Mengambil kartu, aku melihatnya berwarna ungu dan aku juga tidak tahu terbuat dari bahan apa kartu ini.
Memainkan kartu, aku menatap Kakak dan bertanya. "Untuk apa kartu ini Kak."
"Oh, itu untuk menyimpan uang." Mengambil kartu dari Adiknya, Arne menunjukkan cara menggunakannya. "Masukkan energi sihirmu, kemudian kamu akan melihat apa yang ada di dalamnya. Lalu bayangkanlah kamu mengeluarkannya."
Melihat koin perak tiba-tiba muncul dan menghilang di tangannya, aku kagum dengan apa yang terjadi.
"Jika ingin memasukkan uang, lakukan sebaliknya."
Mengembalikan kartunya, Arne berkata. " Kartu ini bisa menyimpan sampai satu juta koin perak, atau yang sebanding dengannya tapi itu hanya berlaku untuk uang."
"Oh, kamu memberikannya padaku Kak." Mengambilnya kembali, aku bertanya pada Kakak.
"Aku berjanji membelikanmu pedang, tapi Kakakmu ini sibuk saat ini, karena lusa aku dan Kakak pertama akan pergi ke Akademi Sihir." Arne memandang Adiknya dengan tatapan maaf. "Jadi kamu harus membelinya sendiri."
"Bukankah pendaftaran Akademi Sihir masih beberapa bulan lagi Kak." Ini masih beberapa bulan dari tahun baru, dan pendaftaran akademi seharusnya dimulai tepat di awal tahun.
Menatap heran pada Adiknya, Arne menjawab. "Bukannya Ayah sudah menjelaskannya kemarin."
Mengusap kepala, aku tertawa kecil. "Aku lupa."
Memutar mata, Arne menjelaskan. "Ayah ingin aku terbiasa dengan suasana akademi, jadi dia menyuruhku untuk ikut bersama Kakak pertama kembali ke akademi."
Merasa sudah cukup, Arne berkata. "Itu saja. Kamu bisa membeli pedang sendiri." Melirik Sylvia, Arne melanjutkan. "Kamu juga ajak Sylvia, dia belum lama tinggal di sini."
Arne mendekati Adiknya dan berbisik. "Adik, kamu beruntung sekali, aku dan Kakak pertama tidak memiliki pelayan pribadi apalagi seorang gadis sebagai pelayan pribadi, jadi manfaatkan waktumu dengan baik."
"Nikmati waktumu." Arne pergi sambil memandang Adiknya lalu ke Sylvia, dan tertawa sedikit mesum.
Hei hei hei, tidak bisakah kamu menutupi tawa mesummu, di sini ada seorang gadis. Baru kali ini aku tahu kalau Kakakku yang biasa bermain denganku ternyata mesum, dan usianya baru sebelas tahun, memikirkan ini aku sedikit khawatir bagaimana jika dia sudah dewasa, akan jadi seperti apa dia.
Melirik Sylvia aku menyadari dia tidak terkejut dengan perilaku Kakak kedua, terbukti dia mengenal baik Kakak kedua dan mungkin dari seluruh keluarga hanya aku yang tidak tahu siapa Sylvia.
"Tuan Muda, pelayan ini tahu bahwa dia menarik jadi bisakah kamu hentikan tatapan matamu itu." Sylvia menatap lurus mata Tuan Mudanya dan sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis di wajahnya.
Melihat senyuman di wajahnya aku membeku rasanya seperti seluruh dunia memberkatiku. Bahkan aku melihat di sudut mataku bunga-bunga di taman mulai bermekaran dan mereka bergoyang-goyang seolah terberkati dengan senyumannya.
Ya Tuhan, seorang femme fatale. Dia sejatinya seorang femme fatale, di usianya yang sekarang tidak ada keraguan pria dewasa pasti terpesona oleh senyumannya. Dan ketika dia dewasa, aku yakin sekali banyak pria yang akan berbondong-bondong kepadanya bahkan jika dia menyuruh mereka melompat ke tebing mereka pasti akan melakukannya.
Dan ketika aku masih merenungkan bagaimana mempesonanya Sylvia ketika dewasa, aku mendengar suara yang paling kubenci dalam hidupku.
*Ding* [Poin pengalaman Skill Rendahan bertambah]
Hah!? Tunggu dulu. Apa-apaan ini, kenapa moralitasku dipertanyakan ketika aku tidak melakukan apapun. Tiba-tiba sebuah kesadaran melintas di kepalaku, menengok ke samping aku melihat senyuman yang masih terpampang di wajahnya dan seketika aku merasa tubuhku tersambar petir.
Tidak mungkin. Tidak, tidak, tidak. Semua ini tidak mungkin nyata, sama sekali tidak mungkin. Ini sejatinya tidak mungkin, semua ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin aku... sebenarnya seorang lolicon... aku... seorang lolicon... lolicon....
Memikirkan kemungkinan yang terjadi, aku merasa seluruh martabat dalam hidupku tidak berarti lagi.
Aku tidak menolak bahwa aku terpesona karena aku yakin pria dewasa juga tidak bisa menolak pesonanya. Tapi itu satu hal jika aku mengakui terpesona, dan bagaimana mungkin aku mengakui bahwa... bahwa... bahwa aku adalah lolicon. Itu tidak mungkin, pasti ada yang salah di sini.
