Chereads / Dunia Kelabu / Chapter 9 - Taruhan

Chapter 9 - Taruhan

Narai tersenyum licik saat menyaksikan semua petualang pergi dengan gembira, dia kemudian mendekati para pedagang ketika suara system terdengar di telinganya.

*Ding* [Selamat, Host telah mempelajari Skill Keserakahan]

Oh, apa ini hanya perasaanku saja atau suaranya memang terdengar pelan. Jangan-jangan, systemnya rusak.

Kejutan tiba-tiba memenuhi hatiku. Ketika aku melihat ke atas, langit tampak lebih biru, saat melihat ke timur, hutan juga tampak lebih hijau. Dunia seakan lebih berwarna. Syukurlah doaku akhirnya terkabul. Hahahaha langit tidak buta.

Di penuhi kegembiraan, aku secara tidak sengaja melirik ke samping. Seperti balon yang kempes, dunia yang baru saja berwarna kembali lebih abu-abu.

"Apa!?" Menarik pandanganku, aku merasa jengkel karena Sylvia terus menerus menatapku.

"Tuan Muda, kamu menipu." Sylvia terus menatapnya tanpa peduli sekitarnya. Baginya, melihat bagaimana Narai, Tuan Mudanya menipu meninggalkan ketidaknyamanan di hatinya.

"Hmph. Itu bukan menipu, itu namanya menggunakan otak. Paman sendiri sudah bilang dia meletakkannya bersama barang lainnya, jadi salahkan keserakahan mereka karena menyebabkan mereka menjadi percaya." Aku mendengus menolak mengakuinya, entah kenapa tatapannya membuatku tidak nyaman, ada yang aneh dengannya.

"Jadi begitu. Itu namanya menggunakan otak bukan menipu." Sylvia mengangguk pelan, merenungkan kata-katanya.

"Ya, itu namanya menggunakan otak." Aku mengangguk pelan, mengulanginya lagi. Tunggu, sejak kapan dia mengikuti kata-kataku.

Melirik Sylvia yang sedang merenung, perasaan tidak nyaman menyelimuti hatiku. Emm, tidak mungkin dia berubah karena perkataanku ini, kan?

Tidak tahan dengan perasaan tidak nyaman ini, aku memutuskan untuk bertanya ketika paman-paman itu datang mengerumuniku dan tentu saja mereka datang dengan sekantung uang yang membuatku paling bersemangat.

"Tuan Muda, idemu memang selalu brilian."

"Tuan Muda, ide apa lagi yang kamu miliki."

"Potong omong kosongnya. Mana bagianku." Sekarang, tidak ada yang lebih penting dari kantong yang sedang mereka pegang.

"Oh. Aku hampir lupa, ini." Mengeluarkan kartu ungu dari saku, aku memberikan kartu ungu kepada mereka.

"Kartu Ungu!? Dari mana kamu mendapatkannya?" Pak tua Jizo menatap Narai dengan ragu.

"Apa!? Aku mendapatkannya dari kakak. Menurutmu dari mana aku mendapatkannya?" Aku memutar mataku. Dia pikir siapa aku, apakah menurutnya aku hanya tahu cara-cara curang. Yah, aku memang pernah menipunya tapi tidak mungkinkan aku selalu menipu.

"Hehehe. Maaf, maaf, aku lupa dengan siapa aku sedang berbicara." Pak tua Jizo tertawa malu, dia kemudian mengambil Kartu Ungu dari Narai. Sedangkan yang lainnya, mereka mengutuknya dalam hati. Dasar penjilat. Dengan siapa dia sedang berbicara? Tentu saja dengan iblis kecil. Siapa lagi kalau bukan dia.

"Ini." Kartu Ungu secara bertahap berputar di antara pedagang-pedagang, ketika Kartu Ungu berakhir di pak tua Kui, si pria mesum yang memiliki lingkaran di dadanya, dia melirik ke sana sini dengan mencurigakan.

"Hei paman. Kamu melakukannya lagi." Melirik si pria tua mesum itu, aku menghampirinya dan menengadahkan tanganku. "Kartuku."

Melihat wajah masamnya, aku langsung mengambil Kartu Ungu dari tangannya. Melihat ke jumlah yang terlulis di pojok kartu, aku langsung mengutuknya. Dasar berhati hitam.

"Paman, kamu kurang satu koin perak."

"Tuan Muda, itu hanya satu koin perak."

"Paman, kamu sendiri yang mengajariku tidak akan ada satu koin emas tanpa satu koin perak."

