Orang tua itu terus memperhatikan gerak-gerik para pendekar yang sedang bertarung mati-matian. Ia mulai gusar dengan kondisi yang semakin genting, pertarungan Gentar dan Dewi Rara Sati melawan para pendekar dari Padepokan Iblis Merah semakin meningkat dan sengit.
"Pertarungan ini akan semakin sengit, ini adalah sejarah dalam rimba persilatan setelah satu abad lebih. Dahulu kala peristiwa seperti ini telah terjadi di pulau Juku, ketika pemberontak membantai para prajurit kerajaan Maratama," desis orang tua itu.
Ia sangat meyakini bahwa dari pihak yang mana saja yang akan kalah, tentu akan mengakibatkan kegemparan di dunia persilatan di negri itu. Jika mereka tidak segera berdamai.
Waktu terus berjalan, kedua belah pihak sudah saling memusatkan kekuatan mereka, dan pertarungan itu akan segara dimulai kembali. Sudah barang tentu, mereka tengah menyiapkan jurus-jurus andalan mereka.
Belum sempat memulai pertarungan lagi, mereka dikagetkan dengan datangnya seorang pendekar paruh baya dari pihak Padepokan Iblis Merah.
Pendekar itu meloncat dari arah yang tidak diketahui, dan langsung berdiri tegak di tengah-tengah dari posisi mereka yang sedang bertikai, lantas ia berkata, "Hentikan pertarungan ini! Tuan Damerda memerintahkan, bahwa dua pendekar muda itu tidak boleh diganggu lagi! Biarkan mereka keluar dari tempat ini, dan jangan dihalangi lagi!" serunya dengan suara lantang.
Beberapa pendekar dari pihak Padepokan Iblis Merah meluruskan pandangan mereka ke arah pendekar paruh baya itu. Mereka kaget dengan kedatangan pendekar paruh baya itu yang merupakan pendekar senior yang kenyang akan pengalaman.
Sedangkan orang tua yang berpihak kepada Gentar mulai bernapas lega ketika mendengar perkataan dari pendekar paruh baya yang baru datang itu. Ia mulai merasa tenang, tidak cemas lagi akan keselamatan Gentar Almaliki dan Dewi Rara Sati.
"Akhirnya Dewa telah mengutus sang juru damai," desisnya.
Gentar hanya diam tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun, lain halnya dengan Dewi Rara Sati. Justru ia malah tertawa lepas mendengar perkataan dari pria paruh baya tersebut.
"Mundurlah kalian! Berikan jalan untuk mereka!" perintah sang pendekar paruh baya mengarah kepada para pendekar bawahannya.
Dengan demikian, para pendekar itu segera mundur dan memberikan jalan untuk Gentar. Mereka tidak menyela perintah seniornya. Kemudian, Dewi Rara Sati menarik tangan Gentar seraya berkata, "Ayo, Gentar. Kita keluar dari tempat ini!" ajaknya lirih.
Sambil memegang pedang, Dewi Rara Sati langsung melangkah diikuti oleh Gentar dan orang tua yang sedari awal mengikutinya.
Dengan demikian, pertarungan tersebut berhenti dan tidak ada usaha pencegahan dari para pendekar iblis merah terhadap Gentar dan kedua orang yang menjadi kawannya itu.
*
Dewi Rara Sati dan orang tua tersebut ikut ke bukit Datar bersama Gentar. Menjelang subuh mereka sudah tiba di sebuah gubuk yang merupakan tempat tinggal Gentar.
"Sebaiknya kalian istirahat dulu! Aku akan membersihkan badan, karena sebentar lagi subuh akan tiba!" ujar Gentar mengarah kepada dua kawan barunya itu.
Dewi Rara Sati dan Orang tua itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Gentar segera berangkat ke sungai untuk sekadar membersihkan badan, karena sebentar lagi ia akan melaksanakan Salat Subuh. Sepulang dari sungai, Gentar langsung melaksanakan Salat Subuh.
Sementara itu, Dewi Rara Sati tengah berbincang hangat di beranda gubuk dengan orang tua itu.
"Semalaman kita tidak beristirahat, jangankan kau dan Gentar yang bertarung mati-matian, aku pun sangat merasa lelah," kata orang tua itu berkata di hadapan Dewi Rara Sati.
Dewi Rara Sati tersenyum. Lalu berkata, "Apakah Aki ingin menikmati minuman rempah?" tanya wanita cantik itu.
"Apakah ada di sini?" Orang tua itu menjawab dengan balas bertanya.
