Kesampingkan itu, jika Ibu mengetahui bahwa akulah penyebab Kakak yang menjadi mesum, aku tidak tahu akhir apa yang akan aku dapat.
Menyesuaikan hati dan mencoba memasang ekspresi bingung di wajahku. Tiba-tiba aku merasakan tatapan tajam yang diarahkan padaku, mencoba melihat sumbernya aku langsung mengutuk dalam hati.
Sialan. Dari semua orang kenapa harus dia. Melihat ke arah Sylvia, aku menyadari bahwa dia sedang menatapku dengan tajam. Menahan kegugupanku, aku berpura-pura tidak tahu dan berdoa dalam-dalam bahwa dia tidak menyadarinya.
"Karena itu Ibu berharap agar kamu tidak berakhir seperti kedua Kakakmu, jadi ibu berpikir jika keduanya memiliki pelayan yang menemani dan mengawasi mereka lebih awal mereka tidak akan berakhir seperti itu." Sarah segera melupakan kesuramannya dan menatap anak bungsunya dengan tatapan lembut.
Merengut tidak mau, aku menatap ke bawah dan mulai bergumam pelan. "Tapi bukankah masih ada Sebastian dan William."
Mendengus pelan, Sarah berkata. "Hmph. Bagaimana mungkin Ibu membiarkan kakek tua sepertinya menemanimu. Bukankah mereka akan berpikir Keluarga Lloyd hanya memiliki orang tua."
Melirik ke arah orang tua itu, aku melihat dia mulai terbatuk-batuk. Menatapnya dengan kasihan, aku mengalihkan pandanganku.
Sarah mengusap kepalanya dengan lembut dan bertanya pelan. "Sedangkan untuk William, apakah kamu yakin ingin dia menemanimu?"
Melirik ke sudut, aku melihat William menatapku dengan mata yang bersinar. Meneguk air liur, aku mengangguk setuju dan mengabaikan tatapan sedihnya. "Ibu benar."
William adalah cucu Sebastian, dia mulai bekerja sebelum aku lahir. Dia orang yang kompeten dan teliti, semua pekerjaannya bisa dibilang sempurna, sayangnya dia adalah kotak obrolan berjalan. Aku pikir hari-hariku juga akan berakhir buruk jika dia terus bersamaku.
Tersenyum melihat tindakannya, Sarah berkata. "Lagipula, Sylvia tidak akan tinggal lama bersama kita, dia akan pergi setelah beberapa hari. Selain seumuran denganmu, dia juga sepupumu jadi Ibu merasa dia cocok untuk menemanimu, ibu juga tidak bisa mengatakan tidak kepadanya."
Senyum merekah di wajahku tanpa aku sadari. Akhirnya. Akhirnya ada kesempatan. Hanya beberapa hari dan dia akan pergi, aku hanya perlu bersabar.
Tiba-tiba merinding menjalari seluruh tubuhku. Tanpa menebak siapa itu, aku langsung tahu pelakunya. Melirik Sylvia, aku melihatnya tersenyum padaku tapi entah mengapa aku merasa senyumnya sedikit menakutkan bagiku.
Ya Tuhan. Aku harus menjauh darinya, menjauh secepat mungkin. Aku akan menjadi gila jika terus bersama dengannya. Tenang diriku, tenang. Hanya tinggal beberapa hari, sabar. Aku yakin kamu pasti bisa.
Terkejut dengan tubuh anaknya yang sedikit menegang di pelukannya, Sarah meliriknya kemudian melihat senyum di wajah Sylvia, tiba-tiba dia tersenyum penuh pengertian dan menatap bolak-balik antara keduanya tanpa mereka sadari.
Mencium pipi anaknya, Sarah menurunkannya. "Baiklah. Sekarang pergi dan ajak Sylvia melihat sekeliling, dia belum pernah pergi keluar sebelumnya."
