Gentar yang menggunakan kesempatan lantas melayang menuju ke pintu gedung tua itu.
Tiba-tiba saja, ketika ia baru mendarat. Terdengar orang memanggil namanya dengan suara terdengar parau, "Anak muda! Kemarilah!" ucap suara tersebut.
Gentar terperanjat dan segera mencari tahu sumber suara tersebut. "Siapa?!" teriak Gentar mengamati sekitaran tempat tersebut. Dua bola matanya bergulir penuh selidik.
Beberapa saat kemudian, suara itu terdengar kembali, "Mendekatlah! Aku hendak bicara denganmu." Suaranya terdengar menggema.
Gentar yang sudah berdiri tegak di depan pintu gedung itu, langsung melangkah mendekat ke arah sumber suara yang memanggilnya.
"Sepertinya orang itu berada di sana?" desis Gentar sambil terus melangkah menuju sebuah tempat gelap yang ada di samping gedung tersebut.
Tiba-tiba saja, seseorang muncul di hadapannya sambil tertawa lepas ketika melihat Gentar melangkah dalam kebingungan.
"Astaghfirullaahal'adzim," ucap Gentar terkaget-kaget.
Begitu ia mendekat, Gentar baru mengetahui bahwa orang yang memanggilnya itu adalah seorang pria tua yang dulu pernah bertemu dengannya di bukit Datar.
Maka, seketika itu ia lantas memberi hormat seraya berkata, "Maaf, Ki. Ada urusan apakah Aki memanggilku?"
Orang tua itu tersenyum, lantas menjawab dengan lirihnya, "Pada saat ini kau mau masuk ke dalam gedung tua itu, itu sama artinya kau akan membuat dirimu terlibat lebih jauh lagi dalam persoalan ini." Pandangannya tajam menatap wajah Gentar begitu lekat. Kemudian, ia berkata lagi, "Keadaan di dalam sedang bergejolak. Aku rasa, sebaiknya kau jangan dulu masuk. Tunggu saja dulu! Agar tidak ada yang beranggapan bahwa kau turut campur dalam persoalan pelik ini."
"Apa yang dikatakan oleh Aki memang benar," kata Gentar menganggukkan kepala.
Orang tua itu melangkah membungkuk, kemudian bertanya lagi, "Kau berasal dari sekte apa? Dan gurumu siapa?"
Sebelum menjawab, Gentar menarik napas dalam-dalam. Setelah itu, ia berkata lagi, "Aku mempunyai guru, tapi aku tidak bisa mengatakan guruku itu siapa. Dan aku tidak mempunyai sekte."
Orang tua itu lantas tertawa lepas, "Ha ... ha ... ha ...." Lalu, ia berkata, "Meskipun kau tidak mengatakan tentang gurumu, aku sudah dapat mengetahuinya. Kelak jika kau kembali bertemu dengan gurumu, maka sampaikan ucapan salamku ini kepada gurumu!"
Gentar hanya diam termangu memandangi wajah orang tua tersebut. Orang tua itu pun terdiam sejenak, kemudian dengan sikap ramah ia berkata lagi, "Sebenarnya kau ini ada persoalan apa dengan para pendekar itu. Hingga dirimu menjadi bermusuhan? Bolehkan kau memberi tahukan kepadaku?!"
"Entahlah, aku pun tidak paham akan hal ini," jawab Gentar tampak bingung untuk mengatakannya kepada pria berusia senja itu.
Namun, orang tua itu terus mendesaknya, "Katakan saja! Mungkin aku dapat membantu persoalan yang sedang kau hadapi!" pintanya.
Dengan demikian, Gentar pun langsung melangkah lebih mendekat ke arah orang tua tersebut, lantas ia coba mengatakan hal yang ia alami kepada pria senja itu.
"Aku tidak mempunyai masalah dengan para pendekar di kota ini. Akan tetapi, mereka sendiri yang berusaha menciptakan permusuhan denganku, mereka secara tiba-tiba memburuku, dan aku tidak tahu sebabnya," ungkap Gentar berkata lirih.
Orang tua itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lantas, ia terdiam sejenak seakan-akan sedang menilai apa yang dikatakan oleh Gentar.
Dua bola matanya tajam menatap wajah Gentar. "Kau datang ke kota Ponti ini dengan maksud apa? Dan ada urusan apa?" tanya orang tua itu sambil menatap wajah Gentar.
