Blam.. Dyra menyandarkan tubuhnya pada pintu kamar yang tertutup. Kedua tangannya yang gemetar menutupi wajahnya yang sesengukan menangis. Tubuh Dyra merosot dan duduk dibelakang pintu kamar.
"Aku sudah mengatakannya. Aku sudah mengatakannya," bisik Dyra sedih. "Aku.. Apa yang harus kulakukan sekarang? Hiks.. hiks.."
Dyra menangisi perasaannya yang seratus persen tidak akan mendapat balasan, jika dilihat dari respon Dilan yang menghindar. Meski tidak punya harapan, tapi Dyra tidak mau berhenti dan menyerah. Rasa suka bahkan berubah menjadi rasa cinta yang dalam, telah dipupuk nya sejak dirinya pertama kali menginjakkan kakinya di panti asuhan ini, lima belas tahun yang lalu.
Dyra yang takut berada di lingkungan yang baru, mendapat semangat dari seorang remaja tanggung yang seusia dirinya. Orang tua Dyra meninggal karena kecelakaan. Sampai ada keluarga yang mau menerimanya, sementara Dyra akan tinggal di panti asuhan. Namun hingga Dyra berusia dua puluh lima tahun, tidak ada keluarga yang menginginkan dirinya. Namun Dyra tidak pernah merasa kesepian, bahkan dirinya merasa beruntung berada di lingkungan yang menerima dirinya apa adanya. Ibunda dan ayahanda menganggapnya sebagai keluarga. Bahkan dirinya diberi tanggung jawab di panti asuhan ini.
Namun, bukan itu semua yang membuat Dyra betah di panti asuhan. Dilan, remaja laki-laki yang dingin, namun sanggup memberikan perhatian hangat, membuat orang-orang di sekitarnya merasa istimewa. Sosok Dilan lah yang membuat Dyra kerasan disini.
Sebuah tangan mungil menyentuh pipi Dyra yang lembab karena air mata. Dyra mendongak dan mendapati dua sosok mungil di depannya.
"Kak Dyra, kenapa menangis?" tanya si mungil gigi kelinci. Kini dua tangannya menangkup dua pipi Dyra yang dingin.
"Kak Dyra hanya capek, sayang," jawab Dyra sambil memandang si gigi kelinci. Sedangkan si mungil berkacamata hanya diam, meremas-remas piyama nya.
"Capek hingga menangis?" tanya polos si gigi kelinci sambil memiringkan kepala.
"Sudah, ayo kita tidur saja," ajak Dyra mengalihkan pembicaraan sambil berdiri dan mendorong lembut bahu keduanya ke arah ranjang besar.
Dyra membantu naik ke ranjang yang berisi tiga orang. Si gigi kelinci, si kacamata, dan satu lagi si tomboi yang sudah terlelap sambil menghisap ibu jarinya. Sedangkan Dyra tidur di ranjang single, ukuran seratus dua puluh kali dua ratus meter, di sebelah ranjang besar itu.
"Selamat malam, sayang," bisik Dyra sambil mencium kening ketiga adik asuhnya.
"Malam Kak Dyra," jawab si kacamata yang sudah melepaskan kacamatanya lalu meletakkan nya di atas meja kecil diantara ranjang mereka dengan ranjang Dyra.
"Jangan nangis lagi ya, Kak Dyra," hibur si gigi kelinci sambil menarik leher Dyra mendekat dan memberi kecupan di kedua mata Dyra. "Sayang Kak Dyra. Selamat tidur."
"Selamat tidur, sayang. Mimpi indah," bisik Dyra sambil menaikkan selimut dan menyelimuti keduanya.
Dyra menatap kosong ketiga adik asuh yang tidur sekamar dengannya, selama beberapa detik. Dyra menyedot hidungnya yang mulai berair lagi. Kemudian Dyra masuk ke selimutnya. Matanya nanar menatap langit-langit.
"Aku bukan cewek yang lemah," bisik Dyra sambil mencengkram selimut yang menutupi dadanya. Tahun-tahun berlalu telah membuatnya mandiri dan kuat. "Aku tidak akan menunjukkan wajah yang sedih, muram, apalagi wajah terluka. Aku adalah Dyra. Aku akan mengerahkan semua usahaku untuk membuat Dilan 'melihat' padaku. Aku akan mengejar cinta Dilan. Semangat Dyra, semangat," monolog Dyra menyemangati dirinya sendiri.
Keesokan harinya.
Pagi-pagi, seperti biasanya sebelum berangkat bekerja, Dyra membantu ibunda menyiapkan sarapan untuk semua anak panti asuhan. Setelah selesai, ibunda akan kembali ke rumahnya untuk mengurus suami dan anaknya. Tanggung jawab urusan dapur di panti asuhan, berada di pundak Dyra.