Gentar yang baru saja selesai melaksanakan Salat Subuh menyahut dari dalam gubuk, "Ada, Ki. Sebentar aku buatkan!"
"Aku saja yang membuatkannya!" pinta Dewi Rara Sati bangkit dan langsung melangkah masuk ke dalam gubuk.
"Baiklah, kau masak dulu airnya. Aku akan menemani Aki di luar!" ucap Gentar.
Dewi Rara Sati tersenyum dan langsung melangkah ke ruang dapur, dan Gentar segera menghampiri orang tua itu.
Gentar dan pria senja tersebut langsung berbincang santai menikmati suasana pagi yang mereka rasakan cukup melelahkan, setelah semalam suntuk mereka tidak tidur.
"Mohon maaf, Ki. Sedari awal bertemu denganmu, aku belum tahu siapa nama Aki? Sementara Aki sudah banyak tahu tentang aku." Gentar memandangi wajah pria yang sudah tampak renta itu.
Orang tua itu tersenyum, lalu menjawab lirih, "Namaku Wiralada, aku adalah seorang resi dari pulau Juku. Aku datang ke pulau ini hanya untuk berpetualang saja menikmati usia senjaku."
"Dari pulau Juku?! Pantas saja Aki banyak tahu tentang guruku," kata Gentar.
"Aku adalah seorang pendekar yang dulu sempat bergabung dengan pemberontak kerajaan Alengkara. Kawan-kawanku banyak yang ditangkap oleh raja yang berkuasa pada masa itu, hanya aku yang berhasil lepas dari kepungan para prajurit kerajaan. Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk berkelana ke pulau ini," tutur Ki Wiralada.
**
Siang harinya, setelah ketiga pendekar itu beristirahat. Dewi Rara Sati langsung mengajak Gentar dan Ki Wiralada untuk berangkat ke kota.
"Aku masih punya banyak kepingan uang. Jika kalian mau, aku akan mengajak kalian makan di kota!" kata Dewi Rara Sati tersenyum lebar memandang wajah Ki Wiralada dan Gentar.
Ki Wiralada kelihatan menelan ludah, lalu berkata sambil tertawa lebar.
"Kalau kau mau berbaik hati dan mengajakku makan, itu merupakan penghormatan bagiku."
Dewi Rara Sati tersenyum dan berpaling ke arah Gentar. "Apakah kau sudah Salat Zuhur?" tanya wanita cantik itu dengan suara lembutnya.
"Sudah," jawab Gentar lirih.
"Ikutlah dengan kami!" ajak pendekar berwajah cantik itu tak hentinya memandangi wajah tampan yang dimiliki oleh Gentar.
Gentar hanya mengangguk sebagai isyarat bahwa dirinya setuju dengan ajakan wanita cantik berkulit putih itu.
Dengan demikian, ketiga pendekar itu langsung bangkit dan segera melangkah ke utara hendak menuju kota Ponti.
Jarak antara bukit Datar dengan kota Ponti memang tidak terlalu jauh, hanya dalam waktu beberapa saat saja. Mereka sudah tiba di tempat tujuan.
"Kita makan di warung itu saja!" kata Dewi Rara Sati meluruskan jari telunjuknya ke arah sebuah warung yang berdiri di pinggiran jalan pusat keramaian kota.
Gentar dan Ki Wiralada langsung berjalan mengikuti langkah sang pendekar pedang kematian. Mereka langsung memasuki warung makan tersebut.
Setelah mereka duduk menghadapi meja, Gentar menarik napas dalam-dalam, lalu berkata kepada Ki Wiralada, "Aku tidak paham dengan suasana di dalam rimba persilatan ini, Ki? Ada persoalan apa dalam diri mereka, sehingga urusan ini bertumpu padaku yang tak tahu menahu persoalan sebenarnya?"
Ki Wiralada tersenyum, lalu menjawab pertanyaan dari Gentar, "Ada kemunculan seorang pendekar yang belum diketahui dari mana datangnya. Semenjak kehadirannya, ia terus membuat onar di kota ini. Banyak para pendekar yang sudah ia bunuh, termasuk Usman petugas Masjid Raya."
Gentar mengerutkan keningnya. Ia kemudian bertanya lagi kepada Ki Wiralada, "Aku yakin, bahwa orang itu yang sudah membunuh Usman?"
"Ada kemungkinan seperti itu. Pendekar tersebut, selain membenci para pendekar penganut aliran sesat. Ia pun ada kemungkinan juga sudah membunuh Usman, karena Usman bisa jadi adalah saksi utama yang mengetahui perbuatan pendekar itu," jawab Ki Wiralada berkesimpulan.
*