"Permisi, apa Rama ada?"
"Dilan, kamu datang ya," seru pemilik rumah ceria ketika membuka pintu rumahnya dan mendapati Dilan yang meringis disana. "Masuklah dulu. Rama belum pulang, mungkin sebentar lagi."
"Maaf malam-malam mengganggu," ucap Dilan yang merasa bersalah karena bertamu ke rumah orang, larut malam. Meski dirinya sudah kenal dekat, namun perasaan sungkan tetap menggelayuti hati Dilan. Dilan menghela nafas seraya melirik jam di pergelangan tangan. Sembilan malam lebih lima belas menit. "Sialan kamu, Rama! Kenapa belum pulang sih?" gerutu Dilan dalam hati, yang merutuki sahabatnya yang selalu keluyuran malam-malam.
"Kata Rama, kamu akan menginap disini ya," kata papi Rama sambil menyibakkan tirai untuk mengintip jendela yang mengarah ke luar teras.
Dilan memahami apa yang dilakukan pria paruh baya ini yang memandang ke jendela yang mengarah ke jalan raya. Entah sudah berapa kali, papi sahabatnya ini selalu mengkhawatirkan putra bandelnya yang masih keluyuran di malam hari. Meski Rama sudah dewasa dan menjadi seorang polisi, namun di mata orang tua, Rama tetaplah seorang anak yang wajib berada di rumah sebelum larut malam tiba. Kecuali jika Rama ada tugas piket malam.
"Papi, sebaiknya papi tidur saja. Biar Dilan saja yang menunggu Rama pulang. Papi lebih baik cepat istirahat. Papi kelihatan capek," suruh Dilan yang melihat raut yang lelah di wajah papi sahabatnya.
"Baiklah Dilan," sahut papi Rama sambil tersenyum. "Kamu tunggu Rama pulang. Jika lebih dari jam sepuluh malam, dia belum juga pulang, kamu kunci saja pintu rumah. Biar anak nakal itu tidur di teras."
Suara geraman dari papi Rama, membuat Dilan tergelak. Sahabatnya itu tidak pernah berubah, masih saja kekanak-kanakan dan membuat orang tuanya mencemaskan dirinya. Dilan menjawab, "Tentu papi. Serahkan saja padaku. Aku tidak akan mentolerir Rama."
"Kalau begitu papi tidur dulu."
"Mimpi indah, pi."
Dilan duduk dengan nyaman di sofa. Tangan bersedekap dan kepalanya menengadah, bersandar pada punggung sofa. Mata Dilan terpejam. Beberapa kenangan manis tentang tempat yang sudah dianggapnya sebagai rumah kedua baginya ini, berputar manis dalam benak Dilan.
"Apa yang kalian berdua lakukan?"
Dilan dan Rama kena tegur keras dari papi sahabatnya ini, gara-gara melempari pohon mangga milik tetangga, tiga rumah jaraknya dari rumah Rama. Akibatnya pemilik pohon mangga itu uring-uringan dan menjewer keduanya hingga ke depan pintu rumah Rama. Alhasil papi Rama diamuk oleh tetangga dengan suara menggelegar.
"Maaf pi," sesal Dilan seraya menundukkan kepala. Dilan yang adalah anak yatim piatu, diizinkan memanggil orang tua sahabat nya ini dengan sebutan papi dan mami.
"Kalau kalian berdua ingin mangga, kenapa tidak bilang? Kita kan juga punya pohon mangga sendiri. Ngapain ganggu punya tetangga yang judes itu? Bikin malu saja!"
"Yaa papi..," gerutu Rama sambil mengusap telinganya yang pedih karena jeweran super dari sang papi. "Pohon mangga kita kan tidak pernah berbuah. Aku pelototi itu pohon sampai mataku juling pun juga tidak pernah terjadi penampakan buah berwarna hijau. Kenapa sih tidak ditebang saja itu pohon? Dari aku lahir sampai hampir lulus SMP, tidak pernah keliatan yang namanya BUAH MANGGA. Yang ada cuman daun, daun, dan daun. Rempong deh, tiap hari menyapu sampah dedaunan itu. Hiyaaaa... papiiii, lepasin dong. Jangan jewer lagi, bisa copot itu telingaku," jerit Rama kesakitan karena mendapat jeweran doble porsi.
"Cerewet! Banyak alasan!" amuk papi Rama geram menghadapi putranya yang bawel.
Dilan tergelak pelan teringat kejadian konyol itu. Hmm, sebuah kenangan lain berkelebat di pikirannya. Kening Dilan berkerut tanpa sadar.
"Dilan, kamu sudah ambil rapor?"
Dilan menggeleng. "Ibunda mendadak ada keperluan penting dan tidak bisa mengambil rapor ku. Jadi aku harus menunggu hingga giliran terakhir untuk mengambil raporku," jawabnya pada Rama yang baru saja datang bersama sang mami. Sedangkan ibunda yang dimaksud adalah ibu asuh Dilan di panti asuhan.