"Tapi Bu. Kenapa dia memakai pakaian pelayan jika dia sepupuku." Merengut tidak senang dengan ciuman di pipiku, aku meratap di hatiku. Oh martabatku.
"Dia sendiri yang menginginkan menjadi pelayan. Dan Ibu juga tidak bisa menolaknya karena itu bisa dianggap sebagai pengalaman." Sarah menatap lembut anaknya. "Sekarang pergi. Jangan ganggu urusan orang dewasa, dan jangan lupa bawa Sylvia berkeliling."
"Baik." Menghela napas dalam diam, aku pergi meninggalkan ruangan tanpa peduli dengan Sylvia.
Menurut akal sehat, tidak mungkin anak dari keluarga bangsawan menjadi pelayan dari keluarga bangsawan lain, terlebih lagi jika anak itu seseorang dari garis keturunan utama. Tapi melihat bahwa itu terjadi pada Sylvia aku tidak repot-repot memikirkannya, karena bagaimana mungkin seorang seperti dirinya seolah-olah memiliki akal sehat padanya.
"Bibi." Membungkuk sebagai salam, Sylvia kemudian mengikuti Tuan Mudanya ketika panggilan Bibinya menghentikannya.
"Nak. Mulai sekarang kamu harus menjaga sepupumu dengan baik." Sarah tersenyum lembut padanya dan sebuah kilatan tak terdeteksi muncul di matanya ketika tatapannya jatuh pada Sylvia.
"Baik." Sylvia menggangguk pelan, dan tidak berpikir ada maksud lain dari kata-katanya.
Tanpa Narai sadari ketika dia dan Sylvia meninggalkan ruangan, tawa menyeramkan tiba-tiba terdengar di seluruh ruangan. Yang tidak disangka ternyata tawa itu keluar dari Ibunya sendiri yang tidak mungkin pernah dia dengar sebelumnya.
"Hahahaha...."
"Hehehehe." Sebuah seringai licik muncul di wajah Sarah ketika anaknya tidak ada di ruangan lagi.
"Anakku tersayang, jangan salahkan Ibumu. Ibu melakukan ini untuk kebaikanmu sendiri." Senyum menghina kemudian muncul di wajahnya saat sebuah pikiran terlintas di benaknya. "Dan bagaimana bisa Ibu membiarkan mereka mengambil keuntungan darimu ketika Ibu masih hidup. Tidak mungkin bukan, Ibu membiarkan air suburku mengaliri ladang mereka."
Bahagia dengan pemikirannya sendiri, Sarah tertawa lepas tanpa peduli konsekuensinya. "Hahahaha..."
Tatapan menghina tiba-tiba terlontarkan padanya, semua pelayan yang berada di ruangan telah menghentikan semua pekerjaannya dan masing-masing dari mereka menatapnya dengan hina.
Merasakan tatapan padanya, Sarah berhenti tertawa. Dia melototi mereka dan berkata. "Apa. Tidak pernah melihat nyonya cantik ini tertawa. Kembali bekerja!"
Melihat mereka masih menatapnya, Sarah mengancam mereka. "Untuk apa kalian masih melihatku, kembali bekerja! Hmph, apa kalian pikir nyonya ini tidak berani memotong gaji kalian."
Mendengar ancaman nyonya mereka, para pelayan memandangnya dengan lebih hina. Mereka kemudian kembali ke pekerjaannya masing-masing dan bertindak seperti tidak pernah mendengar ancaman darinya.
"Hmph." Mendengus untuk terakhir kalinya, Sarah keluar dari ruangan itu dengan pikiran yang tersembunyi di benaknya.
Sedangkan untuk para pelayan, mereka melakukan pekerjaan mereka sebelumnya seolah kejadian itu hanyalah selingan biasa tetapi dalam benak mereka ada pikiran sama yang muncul.
"Tuan Muda telah dijual."
...
