"ENRICKO!!!"
Marseille mengarahakan tatapan tajam pada Weylyn.
"APA YANG LO LAKUKAN HAH?!"
"Saya.. saya.. Cuma ingin membunuhnya! Dia sudah menyebabkan adikku Debyl menjadi cacat!"
"TAPI TIDAK DENGAN LO BERI DIA DOSIS SETINGGI ITU!!!" Bentak Marseille.
Keiser dan DeLeon yang panik langsung menggulingkan Keiser menyamping agar ia tidak tersedak liurnya sendiri. DeLeon dengan sigap berlari menuju ruang pengobatan untuk mengambil obat anti kejang.
Keadaan disana dangat kacau. Setelah beberapa menit mereka menunggu, DeLeon kembali dengan salah seorang perawat wanita yang membawa jarum suntik berisikan obat anti kejang. Tak butuh waktu lama, sang perawat menyuntikkan obat tersebut.
Keiser memijat pelipisnya dan menatap Weylyn,"Lo bunuh dia, kasus kita nggak bakal tuntas. Ingat, yang punya makhluk itu bukan hanya dia.. dan dia adalah informan terbaik karena dekat dengan tersangka. Ada banyak kasus dengan makhluk yang sama kini menyebar sampai Amerika."
Weylyn tak mengindahkan perkataannya, ia justru diam-diam meremat tongkat sihirnya dan mengacungkannya pada Enricko yang tengah pingsan.
"NEBULA!"
"Opstructio!!"
Sebelum Weylyn mengenakan spellnya pada Enricko, Marseille sudah lebih dulu dengan tongkat sihir emasnya membuat spell barier yang melindungi mereka.
"Penjaga! Tahan dia! Jangan biarkan dia lolos."
Weylyn langsung disergap oleh ketiga bodyguard tadi. Salah satu bodyguard mengeluarkan spell pengunci yang membuat Weylyn tak bisa bergerak.
Sementara Keiser, DeLeon dan perawat tadi menggotong Enricko menuju ruang yang lebih aman.
Setelah 2 jam menunggu. Akhirnya Enricko siuman. Ia disambut dengan permintaan maaf oleh Marseille dan Keiser sebanyak sepuluh kali. Jujur saja kupingnya terasa panas mendengar permintaan maaf mereka, namun ia masih mendengarkan penjelasan Keiser mengenai apa yang terjadi, namun tidak semuanya. Kepalanya sangat pusing.
"Jadi gimana dengan asisten anda?" tanya Enricko basa-basi.
"Kami memenjarakannya tenang saja. Kamu nggak akan ketemu dia lagi. Sekali lagi saya minta maaf.. Entah kenapa dia bisa beri dosis setinggi itu.. padahal dia adalah salah satu asisten kepercayaan saya.."
Enricko mengangguk, tak tahu sampai kapan permintaan maaf akan keluar dari mulut Sir Marseille. Enricko tak ingin memikirkannya.
"Kamu bisa istirahat saja dulu.. setelah itu kamu bisa ngobrol dengan saya lagi nanti, tenang... kami hanya ingin membantu masalahmu dengan Black."
Kini hanya Keiser dan Enricko yang ada di ruangan. Keiser mengamatinya lamat-lamat. Raut kasihan sedikit terpancar pada wajahnya.
"Sejahat itukah teman-teman lo?"
"hah?"
"Sejahat itukah mereka?" Tanya Keiser. Enricko terdiam. Apakah ia baru saja menceritakan sejarah kelamnya bersama kedua sahabatnya itu? Kejahatan yang dibalut dengan perjanjian persahabatan. Ikatan yang mengorbankan tubuhnya untuk dijadikan bahan eksperimen mereka. Tanpa sadar air mata mulai menetes dari netra hazelnya.
Keiser hanya duduk sembari menatapnya. Enricko mencoba untuk menahan tangisnya namun tak bisa.. karena kata-kata itu bagaikan jackpot yang langsung mengenai hatinya.
"Kenapa sih.. lo mau diperbudak sama mereka? Jadi kelinci percobaan.. kenapa lo nggak cari teman lain yang lebih pantas untuk lo?"
Tangisan Enricko semakin kencang, namun Keiser biarkan,"Kenapa lo harus mengorbankan diri lo sendiri buat mereka? Kenapa?"