"Cih. Ini milikmu." Pak tua Kui melempar koin perak dengan wajah kecewa, tapi saat dia sadar siapa yang berada di sebelah Narai ekspresinya tiba-tiba berubah antara ingin tertawa dan mengasihani.

"Oh. Terima kasih." Menangkap koin perak, hatiku tidak bisa menahan godaan untuk menciumnya. Syukurlah rasionalitasku berhasil menahan godaan itu. Tahan diriku, tahan. Akan ada saatnya.

Melirik koin perak untuk terakhir kalinya, aku memasukkannya ke saku bersama dengan Kartu Ungu. Sayangku, papa janji akan selalu merawatmu.

*Ding* [Poin pengalaman... Skill.... Keserakahan..... ]

Oh! Hahahaha.... Akhirnya aku bisa memiliki sedikit ketenangan.

Tepat ketika Narai tertawa gila di hatinya, pak tua Kui tiba-tiba menepuk pundak orang di sebelahnya dengan kasar. "Hei! Hei!"

"Apa!" Orang itu menggeram pelan, dia berpikir dalam hati, apakah orang tua mesum ini tidak puas dengan lelucon yang dia lakukan.

"Lihat.. lihatlah di sebelah Tuan Muda." Pak tua Kui sedikit terbata-bata saat dia menunjuk Sylvia.

"Sebelah apa!? Pak tua, kamu harus belajar untuk tenang..... Oh!?" Hampir sama dengan pak tua Kui, ekspresinya berubah ketika dia melihat Sylvia yang berada di sebelah Narai.

Keributan kecil ini tidak terlepas dari perhatian pedagang-pedagang di sekitarnya. Mereka akhirnya sadar dengan siapa Narai datang kali ini, mereka kemudian secara spontan menatap Narai dengan kasihan.

Keanehan mereka tidak berhasil tertangkap oleh Narai, sekarang dia masih tertawa gembira di dalam hatinya, menikmati dirinya sendiri yang telah terbebas dari neraka tanpa sadar bahwa dia telah jatuh ke neraka yang lebih dalam.

"Tuan Muda." Pak tua Jizo menepuk pundaknya dan mengulurkan tangannya. "Ini untukmu. Aku memberikannya gratis."

"Hah." Tepukan itu mengejutkanku, tapi lebih dari itu apa yang dia lakukan membuatku lebih terkejut. Apakah kepalanya terbentur, sejak kapan dia begitu murah hati.

"Tuan Muda, ini untukmu."

"Roti ini gratis untukmu Tuan Muda."

"Tuan Muda tolong terima ini."

"Tuan Muda..."

"Huh!? Hah!? Apa!?" Menerima tumpukan makanan kecil ini, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada apa dengan mereka semua, jika hanya paman Zo aku ragu ada yang salah tapi bahkan paman Kui juga memberikan barang dagangannya secara gratis.

Apakah kepala mereka semua terbentur? Mmm. Tidak mungkin orang-orang berhati hitam ini menjadi begitu baik hati. Tapi.... Melirik ke makanan-makanan kecil ini, kilaun minyak dan aroma menggugah ini, pikiran yang berada di kepalaku menghilang. Yah, selama gratis siapa yang menolak. Hahahaha, sepertinya hari ini adalah hari terbaik di dalam hidupku.

"Kalian tidak akan mengambilnya lagi kan?" Menatap mereka dengan curiga, aku bertanya-tanya apakah ini salah satu tipuan yang mereka lakukan atau bukan.

Bukan tanpa alasan aku memikirkan ini, sebab tidak hanya sekali atau dua kali aku tertipu oleh mereka. Tentu saja, aku pasti membalas kebaikan mereka, karena mereka mengajarkanku, bahwa saat kamu dalam keadaan terpuruk pasti ada satu atau dua orang yang akan menendang bokongmu.

Itulah yang mereka ajarkan kepadaku. Bagaimana tidak, saat aku tertipu sekali dan berpikir semua itu sudah berakhir, aku dengan begitu santainya menerima bantuan mereka yang pada akhirnya jatuh ke perangkap mereka lagi.

Jadi secara tidak sadar, di kepalaku terbentuk sebuah gagasan bahwa tidak ada perbuatan baik tanpa alasan. Ketika seseorang berbuat baik kepadamu pasti ada alasannya entah karena kemurnian hatinya atau rencana busuk yang ada di kepalanya.

Dan sekarang berhadapan langsung dengan paman-paman yang berada di sekelilingku, aku langsung tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki rencana busuk karena tidak mungkin orang berhati hitam memiliki kemurnian hati.

"Hahaha. Tuan Muda, tentu saja kita tidak akan mengambilnya."

"Tuan Muda, apakah menurutmu kita tidak memiliki hati nurani?"

