk dan langsung berjalan mengikuti langkah wanita itu. Kemudian, mereka berhenti di sebuah tempat yang jauh dari lokasi tergeletaknya mayat-mayat para pendekar itu.
Wanita itu berdiri angkuh menatap wajah Gentar yang sudah berdiri di hadapannya. "Mereka itu mati karena ulahmu, 'kan? Lantas ada persoalan apa antara kau dengan mereka?" bentak wanita itu dengan nada tinggi.
Gentar mengerutkan keningnya, ia tidak paham dan merasa bingung mendengar pertanyaan dari wanita tersebut.
Bagaimana mungkin, ia harus mengakui apa yang ditanyakan oleh wanita itu. Sedangkan dirinya tidak mengetahui persoalan tersebut.
"Aku tidak tahu, dan aku dengan mereka memang tidak ada persoalan apa-apa. Mereka sendiri yang sedari awal aku datang ke kota ini, selalu memancing keributan denganku," jawab Gentar tampak diselimuti kebingungan.
Namun, wanita itu masih saja tidak mempercayai ucapan Gentar. Ia masih beranggapan bahwa pelakunya adalah Gentar.
"Hai, Pendekar! Jika ada persoalan dengan mereka seharusnya kau bicarakan dengan baik-baik. Jangan sampai kau bunuh mereka satu-persatu!" Wanita itu kembali membentak sambil bertulak pinggang.
Meskipun demikian, kecantikan wajahnya tidak luntur dengan sikap emosinya itu. Wanita tersebut masih tetap terlihat anggun dengan balutan kain merah terang.
"Oh, jadi kau memang menuduhku? Perlu kau tahu, aku tidak pernah melakukan perbuatan keji seperti itu, agamaku sangat melarangnya!" jawab Gentar. "Dari kemarin pagi aku tertidur pulas, karena aku sedang sakit. Mana mungkin aku bisa membantai mereka sedemikian rupa?"
Wanita itu tersenyum hambar mendengar penjelasan dari Gentar. "Perlu kau ketahui, mereka yang terbunuh berasal dari kelompok rimba persilatan terkuat dan terbesar di kota ini. Aku tahu, ilmu yang kau miliki lebih tinggi dari mereka, sehingga dengan begitu mudahnya kau melenyapkan nyawa mereka!" Apa yang dikatakan wanita itu seakan-akan mendesak Gentar untuk mengakui perbuatan yang sejatinya tidak pernah ia lakukan.
Dengan demikian, Gentar pun mulai terpancing emosi. Dadanya mulai bergejolak dipenuhi oleh perasaan kesal terhadap sikap wanita itu.
"Pertama aku menginjakkan kaki di kota ini, aku menemukan bercak darah di Masjid tempat Datuk Usman tinggal. Aku ke sana berniat untuk melaksanakan salat dan sekaligus menjumpai Datuk Usman. Namun, aku tidak mendapatinya di sana, aku pikir Datuk Usman sudah terbunuh dan nyawanya sudah dibuang jauh," terang Gentar menuturkan. "Tapi kenapa, orang-orang justru mencurigai aku sebagai pelakunya? Sungguh, aku tidak melakukan perbuatan keji seperti itu," sambung Gentar sambil mengeluh napas, ia terus mencoba meyakinkan wanita itu bahwa dirinya bukanlah pelaku dari peristiwa pembunuhan tersebut.
"Kau memang pandai berdusta, kau pandai menyembunyikan kekejamanmu di balik sikap polosmu itu. Perlu kau ketahui, tidak semua pendekar yang semalam bertarung denganmu tewas, ada di antara mereka yang masih hidup, dan dia tahu jelas kalau pelakunya adalah kamu!" Wanita itu langsung menghunus pedangnya.
"Hadapi aku, dan buktikan jika kau tidak bersalah!" kata wanita itu, bersiap untuk melakukan pertarungan dengan Gentar.
Gentar tetap bersikap tenang, ia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian berkata, "Apakah kau tetap menuduhku? Aku akan membuktikan bahwa aku ini tidak bersalah."
Wanita itu, tidak mau mendengarkan penjelasan dari Gentar. Sorot matanya semakin bertambah tajam menatap wajah Gentar yang dipenuhi rasa kebingungan.
"Tidak usah kau mengelak lagi, perbuatanmu sudah jelas terbukti dan ada saksi yang melihatnya!" kata wanita itu membentak keras.
Kemudian, ia langsung menyabetkan pedangnya ke arah tubuh Gentar. Dengan sigap, Gentar meloncat dan ia pun mau tidak mau langsung melayani keagresifan wanita itu.
Sabetan pedang tampak mengganas sehingga Gentar pun mulai kewalahan dan mundur beberapa langkah ke belakang menghindari serangan-serangan wanita itu.
Sejatinya, Gentar tidak mempunyai maksud hendak bertarung dengan wanita itu. Namun, wanita itu terus menyerang dengan begitu ganasnya. Gentar pun tidak menyangka, jurus pedang yang diperagakan oleh wanita itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar.
Gentar tidak mau terlibat dalam pertarungan lebih dalam lagi dengan wanita tersebut. Namun, ia terus diserang sedemikian rupa, sehingga ia pun merasa kewalahan dalam menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh lawannya.
Dengan sangat terpaksa, Gentar pun mulai mengeluarkan jurus demi jurus. Ia mulai melayani keagresifan pendekar wanita tersebut. Satu pukulan telak mengenai kepalanya, Gentar mulai mundur beberapa langkah ke belakang.
"Hentikan! Ini hanya kesalahpahaman saja, aku harap kau mengerti!" seru Gentar berusaha meredam emosi yang menyelimuti jiwa dan perasaan wanita berparas cantik itu.
"Jangan banyak bicara kau Pendekar!" Wanita itu kembali menyabetkan pedangnya ke arah Gentar. Seakan-akan, ia ingin segera membinasakan Gentar.
*