"Bagaimana rasanya berciuman?" tanya Rama yang penasaran, sebab dirinya buta pengalaman dengan seorang wanita. Rama ingin sekali berciuman dan bermesraan. Namun masalahnya, dengan siapa, Rama akan bercumbu?
"Ya.. begitulah," bisik Dilan sambil menutup wajahnya dengan guling dan memutar tubuhnya untuk berbaring membelakangi Rama.
"Ck, pelit," gerutu Rama dengan bibir mencebik. Rama menghela nafas panjang. "Aku juga ingin berciuman. Tapi aku tidak punya gadis yang akan kucium. Ahhh, bagaimana nasib ciuman pertamaku? Apakah momen spesialku harus dilakukan diatas pelaminan?"
"Huh dasar lebay! Kayak perawan saja yang meributkan ciuman pertama," ejek Dilan sambil melirik sahabatnya yang berbaring telentang menatap langit-langit kamar.
Dilan memberikan waktu beberapa menit bagi sahabatnya untuk merenungi ciuman pertamanya, sebelum berkata, "Kamu belum cerita tentang perjodohanmu."
"Perjodohanku?" Rama kembali mendesah panjang dengan dramatis. "Begini ceritanya..."
Seminggu yang lalu...
"Aku tidak salah dengar, pi? Aku dijodohkan?" seru Rama heboh.
"Betul. Dan kamu harus setuju, karena papi tidak mau punya menantu putri duyung, siluman ular putih, sailor moon, atau wanita pembasmi naga," jawab papinya yang sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan anak semata wayangnya yang selalu berkencan dengan fantasi, anime dan video game.
"Tapi.. tapi.." Rama kelabakan mendengar pemberitahuan yang membuat jantung berhenti berdetak dan nafas terputus. PER-JODOH-AN. Sial.
"Tidak boleh ada kata penolakan, protes, atau pun bantahan," ultimatum papi Rama. "Dan hari minggu besok adalah waktu pertemuan kita dengan keluarga besan sekaligus dengan calon istrimu."
"Hari minggu besok? Itu seminggu lagi berarti," seru Rama tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Papi nya sudah menentukan masa depan dirinya dengan menjodohkannya dengan gadis atau wanita yang tidak dikenalnya. "Aku tidak mau."
"Kamu sudah dengar apa yang papi bilang. Tidak ada penolakan. Titik," ultimatum papi Rama keras kepala.
"Pi, kenapa harus menjodohkanku?"
"Apa kamu mau jadi perjaka tua?"balas papi Rama tidak mau kalah.
"Ck, jangan berlebihan deh pi," keluh Rama sambil mengusap wajahnya frustasi.
"Papi tidak berlebihan. Tapi papi khawatir tentang masa depanmu, Rama. Kamu sudah berusia dua puluh enam tahun. Dan selama ini hidupmu hanya berputar pada fantasi dan fantasi. Ingat, kamu bukan anak kecil lagi, Rama."
"Aku BUKAN sudah dua puluh enam, pi. Tapi aku MASIH dua puluh enam. Di luar sana masih banyak pria wanita yang berumur lebih dari itu, namun masih tetap enjoy dengan hidupnya,"protes Rama sambil mengulurkan kedua tangan ke segala arah. "Aku masih ingin menikmati hidup."
"Ck, mereka bukan anak papi, Rama. Jadi.. papi tidak peduli dengan mereka yang tidak memikirkan masa depan. Mau jungkir balik, mau rusak hidup mereka karena narkoba ataupun minuman keras, mau tidur dengan sembarang orang, bahkan mau hidup dengan sejenis pun, papi tidak akan peduli. Mengerti??!" tegur papi Rama keras. "Papi hanya peduli padamu, karena kamu satu-satunya anak papi. Dan yang paling penting, papi ingin segera punya cucu, minimial dua."
Rama memutar bola matanya, sebal. Alasan klasik. Menikah dan punya anak untuk setor cucu pada orang tua. Dikiranya kita ini mesin pabrik untuk produksi anak cucu?
"Pokoknya aku tidak mau. Titik." Rama bersikeras sambil bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir di depan papinya yang sedang duduk di sofa.
"Baiklah, kalau kamu bersikeras menolak. Sekarang katakan apa alasannya?"
"Aku .. aku bisa cari pacar sendiri."
"Kalau begitu, mana pacarmu?"tantang papi Rama tidak menyerah. "Papi dan mami sudah menunggu sampai jamuran, tetap tidak pernah datang, yang namanya calon menantu tercinta."
