Chereads / Dunia Kelabu / Chapter 3 - Gadis Pelayan

Chapter 3 - Gadis Pelayan

Burung-burung berkicauan, sinar matahari terasa sedikit menyengat. Meskipun demikian itu tidak menghentikan manusia untuk beraktivitas, terutama di kediaman Keluarga Lloyd. Para pelayan bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan pekerjaan mereka, seperti menyiapkan makanan, membersihkan kediaman, dan berpatroli di sekitar kediaman meski itu tindakan yang tidak perlu. Namun semua itu tidak berpengaruh padaku, aku masih berbaring di tempat tidur menyelimuti diri sendiri sembari menikmati mimpi indah.

"Tuan Muda." Sebuah suara merdu memanggilku mencoba menarikku dari mimpi indahku." Ayo bangun, ini hampir siang."

"Ugh, sebentar lagi. Lima menit lagi." Melambaikan tangan, aku menarik selimut, mencoba untuk tidur.

"Baik, aku akan menunggumu lima menit lagi." Suara merdu itu menanggapi lagi.

Dengan tidak ada yang menggangu aku tidur dengan pulas, tak lama kemudian lima menit berlalu.

"Tuan Muda, ayo bangun lima menit sudah berlalu." Dengan datangnya suara itu, sebuah tangan menyentuhku dan menepuk tubuhku dengan lembut.

"Baik, baik. Aku akan bangun." Mengusap mata, aku mencoba duduk dalam keadaan setengah sadar.

"Rentangkan tanganmu ke atas." Suara itu datang lagi.

Dengan keadaan setengah sadar, aku menuruti permintaannya. Aku merentangkan kedua tanganku ke atas, dan secara mengejutkan bajuku dilepaskan olehnya.

Kaget, aku menjadi sadar dan memandang ke depan. Di depanku berdiri gadis yang sangat cantik, dia memiliki rambut sebahu berwarna zamrud, matanya juga berwarna zamrud tetapi jika kamu melihat ke dalam matanya kamu akan merasa seperti dibawa ke sebuah hutan, dikelilingi dengan tumbuhan-tumbuhan, segala keletihan dan kesuramanmu hilang di bawah tatapan matanya.

Melihat sosoknya, dia terlihat seperti seumuran denganku, dan meski dia memakai pakaian pelayan yang menutupi tubuhnya tapi aku langsung tahu bahwa dia pasti akan menjadi kecantikan yang mempesona ketika dia dewasa.

Tidak terganggu dengan tatapanku, dia gadis pelayan melipat pakaianku yang sudah dilepaskannya dan kemudian memandang ke bawah, melihat celanaku dan mengulurkan tangannya.

"Tunggu, tunggu, tunggu. Apa yang kamu lakukan." Aku terkejut dengan tindakannya dan langsung melompat ke belakang. Kamu tahu meski secara fisik aku masih anak-anak, tetapi secara jiwa aku bukan. Dan bukan hanya itu, tidakkah dia malu jika melihat tubuh lawan jenisnya.

"Melepas celanamu." Dengan tidak adanya perubahan pada wajah, gadis pelayan itu maju dan mengulurkan tangannya sekali lagi.

"Tunggu dulu! Berhenti." Mengulurkan tangan sebagai isyarat untuk berhenti, aku memandangnya dan berkata. "Tidakkah kamu malu melihat tubuh lawan jenis."

"Sebagai pelayan itu sudah menjadi tugasku untuk melakukannya." Dengan wajah poker, gadis pelayan itu berkata dengan mudahnya, kemudian dia melihat ke atas dan ke bawah padaku. "Selain itu aku tidak tertarik pada anak kecil."

Sialan, dia merendahkan aku apalagi aku melihatnya melirik yang di bawah saat mengatakan itu.

Melihat gadis pelayan itu masih mengulurkan tangan, aku menepisnya dan mengambil pakaian gantiku. "Aku akan melakukannya sendiri."

Memegang celana aku bersiap menurunkannya. Tapi saat memandang ke atas, aku melihat dia masih menatapku. Tunggu dulu, apakah dia akan melihatku setelah apa yang kukatakan tadi.

"Bisakah kamu berbalik, aku butuh privasi di sini." Berhenti menurunkan celanaku, aku mengisyaratkan dengan tanganku agar dia berbalik.

"Heh.." berbalik, gadis pelayan itu mencibir padaku.

"Tunggu dulu! Apakah tadi kamu mengejekku." Kaget dengan tindakan gadis pelayan ini, aku bertanya-tanya dari mana asalnya pelayan ini, dia bahkan berani merendahkan aku.

"Tuan Muda kamu pasti salah." Gadis pelayan itu menjawab dengan santai.

"Aku melihatnya dengan mataku sendiri." Menurunkan celana, aku kemudian berpakaian.

"Kamu salah Tuan Muda." Dengan tubuhnya membelakangiku dia masih menjawab dengan santai.

Aku berpikir dalam hati, gadis pelayan ini bahkan bisa berbohong dengan tenang. Sepertinya aku harus belajar darinya. "Kamu bisa berbalik sekarang."

Gadis pelayan itu berbalik, melirik ke bawah dan mencibir lagi.

