Chereads / Gentar Almaliki / Chapter 28 - Dewi Rara Sati turut Membela Gentar

Chapter 28 - Dewi Rara Sati turut Membela Gentar

Jurus Tapak Iblis hanya dimiliki oleh para pendekar dari Padepokan Iblis Merah saja, dan mereka yang menguasai jurus tersebut merupakan para pendekar senior murid Sri Wulandari.

Maka setelah dikeluarkan, hebatnya juga bukan main. Enam pendekar itu langsung menggabungkan kekuatan penuh dalam menghadapi Gentar. Mereka terus berupaya untuk menangkap Gentar yang mereka anggap sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas hilangnya keris pusaka di gedung tersebut.

Jurus Tapak Iblis bisa menyerang dari posisi jarak yang jauh. Gentar meski baru pertama kali berhadapan dengan para pendekar sakti, ia tetap bersikap tenang dan tidak merasa cemas.

"Aku harus melumpuhkan mereka dengan kekuatan tenaga dalam yang kumiliki, aku tidak boleh menganggap remeh mereka!" desis Gentar dengan sorot mata tajam.

Gentar bergerak lincah, ia melompat ke atas dan meluncur turun ke bawah bagaikan seekor tupai yang sangat gesit melakukan serangan dan menghindari buruan dari pihak lawan.

Walau demikian, sikapnya tetap tenang dan penuh kewaspadaan dalam menghadapi enam pendekar sakti itu. Namun, beberapa saat kemudian, alur serangan Wana Aji dari keenam pendekar Iblis Merah. Perlahan-lahan sudah meningkat, hingga Gentar mulai tertekan oleh serangan keenam pendekar itu.

Dalam diam-diam, ia merasa terkejut. Kemudian mengeluarkan suara mirip dengan siulan. Lalu, Gentar menyerang keenam pendekar itu dengan menggunakan alur serangannya yang sangat luar biasa.

Salah satu dari keenam pendekar itu menjadi korban pertama dari keganasan jurus yang baru saja dikeluarkan oleh Gentar Almaliki.

Seiring dengan melayangnya tubuh pendekar itu, terdengar suara jeritan pilu yang menggema. Kemudian, tubuh pendekar itu jatuh ke tanah.

Gentar sudah berhasil menjatuhkan satu dari keenam pendekar itu. Lantas ia kembali melakukan serangan kedua terhadap lima pendekar lainnya.

"Rasakan ini!" teriak Gentar menyapu kelima pendekar itu dengan sebuah tendangan keras yang berkekuatan tenaga dalam yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Sehingga mereka pun bergelimpangan sambil memekik kesakitan. Tampak darah segar keluar dari mulut-mulut mereka, mengalir begitu deras.

Gentar Almaliki telah mengeluarkan jurus yang paling berbahaya jurus Ashadu sebuah jurus yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam yang sangat luar biasa. Ilmu tersebut ia pelajari dari Syaikh Maliki yang merupakan guru Laduni dari gunung Kalingking.

Sungguh tidak terduga sebelumnya, hanya dalam dua serangan saja. Gentar sudah membuat lima orang pendekar hebat itu binasa dan satu lainnya terluka parah.

"Ya, Allah! Ya, Rabb! Ampuni dosaku, aku telah membinasakan mereka. Sungguh ini keterpaksaan dariku," desis Gentar sedikit merasakan bahwa tindakannya itu salah.

Akan tetapi, tidak ada jalan lain lagi yang harus ia tempuh selain mengeluarkan jurus Ashadu. Kalau tidak segera mengeluarkan jurus tersebut, mungkin bukan kelima lawannya yang akan binasa, melainkan dirinya sendiri.

"Aku masih teringat apa yang dikatakan oleh Syaikh Maliki, ia pernah berkata bahwa jurus tersebut bukan main hebatnya, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak boleh digunakan secara sembarangan," berkata lagi Gentar dalam hati sambil mengamati kedua tangannya.

Malam itu, Gentar sudah mengeluarkan jurus tersebut dalam menghadapi keenam pendekar hebat dari Padepokan Iblis Merah yang ia anggap tidak ada persoalan apa pun dengan dirinya.

Namun demikian, para pendekar itu sudah menganggap dirinya sebagai seorang musuh besar yang harus disingkirkan dari kota Ponti.

Diam-diam, pria senja yang sudah berusaha membelanya mengikuti langkah Gentar. Orang tua itu merasa kaget dan takjub dengan kekuatan jurus yang dikeluarkan oleh Gentar, satu pemandangan yang luar biasa yang baru ia lihat kala itu.