Awalnya ibunda ingin mengkompensasi jerih payahnya dengan sedikit uang, namun Dyra menolaknya. Dyra sudah menganggap panti asuhan ini sebagai keluarga. Lagipula ibunda sudah mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, menyekolahkan nya hingga bisa mandiri. Dyra tidak sampai hati harus meminta bayaran atas semua hal kecil yang dilakukan untuk membalas budi ibunda untuknya.
Plok-plok-plok...
"Ayo, semuanya cepat sarapan. Nanti terlambat ke sekolah," teriak Dyra bersemangat, dengan tangan membentuk corong di depan mulutnya.
"Yeee... maaaakaaannn..."
Dalam sekejap mata, anak-anak kecil itu berlarian ke meja makan. Si tomboi, si gigi kelinci, si kacamata. Itu adalah tiga gadis kecil yang berusia balita yang tidur bersama Dyra. Kemudian tiga anak laki-laki kecil yang juga berusia balita, yang tidur dengan seorang anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun.
"Semua sudah dapat porsi sendiri ya. Jangan berebut dan jangan bertengkar!" perintah Dyra sambil berkacak pinggang, memandangi setiap anak yang duduk mengelilingi meja makan.
"Yaaaa.... Terima kasih Kak Dyra."
"Pagi," sapa Dilan yang muncul paling belakang. Dilan terlihat canggung, ketika matanya bertemu dengan mata Dyra yang terlihat ceria.
"Pagi. Duduklah. Sarapanmu juga sudah siap," balas Dyra sambil menunjuk ke arah piringnya yang penuh, seperti biasanya.
"Terima kasih."
Dilan duduk di kursinya dengan sedikit linglung. Dyra memandang Dilan dengan lembut, sebelum berbalik dan mengambil sarapannya yang diletakkan diatas kompor. Lalu Dyra mengambil duduk di sebelah Dilan yang tegang, seakan sedang memakan sebongkah batu. Oke yang gugup bukan hanya dirinya, Dilan juga.
"Dilan, aku nebeng lagi ke kafe," kata Dyra santai, meski dadanya berdegup kencang.
"Uhuk-uhuk." Dilan yang sedang mengunyah nasi gorengnya langsung tersedak.
"Pelan-pelan," hibur Dyra sambil menepuk pelan punggung Dilan. "Minum dulu. Kenapa responmu begitu? Aku tidak minta dinikahi. Aku hanya minta diantar ke kafe."
"Ah ya, makasih," ucap Dilan cemberut. Apa maksud perkataannya itu?
Dilan meminum air sambil melirik Dyra dari pinggir gelas. Dilan bingung melihat sikap Dyra yang tidak berubah, seakan pengakuan cinta kemarin malam tidak pernah terjadi. Dilan memang belum menjawab perasaan Dyra, namun dirinya sudah memberikan sinyal bahwa pengakuan cinta Dyra tidak akan diterimanya. Seharusnya, Dyra merasa murung pagi ini. Tetapi ternyata... Dyra tetap Dyra yang sama, ceria dan ceplas-ceplos. Meski begitu, Dyra bersikap santai, namun Dilan tetap merasa jengah berada di dekat Dyra.
"Suruh Pak Agus saja yang mengantarmu," elak Dilan sambil menunjuk sopir yang merangkap sebagai satpam di panti asuhan.
"Jika aku nebeng Pak Agus, maka salah satu dari kami pasti akan terlambat. Karena arah kafe dan sekolah anak-anak menyimpang jauh."
Dilan berdecak tidak suka, karena fakta di lapangan benar adanya. "Kalau gitu, suruh Pak Umar saja yang mengantar."
Dyra menggeleng pelan. "Pak Umar datang dengan diantar, karena motornya akan dipakai putranya."
Pak Umar adalah laki-laki setengah baya, yang diperkerjakan ayahanda untuk membantu memasak dan bersih-bersih panti asuhan. Kenapa bagian bersih-bersih adalah seorang laki-laki? Karena pernah datang seorang gadis muda yang melamar pekerjaan. Ternyata dia kedapatan menggoda ayahanda, sehingga menyebabkan kesalahpahaman yang rumit dengan ibunda. Tidak boleh terjadi lagi. Karena itu, semua asisten di panti asuhan adalah laki-laki. Dan tentu saja tidak boleh menginap di dalam panti asuhan.
"Kalau gitu, naik ojek saja."
"Kenapa kamu tidak mau mengantarku? Jurusan kita kan searah," protes Dyra sambil membereskan piring-piring bekas sarapan anak-anak, lalu menumpuknya di bak cucian. "Motorku juga belum kamu perbaiki kan."
"Eng, tapi.."
"Begini saja, aku akan mentraktir satu bengkel dengan kopi gratis. Itu upah yang menggiurkan, bukan?"
Bersambung...