Sebenarnya Gentar ingin sekali meninggalkan jauh kota Ponti. Namun, ia masih merasa sangat penasaran karena sudah dituduh sebagai dalang dari pembunuhan para pendekar di kota tersebut.
Dengan demikian, ia memutuskan hanya menepi ke sebuah perbukitan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Ponti. Karena jika tinggal di bukit itu, ia masih bisa memantau keadaan kota dan bisa menyelidiki lebih lanjut persoalan yang dihadapinya.
Sebagai seorang kesatria, ia merasa sangat penting untuk menyelidiki duduk persoalan yang sedang dialaminya. Gentar tidak mau selamanya menjadi seorang yang tertuduh atas peristiwa kematian para pendekar di kota itu.
Beberapa hari kemudian, ia langsung membeli berbagai peralatan rumah dan peralatan lainnya untuk membangun rumah di sebuah bukit yang berada di pinggiran hutan. Bukit itu jaraknya tidak jauh dari kota Ponti.
Gentar memulai pembangunan rumah tempat tinggalnya dibantu oleh beberapa orang sahabat Lian Mei dan juga Lian Mei sendiri turut andil dalam membantu Gentar mendirikan gubuk sederhana di bukit itu.
"Aku sangat berterima kasih kepada kalian, terutama kepadamu," kata Gentar di sela perbincangannya dengan Lian Mei dan kawan-kawannya, setelah selesai mengerjakan pembangunan gubuk yang akan menjadi rumah tinggalnya.
"Ini sudah kewajibanku, kau adalah kawan baruku di kota ini," sahut Lian Mei tersenyum manis memandang wajah Gentar.
Hanya dalam waktu dua hari saja, gubuk sederhana itu telah berdiri kokoh di atas bukit. Gentar dan Lian Mei serta dua kawannya, langsung merapikan dalaman rumah tersebut. Setelah itu, Lian Mei dan kawan-kawannya langsung pamit kepada Gentar.
"Aku harap kamu tidak merasa kesepian tinggal di tempat sepi ini, sewaktu-waktu aku pasti akan singgah ke rumah ini," ujar Lian Mei.
"Iya, Mei. Kau pun demikian, jika butuh bantuanku jangan sungkan!" kata Gentar balas melontar senyum.
Dua bola matanya terus menatap wajah Gentar, entah bagaimana ceritanya. Gadis cantik berdarah Tonggon itu mulai menyukai Gentar, namun ia sangat pandai menyembunyikan perasaannya tersebut. Sehingga, Gentar pun tidak mengetahui tentang perasaan Lian Mei.
"Baiklah, kami pamit sekarang," pungkas Lian Mei bangkit bersama kedua kawannya.
Gentar banyak mengucapkan terima kasih kepada pendekar berparas cantik itu, Lian Mei hanya melontar senyum sambil membungkukkan badan. Kemudian langsung berlalu dari hadapan Gentar.
Gentar terus memandangi langkah tiga kuda yang ditunggangi oleh Lian Mei dan kedua kawannya.
"Sudah cantik, baik dan berjiwa kesatria. Meskipun beda keyakinan tapi Mei masih mau berteman denganku," desis Gentar terus memandangi langkah ketiga kuda itu.
****
Malam itu, usai melaksanakan Salat Isya, Gentar sudah bersiap untuk keluar rumah. Di atas punggungnya tampak sebilah pedang menyanggul.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gentar melangkahkan kedua kakinya keluar dari gubuk tersebut.
Gentar akan berangkat ke kota Ponti. Ia hendak mencari kediaman beberapa pendekar yang mempunyai urusan dengannya, Gentar sangat penasaran dan ingin mencari tahu tentang peristiwa pembunuhan para pendekar di kota itu.
Agar dirinya segera terbebas dari semua tuduhan pembunuhan yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.
Di dalam perjalanan menuju ke arah kota. Tiba-tiba saja, di persimpangan jalan terlihat dua bayangan manusia berkelebatan. Dengan sorot mata tajamnya, ia sudah dapat melihat dengan sempurna, bahwa kedua bayangan itu adalah dua sosok pendekar. Dua pendekar itu tampak memegang golok dan melangkah dengan tergesa-gesa menuju ke suatu tempat.
"Aku mengenal wajah mereka, kedua pendekar itu pasti akan berbuat kejahatan," desis Gentar langsung mengurungkan niatnya hendak pergi ke kota Ponti. Ia lebih memilih mengikuti langkah kedua pendekar tersebut.