Namun disela sesenggukan Enricko hanya menjawab,
"Karena mereka satu-satunya teman yang saat itu hanya bisa gue percaya dan bisa membuat gue punya kekuatan.. agar gue nggak lagi dibuli sama teman-teman gue waktu sekolah..."
"kenapa lo peduli?" Tanya Enricko, Keiser menghela nafas. "Lo sadar nggak sih lo itu punya gangguan paranoid dan kecemasan berlebih? No denial, selama ini gue membujuk lo karena ada suatu masalah yang melibatkan lo disini.. sebuah masalah besar, untuk itu gue mau menjadikan lo saksi atas tindak kejahatan mantan teman lo itu."
"Masalah besar?"
"Jangan bohong sama gue.. gue tahu lo sebenarnya bisa mengendalikan Black, tapi lo pura-pura nggak tahu."
Enricko membisu, tak meng-iyakan atau menyangkal perkataan Keiser. Keiser yang tak mendapatkan jawaban semakin yakin apa yang ia katakan itu benar.
"Kalau iya, apa yang bakal lo semua lakukan ke gue? Apa lo akan bunuh gue?"
"Kalau itu lo harus bicara dengan Marseille terlebih dulu. Karena Marseille yang memutuskan itu, bukan gue. Gue hanya membantu lo untuk yang terbaik."
Enricko menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Kalaupun ia mati, tak ada ruginya. Ia sudah lelah hidup. Dia sudah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri saat insting Black mengambil alih tubuhnya dan menghabisi orang-orang yang tidak bersalah. Ia pun tak menjamin semua ingatannya itu benar karena Black bisa memanipulasi memorinya. Mungkin mati memang pilihan terbaik.
Marseille kembali menjenguk Enricko yang masih terinfus. Ia rencananya akan dipindahkan ke rumah sakit terdekat agar bisa dipantau.
"Enricko, kamu saya pindah ke rumah sakit biar bisa dipantau dokter apa tidak masalah?"
Enricko mengangguk, tak mau juga ia berlama-lama disini. Yang ada ia merepotkan Sir Marseille dan yang lainnya.
Tak butuh waktu lama, dirinya sekarang berada di rumah sakit Montreal Neurogical Institute. Sir Marseille memesankan kamar yang lumayan luas, ada tempat tidur tamu dan dapur. Tak tahu bagaimana ia harus berterimakasih pada Sir Mareseille.
"Pulihkan dulu kondisimu, setelah itu kita bisa bicara lagi.." Kata Marseille sebelum pergi. DeLeon berpamitan pada Keiser dan Enricko.
"Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungin gue." Katanya sebelum menutup pintu.
.
.
.
.
.
"Kei.."
"Apaan?"
"Gue laper.."
"Mau makan apa lo?"
"Daging."
"Daging apaan? Sapi? Ayam? Mau masak apa?"
"Mentah."
"HAH?!"
Keiser membelalak matanya. Tunggu dulu.. ia tidak salah dengar kan?!
"Lo bilang apa tadi?"
"Daging mentah."
"Jangan becanda lo! Kalo nggak, nggak bakal gue belikan makan."
"Emang muka gue kelihatan lagi becanda?" Tanyanya. Raut wajah Enricko seperti sudah menahan lapar selama seminggu.
"Oke-oke gue beliin, tapi lo harus beneran makan!"
"Yaudah cepetan sana pergi."
Dengan agak kesal, Keiser mengecek isi dompetnya lalu keluar pintu kamar.
Beberapa menit setelah Keiser pergi. Seseorang mengetuk pintu. Enricko tak tahu siapa yang berkunjung hanya menyuruhnya masuk.
Kriet
"Elyon?!"
"Enricko, katanya lo sakit? Jadi gue mampir kesini buat jenguk lo.."
"Siapa yang ngasih tahu kalau gue sakit?"
"Keiser. Tapi lo kelihatannya udah mulai pulih tuh.. walaupun masih lemah."
Ruangan seketika hening. Elyon hanya berjalan mendekati jendela untuk melihat pemandangan luar.
"Gimana diskusi lo sama Marseille?" Tanya Elyon sembari mengeluarkan sekaleng red bull dari kulkas. Anehnya rumah sakit menyediakan minuman seperti itu fikir Enricko.
"..nggak berjalan sesuai rencana.." cicitnya.
"Oh ya?"
"Well, gue relapse ditengah diskusi.. karena satu dan lain hal. Salah satu asistennya mencoba buat gue overdosis tapi gagal."
"hm.. gitu ya.."