Setelah Narai keluar dari ruangan, dia tidak mengetahui situasi yang terjadi di dalam ruangan, dia tidak tahu bahwa dirinya telah dijual. Dia sekarang membimbing Sylvia di sekeliling mansion dengan ekspresi muram di wajahnya.
"Ini ruang makan."
"Ini dapur."
"Di sana kamar mandi."
"Ini ruang tamu lainnya."
"Dan ini taman."
"Aku tidak tahu apakah kamu sudah memiliki ruang tidur tapi jika belum, kamu bisa memilih ruangan yang tidak digunakan sesukamu." Melirik Sylvia, aku berbalik dan memberikan kata-kata terakhirku. "Itu saja. Aku akan kembali ke kamar, jangan mengikutiku dan menggangguku."
Berjalan menuju kamar, aku berhati-hati memperhatikan Sylvia apakah dia mengikuti perkataanku atau tidak. Syukurlah dia mengikuti perkataanku dan tidak mengikutiku ke kamar.
Memasuki kamar, aku diam di tempat dan memperhatikan apakah ada orang di sekitar. Mengetahui bahwa tidak ada orang, aku berjalan menuju jendela dan membukanya.
Melihat sekeliling dan memastikan tidak ada orang, aku melompat keluar. "Mmm, Ini aneh. Sejak kapan dia mengikuti perkataanku."
"Biarlah. Untuk lebih amannya aku akan mengambil jalan memutar."
...
Berjalan memutari mansion, aku berhati-hati agar tidak terlihat oleh penjaga. Tapi ini cukup mudah menghindari penjaga, karena hanya beberapa orang saja yang berjaga sedangkan mansion ini lumayan besar.
Untuk ukuran keluargaku mansion ini bisa dibilang besar, karena hanya beberapa orang saja yang tinggal di dalamnya. Bahkan jika seluruh pelayan beserta penjaga ikut tinggal di mansion, masih banyak lagi ruang yang tersisa untuk digunakan.
Terlebih lagi yang tinggal di mansion hanya keluargaku dan beberapa pelayan saja, yang cukup membuatku bingung mengapa mansion ini dibangun sangat besar. Jika itu keluarga bangsawan lain aku akan menganggapnya sebagai hal yang wajar tapi ini terjadi pada keluargaku.
Selain itu yang membuatku lebih bingung, mengapa ada penjaga yang berpatroli di sekitar mansion. Ini membuatku bertanya-tanya, seolah mansion ini memiliki harta berharga. Bagaimana tidak, mansion ini tidak memiliki benda-benda yang berharga, semua yang kulihat hanyalah sampah karena aku melihat sendiri bahwa sebagian besar dibeli di pinggir jalan di Kota Grey.
Mengesampingkan semua itu, aku butuh beberapa menit untuk mengendap-endap keluar dari wilayah mansion. Kemudian aku harus berjalan lagi lebih lama karena jarak antara mansion dengan kota sekitar tujuh sampai delapan ratus meter.
Meskipun begitu, di jalan aku masih menemui beberapa penduduk jadi perjalanannya tidak terlalu sepi. Sebab sebagian wilayah antara mansion dan kota memiliki lahan pertanian, tapi karena wilayah itu bersebelahan dengan hutan hanya beberapa orang saja yang berani membuka lahan pertanian di wilayah ini.
Sesampainya di gerbang masuk kota, aku berdiri mematung dan memiliki keinginan untuk memuntahkan darah. Karena tepat di samping gerbang kota, berdiri gadis cantik yang mengenakan pakaian pelayan sedang menatapku. Dia menatapku dengan senyum penuh kemenangan.
Setitik air mata tiba-tiba keluar dari sudut mataku. Ya Tuhan. Untuk apa aku melakukan semua itu. Untuk apa semua kehati-hatian dan perencanaan yang telah aku lakukan. Dan mengapa juga aku mengendap-endap di rumahku sendiri.