Rama berkacak pinggang dan memandang papanya dengan frustasi. "Pi, cari gadis yang cocok itu tidak seperti mencari sayuran segar di pasar induk. Begitu ketemu yang kelihatan segar dan kinclong langsung garcep, siapa cepat dia dapat," teriak Rama sambil mengacak-acak rambutnya.
Plak.. Papi Rama berdiri dengan cepat dan langsung memukul kepala belakang putranya yang super bandel. "Ngomong sembarangan," bentaknya. "Menantu papi tidak boleh asal comot begitu."
"La itu papi tahu tempe sendiri. Tidak gampang mencari gadis dengan kualitas super. Se-cantik Kagura Hero. Se-cerdas Hermione Granger. Se-sakti Bai Suzhen, si ular putih. Se-kuat Wonder Woman. Se-seksi Megan Fox. Se-montok Pamela Anderson. Se-hot Dakota Johnson. Se-mulus Odette Hero. Se-mungil Tinker Bell. Se-misterius Bidadari Merah. Se-unik Miya Hero. Se.."
"Setop, Rama setop. Berhenti," protes papi Rama sambil menggelengkan kepala, frustasi. "Pantas kamu tidak pernah mendapatkan gadis. Standarmu itu terlalu tinggi ke luar angkasa. Kamu perlu membumi, Rama. Papi tidak mencari bidadari dari khayangan untuk seorang menantu. Hanya perlu seorang gadis yang bisa menjagamu saat suka dan duka di masa depanmu kelak, itu sudah cukup. Dan yang paling penting, dia juga bersedia melahirkan anak, itu sudah sangat cukup," jelas papi Rama penuh penekanan.
"Tapi pi, aku tidak bisa mendapatkan gadis yang biasa," tolak Rama ngotot.
"Justru gadis biasalah yang bisa membuatmu bahagia, Rama. Bukan kriteria tidak masuk akal yang kamu bicarakan tadi," argumen papi Rama, masuk akal. "Percayalah pada papi, bahwa kamu akan bahagia dengan perjodohan ini. Seorang gadis biasa dari keluarga baik-baik. Karena yang terpenting adalah kecantikan yang tidak hanya berasal dari penampilan luar, tapi dari juga hati. Hati yang cantik."
"Tunggu.. tunggu dulu, pi. Apa maksud papi bahwa hati yang cantik lebih penting dari penampilan yang cantik? Jadi gadis yang dijodohkan denganku itu JELEK?" respon Rama syok tentang penjelasan papanya yang panjang lebar. Rama menekankan kata 'jelek' dengan sekuat tenaga.
"Ini fotonya," kata papi Rama menjulurkan tangannya memberikan selembar potret pada Rama.
Rama mengamati sosok gadis, ah bukan, dia lebih tua dari itu. Wanita itu tersenyum cemerlang ketika menghadap kamera. Namun jika dibandingkan dengan semua bayangan gadis spesial impian Rama, wanita ini sama sekali tidak ada apa-apanya. Bagaikan sebutir pasir di alam semesta. Rama menatap papinya dengan tatapan tidak percaya, karena telah memberikan padanya, seorang wanita yang sama sekali tidak berkualitas.
"Well, apakah aku harus menghabiskan sisa hidupku dengan wanita biasa-biasa saja? Bahkan jika kami berdua berpapasan di jalan, aku tidak akan pernah melihatnya dua kali. Meliriknya pun aku tidak akan melakukannya."
"Jangan sombong, Rama," tegur papinya keras dengan tudingan jari ke arah Rama, karena komentar putranya yang sudah kelewatan. "Di mata kami sebagai orang tua, kamu memang istimewa. Tapi di mata orang luar, apakah kamu termasuk istimewa? Pikirkan itu baik-baik. Jangan memandang diri sendiri terlalu tinggi hingga merendahkan orang lain."
Rama terdiam mendengar nasehat papinya. Dan nasehat terakhir itu tidaklah diceritakannya pada Dilan, sahabatnya. Meskipun mengomel perihal perjodohan, namun nasehat papinya itu membuat Rama mulai melunak dengan pemberontakannya.
"Menurutmu, apa aku punya peluang untuk lepas dari perjodohan ini?" tanya Rama muram pada Dilan, sahabatnya.
"Mau jawaban jujur atau bohong?"
"Yang bohong saja deh," sahut Rama seraya melamun.
"Bisa. Kamu bisa lepas dari perjodohan ini dan pada akhirnya akan mendapatkan gadis impianmu sendiri," jawab Dilan mantap.
"Benarkah?"
"Tentu saja tidak benar," sahut Dilan sambil menguap. "Kan kamu yang minta jawaban bohong."
"Sialan!"
Bersambung...