"Ponti adalah kota kelahiranku, kedatanganku bermaksud hendak mencari ayahku yang sedari kecil sudah meninggalkanku. Banyak orang yang bilang ayahku sudah meninggal, tapi aku tidak percaya itu," jawab Gentar.
Orang tua itu mengerenyitkan kening. Lalu bertanya, "Nama ayahmu itu siapa?"
"Aku tidak tahu nama ayahku, aku ditinggalkan ayahku sejak usiaku masih kanak-kanak. Sementara ibuku sudah meninggal. Kata orang ayahku pergi jauh dari kota ini ketika kerajaan ini dalam prahara," terang Gentar menjawab pertanyaan dari orang tua tersebut.
Pria senja itu, sangat terenyuh mendengar penuturan dari Gentar. "Kau jangan khawatir! Aku akan berusaha membantu kesulitan yang kau alami," ujarnya memberikan setitik sinar terang bagi Gentar yang kala itu memang sedang dirundung berbagai permasalahan.
Gentar menjura kemudian membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada orang tua itu. "Terima kasih, Ki. Atas kesediaan Aki yang hendak membantuku menyelesaikan permasalah ini," ucap Gentar dengan raut wajah berbinar-binar.
Orang tua itu berkata disertai tertawa, "Sudahlah! Kau jangan bersikap seperti itu! Aku bukanlah raja. Ayo, kita masuk ke dalam gedung itu sekarang!" ajaknya lirih tak hentinya tertawa-tawa melihat sikap Gentar.
Di dalam gedung tua itu, sudah tidak terdengar lagi suara baku hantam para pendekar yang sedang bertarung. Mereka sudah tidak tampak lagi. Bahkan, beberapa pendekar yang sedari tadi memburu Gentar pun sudah tidak terlihat batang hidungnya.
Malam itu suasananya sangat sunyi, hanya terdengar kesibukan para pendekar muda yang merupakan para murid dari Padepokan Iblis Merah. Mereka sedang berkumpul di dalam gedung dan juga sebagian lagi tengah berada di luar gedung tersebut.
Gentar dan orang tua itu sudah memasuki gedung tersebut, mereka melihat bangkai para pendekar bergelimpangan di sana sini dalam keadaan mengerikan.
Bangkai-bangkai yang bergeletakan itu, merupakan bangkai para pendekar yang berasal dari berbagai perguruan silat dari kota Ponti dan terdapat pula para pendekar dari luar kota tersebut.
Tampak beberapa pendekar murid Sri Wulandari, sedang sibuk membersihkan darah dan mengumpulkan bangkai para pendekar yang gugur dalam pertempuran tersebut. Mereka melakukan pekerjaannya dengan sibuk tidak seorang pun di antara mereka yang berani berbicara.
Tidak ada satu orang pun yang peduli dengan kehadiran Gentar dan orang tua tersebut. Setelah itu, orang tersebut mengajak Gentar untuk menuju keluar dari ruangan gedung.
Namun, tiba-tiba saja. Gentar mendadak menghentikan langkahnya dan berbisik kepada orang tua itu dengan suara lirih hampir tak terdengar, "Hati-hati, Ki! Ada orang yang datang."
"Mereka masih murid Sri Wulandari," jawab pria senja itu. Karena merasa kenal dengan orang-orang tersebut, orang tua itu pun segera mengambil langkah dan mendekati keempat murid padepokan Iblis Merah yang baru tiba itu.
Orang tua itu menjura hormat kepada para murid-murid Padepokan Iblis Merah. Lantas, ia berkata, "Kejadian apakah yang sudah melanda gedung ini?" tanya pria berjanggut putih itu.
Ia tampak penasaran, karena memang tidak mengetahui persis kejadian tersebut. Saat datang, ia bertemu langsung dengan Gentar dan pertarungan di dalam gedung pun sudah mulai mereda.
"Entahlah, aku pun tidak mengerti dengan peristiwa ini," jawab salah satu di antara murid-murid tersebut, ia menggelengkan kepala. "Ceritanya sangat panjang, ini merupakan peristiwa kelam yang paling berdarah," sambungnya.
Dia adalah Wana Aji murid kepercayaan Sri Wulandari, ia ditugaskan oleh gurunya untuk memantau gedung tersebut dan segera membersihkannya percikan darah dan segera mengurus mayat-mayat para pendekar yang gugur dalam pertarungan malam itu.
*