"kalau memang ada sesuatu yang mentrigger lo, berusahalah untuk tenang.. jangan bergantung pada obat. Lo bisa cepat mati kalau ketergantungan terus."
"Memang gue pengen cepet mati."
"Nggak boleh gitu, lo dikasih hidup itu tanda lo harus menikmatinya selagi lo bisa menarik nafas. Bayangkan mereka yang mati ingin hidup lagi agar bisa merasakan nikmatnya hidup."
"Bukannya sekarang ada sihir necro revival yang bisa membangkitkan orang mati?"
"Itu hanya sihir Enricko.. lo nggak tahu seberapa luas dan misteriusnya dunia ini. Di alam semesta.. banyak hal yang belum kita ketahui.. jadi janganlah berspekulasi seperti itu dulu."
Enricko mengangguk, mungkin dengan sihir necro revival.. saat ia mati, bisa saja Zinedine dan Christian membangkitkannya dan membuat dia sengsara lagi.
Red bull yang tadinya berisi setengah kini sudah habis dan ia buang di bak sampah.
"Sudah dulu ya? Besok-besok gue kesini lagi."
"Makasih yon buat kunjungannya."
Elyon mengangguk seraya Raganya menghilang dibalik pintu.
Jam menunjukkan pukul 4 sore. Enricko hanya diam di kasur dengan infus di tangan sedang bosan menggonta-ganti channel tv. Menurutnya tak ada yang menarik. Sampai sebuah pintu terbuka menampilkan Keiser dengan sebuah plastik berisi dua buah daging segar yang ia beli di market terdekat.
Keiser menaruh daging tersebut di sebuah piring, darah segar masih menetes dari daging beserta uratnya. Enricko dengan penciuman yang tajam bisa mencium bau darah daging itu. Ia mulai menelan liurnya.
"Nih makan."
Keiser menyerahkan seonggok daging mentah dalam piring beserta pisau dan garpu. Namun Enricko tak ambil pusing langsung mengambil daging sapi itu dengan tangan kosong dan memakannya dengan rakus. Terdengar suara geraman berat yang berasal dari Enricko saat ia mengunyah daging kenyal itu.
Keiser yang melihatnya serasa ingin muntah, apalagi bau darahnya yang masih segar tambah membuatnya mual.
"Gue ke kamar mandi dulu."
Terdengar suara bunyi muntahan dari kamar mandi. Enricko masa bodoh, yang penting ia bisa makan sampai kenyang. Saat ia sudah selesai menyantap dagingnya, ia bangkit dari kasur menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Begitu pula Keiser yang sudah keluar dari kamar mandi.
"Udah selesai?" tanya Keiser, Enricko mengangguk. Ia mengambil sebotol air mineral di nakas meja dan meminumnya. Keiser mulai membuka pembicaraan.
"Jadi lo selama ini ngga bisa makan makanan normal?"
Enricko mengangguk,"Setiap gue makan makanan normal, rasa lapar gue nggak pernah hilang.. jadi untuk itu setiap ada kesempatan gue mencari orang untuk dimakan."
OKay, ini informasi baru untuk Keiser.
"Ngomong-ngomong.. tadi Elyon dateng kesini."
"Hah?"
"Tadi Elyon dateng kesini." Ulangnya lagi. Keiser memasang tampang heran. Enricko jadi bingung.
"Kok muka lo gitu? Bukannya lo yang ngasih tahu dia ada disini?"
"HAH?!" Hanya itu yang bisa Keiser katakan.
"Gue nggak ada ngomong ke dia kalau lo disini!" Balasnya.
Enricko yang tadinya minum dengan tenang kini menyemburkan airnya.
"Lah kok dia bisa tahu?"
"Lo bohong ya?" Tanya keiser menyelidik. Enricko menggeleng cepat.
"Sumpah gue nggak bohong, demi tuhan! Tuh lihat, ada bekas kaleng red bull di bak sampah bekas Elyon minum tadi."
Keiser melirik bak sampah yang ada di samping ranjang Enricko dan benar saja, ada bekas kaleng red bull disana.
"Tadi dia ngambil itu dari kulkas."
Mendengar perkataan itu, mata Keiser makin melotot. Dengan wajah horor Keiser berujar.
"Rick, lo tahu nggak? Rumah sakit nggak pernah menyediakan red bull di dalam kulkasnya."
Dan malam itu, Keiser dan Enricko tak bisa tidur semalaman.