"Aku lapar," kata Rama yang masuk ke area meja makan yang bergabung dengan area dapur. Rama melewati Dilan, sahabatnya yang sedang memainkan ponselnya di kursi meja makan. "Aku mau membuat mie instan. Kamu mau?" tawar Rama seraya membuka lemari penyimpanan diatas rak piring.
"Pakai telur kalau ada."
Rama bersiul-siul sambil membuka kulkas untuk mengambil telur. Rama menoleh ke arah Dilan yang mengangkat alis. "Telurnya tinggal satu. So.. The egg is mine," klaim Rama sambil menutup pintu kulkas dengan kaki kanannya.
"Pelit," gerutu Dilan sambil berdiri lalu membuka kulkas. Ada sebutir apel disana, lalu segera diambilnya. Sambil menggigit apel, Dilan membantu Rama menyiapkan dua piring untuk makan larut malam.
Lima menit kemudian, dua piring dengan menu mie instan tersaji nikmat di depan keduanya. Rama dan Dilan sudah bersiap untuk memasukkan suapan pertama, ketika telinga masing-masing tertarik ke atas.
"Aduuuuhh mami," rengek Rama yang memukul pelan tangan maminya yang menjewer telinganya.
"Lagi-lagi makan yang tidak sehat," tegur sang mami tidak suka. Tatapan mengintimidasi diberikan pada Rama yang cuek, dan pada Dilan yang langsung merasa bersalah.
"Sluruup... Lezaaat." Rama menyeruput mie nya dengan nikmat. "Mami, kalau mami tahu ini makanan tidak sehat, mengapa anda selalu menyediakannya di rumah? Itu namanya menggoda niat."
Skakmat. Mami Rama tidak bisa berkutik dengan fakta yang dipaparkan. Beliau hanya bisa berdecak tidak suka. "Itu hanya untuk ransum darurat, bukan untuk menu setiap hari, Rama."
"Ya.. ya.. ya." Rama merespon omelan mamanya, yang masuk kanan keluar kiri. "Sluruup.. nyam-nyam."
"Kenapa mami bangun?" tanya Dilan mengalihkan percakapan ibu yang khawatir dan anak yang super bandel.
"Suara berisik di dapur membangunkan mami," jawabnya sambil memberikan dua gelas air minum pada dua putra bandelnya. "Banyak-banyak minum air putih, supaya tidak sakit tenggorokan. Terutama kamu, Rama. Kamu tidak tahan makan makanan yang banyak mengandung bahan pengawet."
"Aye kapten," seru keduanya kompak.
"Bagus," sahut mami Rama. "Piring kotornya letakkan saja di bak cucian. Besok saja cucinya."
"Mi, jangan khawatirkan kami," ucap Dilan sebelum menegak air minumnya hingga ludes. "Sebaiknya mami cepat tidur. Nanti papi bangun lalu kebingungan karena mencari mami."
"Baiklah, mami tidur dulu."
"Mimpi indah mami," salam Dilan sambil berdiri dan meletakkan piring kotor di bak cucian. Mencuci dan membilas bersih satu set peralatan makannya, tidaklah berat baginya. Kemudian Dilan mengeringkan tangannya dengan kain kering disana.
Mami Rama mendekati Dilan dan tersenyum pada anak asuh tidak resminya itu. "Sekilas mami mencium aroma harum dari pakaianmu, Dilan. Hari ini ada acara kemana, kok tumben kamu pakai parfum?" tanya mami Rama heran, karena tidak biasanya Dilan memakai parfum. "Hmm, parfum yang lembut. Apa kamu tadi bersama seorang wanita?"
"Benarkah mi?" seru Rama yang menatap penasaran ke arah sahabatnya. Rama langsung menarik kemeja Dilan dan mengendus lehernya. "Yup benar. Anda harum bro."
"Heh, jangan dekat-dekat aku! Kepo," rutuk Dilan kesal sambil mendorong Rama menjauh. Kemungkinan besar, ini adalah aroma parfum lady bos yang menempel padanya, ketika dirinya berciuman dengan wanita cantik itu. Tidak boleh ada laki-laki lain yang boleh menghirup aromanya, meski hanya sisa-sisa nya. Dan itu termasuk Rama, sahabatnya sendiri.
Rama hanya mengangkat bahu melihat Dilan yang menjadi defensif. "Menarik bro. Well, nanti kita akan bahas, dikupas hingga tuntas ke akar-akarnya perihal parfum wanita itu," janji Rama pada dirinya sendiri. Rama tidak akan membiarkan Dilan lepas dari interogasinya. Lihat saja nanti.