"Tuan Muda, tidak ada orang berhati hitam yang tinggal di Kota Grey."

"Tuan Muda, apakah kamu mempertanyakan kemurnian hati kami?"

"Hahaha. Kamu benar, mana mungkin ada orang berhati hitam di Kota Grey."

"Hahahaha. Kamu benar Tuan Muda."

Olokan dan sindiran mewarnai percakapan. Tidak ada satupun dari mereka yang menolak untuk kalah, tapi di dalam hati mereka, mereka saling mengutuk satu sama lain. Narai mengutuk keras mereka di dalam hati, tapi dia masih menerima pemberian mereka, dia bisa tahu makanan itu diracuni atau tidak dengan sekali pandang jadi dia tidak takut untuk menerimanya.

Sedangkan untuk pedagang-pedagang itu, orang-orang yang dipanggil paman oleh Narai, disatu sisi mereka mengutuknya tapi di sisi lain mereka juga kasian padanya. Namun lebih dari itu, mereka menertawakan kesialan yang dia terima.

Meskipun mengetahui kesialan yang dia terima, orang-orang ini tidak berniat memberitahunya. Karena mereka tahu siapa pelaku di balik kesialannya jadi mereka tidak berani memberitahunya, tapi lebih dari itu ketika mereka melihat siapa gadis yang berdiri di samping Narai, mereka sadar itu akan sangat percuma.

Melirik mereka dengan curiga untuk terakhir kalinya, aku pergi dengan Sylvia menuju tujuan awal yang telah aku tetapkan. Berjalan meninggalkan mereka aku terus melirik benda yang berada di sakuku dan makanan yang aku dan Sylvia pegang dengan seringai di wajahku.

"Tuan Muda, sepertinya kamu disukai penduduk kota ini."

"Kamu pikir siapa aku. Tentu saja, mereka menyukaiku."

"Tuan Muda, pernyataanmu membuatku ingin terus mengikutimu."

"Jangan melakukannya. Aku akan mati muda jika kamu terus mengikutiku."

"Jangan khawatir Tuan Muda, bahkan jika kamu mati, aku pasti akan selalu mengikutimu."

"Tapi aku tidak mau."

Hening menyelimuti pedagang-pedagang itu. Salah satu dari mereka, pak tua Kui, si pria mesum itu mengheningkan cipta, merasa kasian untuk Narai. "Haaah. Hidup yang menyedihkan."

Tiba-tiba dia menoleh dan bertolak belakang dari sikapnya tadi, sebuah kata yang tidak masuk akal keluar dari mulutnya. "Apakah kalian ingin taruhan?"

"Oh!?"

"Kemenangan Tuan Muda atau kemenangan Nyonya Muda."

"Aturannya?"

"Siapa yang ditaklukkan terlebih dahulu. Jika Tuan Muda ditaklukkan maka Nyonya Muda yang menang dan sebaliknya jika Nyonya Muda ditaklukkan maka Tuan Muda yang menang."

Melirik satu sama lain, mereka sedikit ragu-ragu. Mereka tahu ini taruhan yang sulit, karena melibatkan dua orang itu, disatu sisi Nyonya Muda yang sulit untuk dilihat dan di sisi lain Tuan Muda mereka si iblis kecil yang licik.

"Kemenangan Nyonya Muda."

"Aku juga Nyonya Muda."

"Hmph. Tentu saja Nyonya Muda."

"Cih. Di mana kepercayaan kalian. Aku bertaruh pada Nyonya Muda."

Orang-orang di sekitarnya tiba-tiba terdiam, seketika mereka menoleh dan menatap orang yang berbicara dengan hina.

"Aku bertaruh pada Tuan Muda." Pak tua Jizo membusungkan dadanya dengan percaya diri.

Orang-orang hanya meliriknya tanpa peduli, ini sudah diharapkan dia akan bertaruh pada Tuan Muda tersayangnya.

"Apa-apaan reaksi kalian!"

Keributan terjadi lagi, tapi berbeda dengan sebelumnya keributan ini terjadi akibat taruhan yang mereka buat, taruhan yang mereka buat antara Nyonya Muda dan Tuan Muda mereka.

Namun, taruhan yang mereka buat secara tidak sadar memposisikan Sylvia sebagai Nyonya Muda mereka. Mereka bertindak seolah Sylvia merupakan Nyonya Muda mereka, dan sejak awal mereka juga tidak pernah menyangkal bahwa Sylvia adalah Nyonya Muda mereka, seolah mereka sepenuhnya yakin bahwa dia sudah pasti akan menjadi Nyonya Muda mereka.