Mereka itu berjalan setengah lari menuju ke arah selatan. Tiba di suatu tempat, kedua sosok pendekar itu menyelinap masuk ke dalam sebuah bangunan tua yang berada di perkampungan pinggiran hutan.
Gentar pun langsung bersembunyi di semak belukar sambil mengamati bangunan tua itu. Namun, Gentar tampak merasa penasaran. "Aku harus mendekati bangunan tua itu," desisnya, sehingga ia pun langsung bangkit dan segera melangkah menghampiri bangunan tua itu.
Gentar berjalan mengendap-endap penuh kehati-hatian. Ia sangat khawatir langkahnya diketahui oleh kedua pendekar tersebut. Gentar mengintip di balik jendela bangunan tua yang sudah tidak terawat itu.
Di dalamnya tampak dua pendekar tadi sedang berbincang dengan seorang pendekar tua bertubuh kurus dengan penerangan sebuah lentera kecil di dalam gedung tersebut.
Ketiga orang itu tampak berpostur kecil, beda jauh kondisi mereka dengan Daska dan kawan-kawannya yang mempunyai postur tinggi besar.
Meskipun demikian, dari aura wajah dan sikap mereka menampakkan bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.
Dari sorot mata mereka yang begitu tajam, bisa diduga bahwa tiga orang itu mempunyai ilmu bela diri dan kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi.
"Aku tidak menyangka di kota ini ada seorang pendekar muda yang berilmu tinggi. Apa kalian sudah mengetahui asal-usul pendekar muda itu?" tanya seorang pria tua mengarah kepada dua rekannya.
Seorang pendekar yang mengenakan pakaian serba hitam lantas menyahut, "Aku dengar informasi dari para penduduk. Katanya pendekar muda itu bernama Gentar Almaliki, dia datang dari pulau Juku."
Kemudian, yang satunya lagi ikut angkat bicara, "Pendekar muda itu seakan-akan memusuhi para pendekar dari golongan Sekte Teratai Putih. Entah apa maksudnya?!"
"Walau bagaimanapun kita harus memberi tahukan para pendekar lainnya, agar mereka mewaspadai pergerakan Gentar Almaliki!" kata pria tua itu menimpali.
Beberapa saat kemudian, datang seorang pendekar berwajah sangar dan memiliki rambut yang sangat panjang berwarna putih keperak-perakkan. Kemudian orang itu langsung melangkah menghampiri ketiga pendekar kurus yang sudah berada di dalam gedung itu.
"Kalian jangan khawatir! Pendekar muda itu sudah tidak ada di kota ini lagi," kata Pria berambut panjang itu berdiri di hadapan ketiga kawannya.
"Kau yakin itu?" tanya ketiganya serentak.
Mereka sangat penasaran dengan kabar dari kawannya yang baru tiba itu.
"Pendekat muda itu sudah pergi ke Jabrud, aku tahu sendiri," jawab pria berambut panjang itu meyakinkan ketiga kawannya.
Mereka tampak bingung dan merasa tidak yakin dengan kabar tersebut. Namun, kawannya terus memberikan keyakinan penuh, sehingga ketiga pendekar kurus itu mulai percaya.
Bukan hanya ketiga pendekar itu saja yang merasa terkejut dengan kabar tersebut, Gentar sendiri merasa heran dan bingung, dari penjelasan pendekar berambut panjang itu yang dimaksud pendekar muda adalah dirinya sendiri, tapi Gentar tidak merasa bepergian jauh. Karena beberapa hari ini ia hanya berdiam diri di gubuk yang baru dibangunnya.
"Kalau memang seperti ini. Ada kemungkinan, bahwa pelaku pembunuhan itu wajahnya mirip denganku, sehingga para pendekar di kota ini beranggapan akulah pelakunya," kata Gentar dalam hati.
Ketika Gentar masih dalam keadaan bingung. Tiba-tiba saja, para pendekar itu bergerak cepat keluar dari dalam gedung.
Mereka langsung melangkah menuju Jabrud secara bersamaan. Jabrud adalah sebuah tempat yang berada di balik bukit Datar.
Dengan demikian, Gentar pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia bergegas mengikuti langkah keempat pendekar tersebut guna menyelidiki persoalan yang sebenarnya.
*