Chereads / Dunia Kelabu / Chapter 5 - Hulu

Chapter 5 - Hulu

Sialan. Tidakkah dia mengerti apa itu sindiran, dan lihatlah wajahnya itu selalu kaku dan tidak ada ekspresi satupun. Mungkin jika dia diberitahu bahwa besok adalah hari terakhir dia hidup, ekspresinya pasti tetap tidak akan berubah.

Yah, tapi wajah tersenyumnya memang menarik. Sejauh yang kutahu hanya sedikit yang bisa menyamainya dan semuanya adalah wanita dewasa, tidak ada yang seumuran dengannya.

"Yang ingin aku tahu adalah sekarang bukan tadi!" Memutar mataku, aku menyadari satu hal, tidak ada hal baik yang datang dari mulutnya. "Sudahlah, aku lelah berbicara denganmu."

"Terima kasih atas pujiannya Tuan Muda."

"Itu bukan pujian!"

...

Berjalan menuju ruang tamu, aku melihat para pelayan dan pembantu terlihat lebih sibuk dari biasanya, mereka sepertinya sedang menyiapkan sesuatu. Ini aneh, karena sejauh yang aku tahu keluargaku, Keluarga Lloyd tidak peduli pada formalitas.

Bahkan hubungan antara para pelayan dengan keluargaku di permukaan hanya sebatas hubungan kerja, selain itu keluargaku memperlakukan mereka layaknya seorang teman dan tidak terlalu memperhatikan etiket kebangsawanan. Tentu saja para pelayan masih tetap melakukan etiket meskipun keluargaku sudah meminta mereka untuk bersikap biasa saja, mereka bilang itu suatu keharusan kerena keluargaku merupakan keluarga bangsawan.

Karena sikap keluargaku inilah sangat jarang sebuah perayaan dilakukan, bahkan aku bisa menghitung dengan satu tangan berapa banyak perayaan yang terjadi dalam setahun. Faktanya, perayaan itu terjadi karena para pelayan meminta keluargaku untuk melakukannya. Menurut mereka keluarga bangsawan setidaknya memiliki perayaannya sendiri untuk membedakan mereka dengan rakyat biasa. Itu tidak mengherankan, karena keluargaku bahkan tidak peduli dengan upacara kedewasaan kedua anaknya sendiri, yang umumnya dilakukan di seluruh kerajaan ini, apalagi sebuah perayaan yang mereka anggap sepele.

...

Menyaksikan kesibukan di sepanjang jalan, akhirnya aku tiba di ruang tamu. Masuk ke dalam aku terkejut dengan apa yang kulihat, ini tidak seperti ruang tamu yang aku tahu.

Di depan mataku, sudah ada beberapa meja yang diatur rapi dalam sebuah pola. Dalam sekali pandang, itu memang terlihat tidak teratur, tapi jika dilihat lebih teliti lagi ada semacam harmoni dalam pola tersebut.

Selain itu, di tengah ruangan terdapat patung naga. Patung itu memancarkan aura dominasi, aura seorang raja. Kepalanya yang terangkat seakan mengaum ke langit mengumumkan ke dunia bahwa sang raja akan tiba. Sayapnya yang terangkat menunjukkan bahwa dia sudah lelah menahan diri di antara orang-orang biasa, karena dia bukan orang biasa, dia adalah seorang raja. Sisik dan cakarnya terlihat berkilau seperti yang ada pada naga sungguhan, jika bukan karena aku tahu itu tidak bergerak aku tidak akan menyadari bahwa itu adalah patung, patung yang terbuat dari es.

Tertegun oleh patung itu aku menyadari bahwa tujuanku kemari bukan untuk menghargai keindahan patung itu. Melihat ke sekeliling, aku akhirnya menemukan Ibu, ini tidak sulit untuk menemukannya, pertama meskipun Ibu berumur tiga puluh tahunan tapi ia masih terlihat muda dan sampai sekarang aku tidak meragukan bahwa sangat sedikit wanita yang menandingi kecantikannya apalagi yang masih secantik Ibuku diusianya yang sekarang. Dan kedua karena warna rambutnya yang mencolok. Sebagai anggota Keluarga Foster, Ibu tentu saja memiliki ciri khas utama keluarga tersebut yaitu rambutnya yang berwarna zamrud, sama seperti Sylvia.

Sejak awal aku sudah curiga bahwa Sylvia berasal dari Keluarga Foster, karena keluarga itu memiliki ciri khas rambut berwarna zamrud dan juga satu-satunya keluarga dengan ciri khas tersebut yang memiliki hubungan dengan Keluarga Lloyd. Apalagi melihatnya cukup dekat dengan Kakak, sudah cukup untuk memastikan bahwa dia berasal dari Keluarga Foster.

"Ibu." Menyesuaikan diri, aku berjalan pelan mendekati Ibu.

"Oh." Melirik ke samping, Sarah melihat putra bungsunya dan tidak hanya itu dia juga berjalan bersama keponakannya. "Apa yang diinginkan bayi kecilku ini."

Meskipun aku tidak ingin, tapi tidak ada cara yang bisa meyakinkan Ibu kecuali satu hal. Jadi menguatkan mentalku, aku memegang tangannya dan menatap matanya berusaha sebisa mungkin untuk terlihat imut.