Selang beberapa saat kemudian, terdengar suara bentakan keras dari seseorang yang tiba-tiba datang, "Kau sungguh kejam, Pendekar!" Suara tersebut merupakan suara Wana Aji.

Tiba-tiba saja, berkelebatan sinar senjata yang tersorot bulan purnama dengan suara gaduh. Tampak juga beberapa pendekar dari Padepokan Iblis Merah sudah berjalan secara bersamaan hendak menghampiri Gentar.

Para pendekar itu berjumlah sekitar tiga puluh orang, mereka menggenggam senjata pedang di tangan masing-masing.

Setelah berada di hadapan Gentar, puluhan pendekar tersebut langsung mengitari Gentar dengan formasi melingkar.

Gentar tetap berusaha tenang meskipun dalam kondisi bahaya, karena puluhan senjata sudah mengancam ke arahnya.

Orang tua yang sedari tadi mengikuti Gentar, tampak paham dengan formasi dari para pendekar Iblis Merah itu, mereka hendak melakukan penyergapan dengan jurus Lingkar Iblis.

"Sungguh berbahaya, mereka sudah mengambil sikap dengan mengeluarkan jurus Lingkar Iblis," desis pria senja itu tampak khawatir akan keselamatan Gentar.

Wana Aji sendiri sudah melanggar tradisi padepokan. Namun, perbuatannya tersebut ternyata justru mendapatkan dukungan dari Sri Wulandari yang secara perlahan-lahan mulai terhasut oleh tindakan muridnya itu.

Malam itu ia datang dengan sejuta kebencian terhadap Gentar. Dengan demikian, Sri Wulandari dari pun mulai memusuhi Gentar dan menuduh Gentar sebagai pelaku pengambilan keris pusaka tersebut.

Sri Wulandari sangat bertanggung jawab terhadap keris pusaka itu. Bilamana keris pusaka tersebut benar-benar hilang dan dikuasi pendekar lain yang tidak bertanggungjawab. Maka, ia akan menjadi orang pertama yang disalahkan oleh roh-roh nenek moyangnya.

Dan Sri Wulandari pun pasti akan menghukum berat empat pendekar yang menjaga keris pusaka di gedung tersebut. Karena mereka telah lalai dalam melaksanakan tugas darinya.

Gentar hanya mengerutkan kening ketika melihat pemandangan yang sangat menyeramkan, puluhan pedang menjulur ke arahnya yang siap merobek dan memenggal kepalanya.

Gentar tidak merasa takut dengan hal tersebut. Namun, ia berpikir bahwa pertarungan tersebut akan kembali memakan jiwa. Sudah barang tentu dirinya akan kembali terlibat.

Tiba-tiba saja, semerbak aroma wangi menyengat dalam indera penciuman pendekar muda itu. Seiring dengan munculnya aroma wangi tersebut, tiba-tiba saja muncul di samping Gentar Dewi Rara Sati.

Dewi Rara Sati berdiri bahu membahu dengan Gentar sambil memegang sebilah pedang yang ia arahkan kepada para pendekar itu.

"Kalian adalah orang-orang terhormat dari perguruan silat terbesar di negri ini. Tapi kelakuan kalian sangat bodoh, tidak tahu malu!" bentak Dewi Rara Sati dengan sorot mata tajam. "Tindakan kalian sudah seperti anak kecil berani keroyokan terhadap satu orang yang belum terbukti kesalahannya!" sambungnya dengan suara lebih keras dari sebelumnya.

Dari jauh Sri Wulandari lantas berkata sambil merangkapkan kedua tangannya di atas dada, kemudian sedikit membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada Dewi Rara Sati.

"Aku harap kau jangan ikut campur dalam persoalan ini! Karena persoalan ini bukanlah sebuah sayembara yang dulu pernah diadakan pendekar itu." Jari telunjuknya menuding ke arah Gentar yang berdiri di samping wanita cantik sang pendekar pedang kematian.

"Apa yang jadi sebabnya, hingga aku tidak boleh turut campur?" Dewi Rara Sati kembali membentak.

"Aku dan murid-muridku terpaksa akan menangkap pendekar muda itu, dan menghukum dia seberat-beratnya!" kata Sri Wulandari suara terdengar santai dan tidak berani berkata keras terhadap Dewi Rara Sati.

Sri Wulandari tetap menahan amarahnya, sehingga suaranya pun terdengar lunak dan seperti biasa.

*