"Kalian berdua cepat tidur juga."
"Siap 86."
Sepeninggal mami Rama, Dilan juga meninggalkan sahabatnya yang lebay, yang masih asyik berlambat-lambat menikmati makanannya. Dilan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dilan menyikat giginya lalu bersiap untuk mandi air hangat.
Brak.
Pintu kamar mandi terbuka tiba-tiba. Dilan sedikit terlonjak terkejut mendengar interupsi itu. Mata Dilan menyipit tidak suka pada satu oknum kurang ajar yang suka seenaknya sendiri ini.
"Jangan ditutup pintunya. Aku juga mau sikat gigi," kata Rama yang nyelonong masuk ke kamar mandi.
"Antri dong," sembur Dilan kesal. "Aku mau mandi nih. Aku tidak mau tubuh perjaka ku ternoda olehmu. Aku ini penyuka ceri, bukan jeruk. Jadi aku agak merinding kalau harus berduaan di kamar mandi dengan dirimu."
"Lebay! Siapa juga yang suka ceri dan jeruk?" omel Rama sambil meraih sikat gigi dan mengoleskannya dengan pasta gigi. Sambil berkacak pinggang menatap cermin diatas wastafel, Rama menjawab, "Aku ini sukanya duren."
"Duren? Duda keren maksudnya?"
"Enak saja," protes Rama di sela-sela menyikat gigi. "Belah duren maksudnya, bego! Aku kan pria tulen, bukan pria jadi-jadian!"
"Jadi, duren nya siapa yang mau kamu belah, bego," balas Dilan dengan tertawa mengejek. "Kamu kan jomblo akut dari lahir," lanjut Dilan dengan sinis. Kemudian Dilan berdiri membelakangi Rama yang sedang berdiri di depan cermin wastafel. Dilan sedang melepas pakaiannya dan tengah berdiri di bawah pancuran air hangat. "Jangan mengintip."
"Yaelah, pakde-pakde.. situ kayak perawan saja," gerutu Rama yang menyudahi kegiatan menggosok gigi, menggosok wajah dan leher. Rama meraih handuk kecil yang digantung di sebelah wastafel untuk mengeringkan air yang menetes di wajah dan rambut nya.
"Kamu tidak mandi?"
"Aku sudah mandi di markas, sebelum pulang tadi," jawab Rama yang keluar dari kamar mandi dan bersandar di pintu yang terbuka, menunggui sahabatnya mandi. "Bauku sudah seperti bau rumah sakit, sebelas dua belas dengan aroma zombie. Aroma desinfektan."
Hening. Hanya terdengar gemericik air mengalir dari shower yang dipergunakan Dilan untuk mandi. Kemudian Dilan mengeringkan tubuhnya, lalu mengenakan celana kolor dan kaos miliknya yang disimpannya di rumah Rama, untuk keperluan sewaktu-waktu jika menginap di rumah sahabatnya ini.
"Kita akan bergadang?" tanya Dilan sambil meletakkan handuk di kepalanya untuk mengeringkan rambut.
"Sebaiknya kamu ceritakan semuanya padaku, sebelum aku memaksamu dengan kekerasan," ancam Rama yang terdengar serius.
"Tentang?"
"Jangan pura-pura bloon di depanku."
Keduanya berjalan beriringan menuju kamar tidur Rama. Dilan, si tamu akan bobok di kasur lipat di lantai. Sedangkan Rama, si pemilik kamar akan tidur di ranjang. Sebenarnya orang tua Rama telah menyediakan sebuah kamar khusus untuk Dilan, bila datang menginap. Namun karena setiap kali dirinya datang dan tidak menggunakannya, melainkan selalu tidur bersama Rama, maka kamar itu dialihfungsikan sebagai ruang kerja.
Dilan yang sedang duduk bersila di kasur lipat, menatap tajam sahabatnya itu. "Baiklah, kita suit dulu. Yang kalah, cerita dulu. Yang menang, kapan-kapan ceritanya."
"Ck, kebiasaan. Selalu tertutup," decak sebal Rama yang juga duduk bersila di ranjangnya. "Dilan, kupikir hari ini, kamu harus mengeluarkan unek-unek mu. Terlihat jelas, bahwa kamu sedang berbeban berat. Dan tebakanku, ini bukan hanya urusan pencurian di bengkel tempatmu bekerja, namun sebuah permasalahan pelik yang dialami para pria sepanjang zaman, yaitu WANITA."
"Sok tahu!"
Bersambung...