"Ibu..., aku sudah dewasa jadi bisakah berhenti memanggilku dengan sebutan itu." Melirik Sylvia, aku merasa ingin menangis karena dia jelas berusaha keras menahan tawanya dan meskipun ekspresinya masih datar semua itu tetap terungkap dari tangannya yang mencoba menutupi mulutnya.

Menguatkan hati, aku kemudian menunjuk Sylvia. "Dan aku sudah mandiri, aku bisa melakukan apapun sendiri. Jadi kamu tidak perlu memerintahkan pelayan ini untuk mengikutiku."

Melihat tingkah anaknya, Sarah tidak tahan untuk tidak mencubit pipinya. Menggendong putranya, dia dengan pelan bertanya. "Jadi apa yang bayi kecilku tidak suka darinya."

"Emm, karena itu tidak baik bagi pria dan wanita untuk saling berduaan." Terpana dengan jawaban Ibuku, aku langsung berbicara dan tidak memikirkan apa yang kukatakan.

Tertegun oleh jawaban anaknya, Sarah mulai tertawa dan mengikutinya adalah sekelompok pelayan yang juga ikut tertawa.

"Hahaha."

"Hahaha."

"Hahaha."

Sialan. Itu memalukan. Melihat Ibu dan sekelompok pelayan tertawa terbahak bahak membuatku ingin menemukan lubang dan bersembunyi di dalamnya.

Dan yang menjengkelkannya adalah ketika aku melirik Sylvia aku melihatnya tersipu. Hei, hei, hei. Apa-apaan kamu ini, di mana wajah pokermu. Di mana karaktermu yang selalu tidak peduli itu.

Dan kenapa sistem yang selalu menggangguku ini diam. Di mana suara menjengkelkan ini, bukankah kamu seharusnya mulai menggangguku dengan suara bisingmu, apakah ini bentuk lain dari bully.

Menepuk dadanya, Sarah tersenyum dan melambaikan tangannya. "Baik, baik. Tenangkan dirimu, dan mulailah bekerja."

Sekelompok pelayan itu mulai mengangguk satu demi satu, melirik Narai untuk terakhir kalinya mereka melanjutkan pekerjaannya.

Menatap anaknya dengan penuh senyum, Sarah berkata. "Bukannya Ibu tidak ingin, tapi Ibu tidak bisa."

"Kenapa." Dengan betapa lancarnya pembicaraan ini membuatku tidak siap. Karena sejauh yang aku tahu sangat sulit meyakinkan Ibu jika Ibu sudah memutuskan sesuatu. Karena itulah aku tidak memikirkan ucapanku dan menyebabkan lelucon tadi terjadi, sekarang bagaimanapun juga membuatku bingung.

Sarah menundukkan kepalanya dan menatap lembut anaknya. "Ibu khawatir dengan masa depanmu."

Huh. Apa hubungannya pelayan dengan masa depanku. Menatap Ibu, aku bertanya-tanya apa maksudnya.

"Hmph. Lihatlah Kakak tertuamu, dia hampir lulus tapi dia tidak bisa memberikan Ibumu seorang menantu yang dia pikirkan hanya pedang, pedang dan pedang. Apa dia pikir pedang bisa memberi Ibumu seorang cucu." Mendengus kecil, Sarah merasa jengkel ketika memikirkan anak tertuanya. Apakah dia pikir memasukkan pedang ke sarungnya akan menghasilkan seorang anak.

Serius. Bu, kamu sedang berbicara dengan anak yang usianya belum genap tujuh tahun tentang memiliki cucu. Apakah kamu tidak khawatir tentang masa depanku lagi.

Mmm!? Tunggu dulu, jika dipikirkan lebih dalam lagi... tidak mungkin Ibu menjualku kan. Melirik bolak-balik antara Ibu dan Silvia, aku menguatkan diriku bahwa tidak mungkin Ibu menjualku. Yap benar, tidak mungkin ada seorang Ibu yang tega menjual anaknya sendiri.

Ketika aku merasa lega dari sudut mataku secara kebetulan aku menemukan Kakak tertuaku tersandung dan hampir tersungkur. Sepertinya Kakak tertua baru saja lewat dan mendengar apa yang Ibu katakan. Menatap kasihan padanya, aku melihatnya pergi dengan sisa rasa malu di wajahnya, dalam hati aku pikir ini pasti berat baginya.

"Dan lebih buruk lagi, Kakak keduamu ini benar-benar membuat Ibumu sakit kepala. Berulang kali aku memergokinya sedang mengintip dan beberapa penjaga di kota juga melaporkan situasi yang serupa." Sarah memijat pelipisnya dengan tangannya, bertanya-tanya darimana anaknya belajar sesuatu seperti itu.

Menundukkan kepala, aku berteriak dalam hati. Sialan... jadi ini sebabnya beberapa bulan terakhir dia selalu hilang entah kemana. Kenapa dia tidak mengajakku, *uhuk* maksudku kenapa dia selalu meninggalkan aku sendirian. Dan bagaimana mungkin Kakak keduaku menjadi seperti ini, seingatku dia dulu tidak seperti ini.

Huh! Ini tidak mungkin karena kejadian setahun yang lalu kan. Yah, waktu itu aku memang mengajaknya ke danau yang ada di hutan dekat mansion dan secara tidak sengaja mengintip beberapa wanita yang sedang mandi di sana.

Karena kejadian itu, aku sering memaksanya ke danau. Dan disini aku bertanya-tanya di mana orang yang sering menolak ajakanku karena alasan bahwa itu bukan perbuatan baik.