"Lihat!" Menunjuk dengan tangan, aku kaget dengan keberaniannya dan berkata. "Kamu mengejekku lagi."

Menutup mulut dan membungkuk ke depan, gadis pelayan itu berkata. "Maaf Tuan Muda, itu adalah reaksi tubuhku."

"Apa-apaan. Apakah ada reaksi tubuh seperti itu." Memandang gadis pelayan itu, aku menunjuk dia. "Selain itu lihat dirimu sendiri, kamu tidak berbeda dengan aku. Yang aku lihat hanya dataran rendah."

Menutup dadanya dengan tangan, gadis pelayan itu menatapku dan berkata. "Tuan Muda itu pelecehan seksual."

"Jadi itu pelecehan seksual jika aku yang mengatakannya dan bukan jika kamu yang mengatakannya." Meringis, aku memaki dalam pikiranku. Sialan, gadis pelayan ini bahkan pintar mengelak, sepertinya selain parasnya yang cantik dia juga memiliki mulut yang lihai. Tapi yang lebih menjengkelkan, dia sampai sekarang masih mempertahankan wajah pokernya, aku tidak melihat ekspresi lainnya selain cibiran di wajahnya.

"Tuan Muda itu tidak baik memaki orang di belakang punggungnya." Gadis pelayan itu dengan santai melirikku dan kemudian merapikan tempat tidurku.

"Tekanan darahku akan naik jika terus berbicara denganmu." Menyaksikan dia melakukan pekerjaannya, aku menyampaikan apa yang ada di pikiranku.

Masih melakukan tugasnya, gadis pelayan itu menjawab. "Tenang saja Tuan Muda, pelayan ini sudah menyiapkan segalanya."

Menutup wajah dengan tangan, aku mengambil nafas dalam-dalam. Tenang kawan, tenang... segalanya tidak akan menjadi lebih buruk lagi. Dan seperti menjawab doaku, suara sistem terdengar di benakku.

*Ding* [Selamat Host telah mempelajari Skill Ketabahan]

...

Keluar ruangan, aku melihat langit dan bertanya-tanya apakah semuanya akan menjadi lebih buruk mulai dari sekarang. Tiga hari lalu, aku masih bersyukur bahwa aku memiliki kesempatan kedua untuk hidup, lalu dua hari sebelum ini aku masih bisa untuk tetap bersyukur meskipun sistem memberiku skill yang menjengkelkan. Sekarang aku memiliki seorang pelayan yang bahkan lebih menjengkelkan dari itu apalagi dia selalu mengikutiku, aku bertanya-tanya apakah aku harus bersyukur atau tidak.

Melihat ke samping, aku memandang wajahnya, jika saja dia bisa diam dan tidak membuka mulutnya mungkin semuanya akan lebih baik.

Dan seperti menegaskan pikiranku, gadis pelayan itu berkata. "Tuan Muda jika kamu terus melihatku, itu akan menjadi pelecehan seksual."

Mengalihkan pandangan ke langit, aku menghela nafas dalam hati, dia bahkan berani menghinaku apalagi jika dibandingkan sikap tidak sopannya terhadapku.

*Ding* [Poin pengalaman Skill Ketabahan bertambah]

Ini lagi, tidak bisakah aku merasakan ketenangan. Memandang ke samping aku berkata, "bisakah kamu tidak mengikutiku."

Menatapku dengan wajah pokernya, dia menjawab. "Itu tidak mungkin Tuan Muda."

Berjalan menyusuri lorong, aku berusaha sebaik mungkin untuk bersabar. Suara pemberitahuan sistem, seorang gadis pelayan, dan suara yang memanggilku, semuanya sangat menjengkelkan. Tunggu, siapa yang memanggilku, berbalik, aku melihat Kakak Arne yang menghampiriku.

"Narai. Kebetulan sekali kamu ada di sini, aku berniat mencarimu." Berdiri di depan Narai, Arne menyapa Adiknya dan melihat dia tidak sendirian." Oh, bukankah ini Sylvia."

Membungkuk ke depan sebagai salam, Sylvia si gadis pelayan menjawab. "Tuan Muda kedua."

Arne melambaikan tangan, dan berkata, "tidak perlu sopan, bertindak seperti biasanya saja."

Sylvia mengangguk sebagai jawaban, dan tetap diam di tempat.

Oh, jadi gadis pelayan ini bernama Sylvia. Tunggu dulu, aku yang merasa aneh atau memang Kakak sudah tahu siapa dia.

"Emm, Kakak. Dia?" Memutuskan untuk bertanya, aku melirik Sylvia saat bertanya.

"Oh, Sylvia?" Melirik Sylvia, Arne kemudian memandang Adiknya dan tertawa penuh senyum. "Hehehe. Begitu jadi kamu belum tahu."

Melihat Kakak tertawa, aku bertanya-tanya apa ada yang salah dengan kepalanya. Aku bertanya karena belum tahu, jadi tidak bisakah kamu berhenti tersenyum dan memberitahuku. Dan ini perasaanku saja atau memang senyumannya sedikit mesum.

"Oh, benar." Menepuk kepalanya sendiri, Arne mengeluarkan kartu dan memberikannya pada Narai. "Ini untukmu."