"Oh. Pelayan ini senang karena Tuan Muda terpesona olehku, tapi pelayan ini meminta maaf harus menolakmu terlebih dahulu." Seolah terkejut Tuan Mudanya akan terpesona karenanya, Sylvia membungkukkan badannya ke depan.
Sialan. Dia pasti sengaja melakukannya. Tidak mungkin aku jatuh cinta padanya dan apa-apaan dia, aku yakin sekali dia melirik bagian bawahku, dia pasti mengejekku.
"Ehem. Tidak perlu khawatir, masih terlalu dini bagimu untuk bisa membuat Tuan Mudamu ini terpesona." Melirik tubuh datarnya aku menyindir dan melanjutkan pencarianku.
Masih seperti sebelumnya gadis pelayan itu mengikutinya tapi tanpa Narai sadari suasana Sylvia sepertinya berubah seolah dia bahagia karena sesuatu.
...
Menyelusuri lorong mansion, aku menggerutu dalam hati, bagaimana mansion ini bisa begitu besar ketika orang yang tinggal di dalamnya hanya beberapa orang saja. Apakah orang yang membangunnya tidak tahu itu melelahkan untuk mencari orang di tempat yang begitu besar ini.
Terlebih lagi suara-suara ini sangat menggangu tidak bisakah suara-suara ini menghilang saja.
*Ding* [Poin pengalaman Skill Melangkah +1]
*Ding* [Poin pengalaman Skill Melangkah +1]
"Tuan Muda bisakah kamu duduk diam di ruang saja, ini mulai panas di sini."
"Tuan Muda mengapa kamu berjalan sangat cepat, ini melelahkan untuk berjalan seperti ini."
Menyertai suara sistem, suara merdu terdengar di telingaku tapi bukannya menenangkanku ini malah seperti sebuah kutukan untukku.
"Kamu bisa berhenti mengikutiku jika kamu ingin." Jengkel dengan semua suara mengganggu, aku berhenti dan melambaikan tanganku agar dia berhenti mengikutiku.
"Mohon maaf Tuan Muda, tapi ini sudah menjadi tugasku untuk selalu mengikuti Tuan Muda kemanapun Tuan Muda pergi." Sylvia membungkuk ke depan sebagai permintaan maaf, tapi bukan permintaan maaf yang kurasakan ini seperti ejekan yang aku terima.
"Tapi aku tidak ingin." Mengerucutkan bibir, aku menggerutu pelan tidak mencoba menyembunyikannya dari Sylvia.
"Kalau begitu terima kasih atas pujiannya Tuan Muda." Meletakkan kedua tangan di dada, Sylvia menatap Tuan Mudanya seolah tersentuh oleh perkataannya.
"Aku tidak sedang memujimu!" Meletakkan tangan di dada, aku menarik napas dalam-dalam mencoba menenangkan diriku.
Tenanglah.. semuanya akan baik-baik saja, segalanya tidak akan berakhir lebih buruk lagi.
*Ding* [Poin pengalaman Skill Ketabahan bertambah]
*Ding* [Skill Ketabahan naik level]
Mendengar suara sistem, aku merasa kedutan di hatiku. Lupakan, yang terpenting aku harus menyingkirkan pelayan ini. Meliriknya, aku yakin sekali kehadirannya saja sudah cukup membuatku jengkel.
"Tuan Muda, pelayan ini pasti akan mengikutimu kemanapun Tuan Muda pergi." Menatap mata Tuan Mudanya, Sylvia berkata dengan tenang.
Hah! Apakah dia tahu apa yang aku pikirkan. Melihatnya terus menatap lurus ke arahku, aku memalingkan wajahku.
Mencoba meluruskan suasana, aku bertanya. "Kamu tahu di mana Ibu?"
"Beliau berada di ruang kerja."
"Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal." Menatap wajah pokernya, aku merasa jengkel.
"Tuan Muda tidak bertanya." Melirik ke arahnya, Sylvia menatapnya sekilas seolah ada maksud tersembunyi dari tatapannya.
Emm, perasaanku saja atau dia tahu aku sedang mencoba menyingkirkannya. Sial, aku berurusan dengan wanita yang merepotkan. Singkirkan, hanya satu yang ada di benakku yaitu singkirkan dia dan menjauh sejauh mungkin darinya.
Ketika pikiran itu melintas di benakku dari sudut mataku aku melihat pelayan yang sedang berjalan dengan tergesa-gesa, spontan aku langsung menghentikannya. "Tunggu."
"Ada yang bisa kubantu Tuan Muda ketiga." Menghentikan langkahnya, pelayan itu mendekat dan membungkuk ke arahku.
"Kamu tahu di mana Ibu." Aku melambaikan tanganku mengisyaratkan agar dia tidak perlu etiket sopan santun.
Mengangguk mengerti, pelayan itu menjawab. "Nyonya sekarang berada di ruang tamu."
"Oh. Terima kasih, kamu mungkin bisa melanjutkan pekerjaanmu."
Menganggukkan kepalanya, pelayan itu memohon diri dan meninggalkanku dengan Sylvia.
Menatap matanya, aku menyindirnya. "Serius, ruang kerja. Wow, lihatlah pelayan ini kejujurannya sampai membutakan mataku."
Membungkukkan badannya, Sylvia berkata. "Terima kasih atas pujiannya Tuan Muda. Dan tadi pagi beliau memang berada di ruang kerja."