Rama mengangguk paham. "Mi, tolong sekalian ambilkan rapor Dilan ya. Bilang sama Bu Ita, kalau rapor Dilan tidak bisa diambil oleh mamiku tercinta, maka rapor Rama juga tidak usah diberikan. Sekian."
Ngek. Sebuah jeweran mendarat di telinga Rama. "Ngawur terus ngomongnya," omel mami Rama sambil menjewer putra tunggalnya. Kemudian memandang lembut ke arah Dilan dan mengelus rambutnya. "Tante akan mengambilkannya untukmu, dengan satu syarat."
"Apa itu tante?" Dilan memiringkan kepala, memandang bingung pada mami sahabatnya.
"Mulai hari ini, panggil tante dengan sebutan mami. Maka mami akan dengan senang hati mengambilkan rapor untukmu. Bagaimana setuju?"tawar mami Rama dengan lembut.
Dilan sedikit terhenyak mendengarnya. Rumah keluarga Rama adalah rumah kedua bagi Dilan, setelah Papi dan mami Rama sangat baik padanya. Karena Rama adalah anak tunggal, jadi orang tuanya merasa senang karena bertambah satu anggota keluarga baru. Ditambah lagi, Dilan adalah anak yang baik dan sopan. Jadi, keluarga Rama tidak pernah keberatan putranya berteman dengan Dilan, meski Dilan hanya anak dari panti asuhan.
Bak robot yang kaku, Dilan mengangguk menyanggupi persyaratan istimewa itu. "Tentu saja, mami. Aku senang sekali memanggil tante dengan panggilan mami," seru Dilan berbinar-binar. Keluarga Rama yang senantiasa hangat membuat Dilan merasa betah tinggal di dekat mereka.
"Bagus. Sekarang, sarapan dulu bareng Rama di kantin. Mami akan ambilkan rapor kalian berdua."
"Siap mami," ucap Dilan dan Rama berbarengan. Keduanya langsung bercanda dan berangkulan menuju ke kantin untuk menyantap makanan kesukaan keduanya. Nasi kuning Bu Nur.
Dilan membuka matanya dan menatap langit-langit rumah sahabatnya. Sudah sepuluh tahun lebih, dirinya menjadi anggota tidak resmi dari keluarga ini. Meski dirinya dianggap sebagai keluarga, Dilan tidak bisa seenaknya sendiri. Dilan tetap bersikap sopan terhadap papi dan mami Rama. Dilan tidak ingin memanfaatkan kebaikan mereka untuk kepentingannya sendiri. Dilan harus tahu diri.
"Dilan, ingin kuliah dimana?"
Sebuah tawaran menggiurkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan, datang padany. Papi dan mami Rama menawarkan akan membiayai kuliah Dilan. Apapun jurusan yang Dilan pilih, mereka akan membiayai. Well, hati Dilan menjerit penuh dengan kerinduan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Namun, Dilan memahami keuangan dari keluarga Rama. Mereka bukan keluarga yang berada. Untuk membiayai pendidikan Rama di akademi kepolisian, sudah membuat mereka pontang-panting. Dilan tidak mau menyusahkan orang lain. Meski mereka memaksa, tapi Dilan tetap pada pendiriannya.
"Pendidikan di sekolah kejuruan di bidang mesin, sudah cukup memberikanku bekal untuk mandiri. Jadi aku tidak akan kuliah. Aku akan bekerja dan aku pasti berhasil," jawab Dilan atas tawaran papi dan mami Rama yang begitu murah hati padanya.
Jam sepuluh malam kurang lima menit.
Dilan berdecak sebal ketika melihat jam di pergelangan tangannya. Anak durhaka itu belum juga pulang. Dilan berdiri dari sofa dan mengintip ke jendela yang menghadap ke teras. Jantung Dilan nyaris copot ketika melihat bayangan wajah orang lain di jendela teras itu. Sialan! Bikin kaget saja.
Dilan segera menutup tirai jendela dan membuka pintu rumah. Didapatinya anak durhaka itu sedang berdiri dengan cengengesan di depan pintu. Dilan berdiri di tengah-tengah sambil bersedekap, menghalangi Rama masuk ke dalam rumah.
"Masih ingat rumah rupanya," sindir Dilan pedas.
"Cerewet! Cepat minggir, aku sakit perut nih," protes Rama sambil menyingkirkan Dilan dari depannya dan segera lari ke kamar mandi.
Blam. Dilan menutup pintu rumah Rama. Dilan tersenyum muram memandang punggung sahabatnya yang menjauh. "Apa Rama tidak pernah bersyukur, betapa bersyukurnya dia memiliki orang tua yang lengkap, yang sangat menyayangi dan selalu mengkhawatirkannya? Itu lebih berharga dari semua harta di dunia."
Bersambung...