"Gimana? Semua udah siap?"
"Sudah, kalian tinggal naik aja ke lantai 3, ngomong-ngomong..." DeLeon melirik Enricko, Enricko tersenyum canggung.
"Lo Enricko ya? Salam kenal! Jangan canggung-canggung gitu.. walaupun gue sekertaris menteri lo bisa santai aja sama gue."
Enricko mengangguk ria, jantungnya berdebar kencang entah karena kopi atau bertemu orang ini.
"Dia udah nunggu di atas, ayo gue antar."
Mereka meninggalkan cafè dan beranjak menuju tangga. Isi bangunan di dalam terlihat seperti museum. Banyak patung-patung dengan berbagai gaya yang menyimbolkan berbagai makna. Lantai keramik yang terpoles licin sampai mengkilat membuat Enricko ragu untuk menjejakkan kaki di ubin mahal ini. Singkatnya, ia seperti masuk ke dalam istana sultan. Disana ia banyak menemukai para asisten yang berlalu-lalang dengan seragam yang berwarna cokelat tua senada.
Enricko dan yang lainnya menaiki tangga spiral yang super mewah berlapiskan emas. Saat tiba di lantai tiga, ia disambut dengan satu asisten wanita dan tiga pria berbadan kekar, sepertinya mereka adalah bodyguard.
DeLeon mengangguk pada si asisten dan membuka sebuah pintu mewah dengan ukiran abstrak berbau mahogani.
Sekelebat cahaya menyilaukan netranya. Tibalah mereka di ruangan kerja seseorang. Di hadapan mereka ada sebuah kursi yang membelakangi mereka sekaligus berhadapan dengan jendela lebar yang memperlihatkan pemandangan gedung.
"DeLeon, mereka sudah datang?" Ucap sang lelaki misterius.
"Sudah."
"Bagus."
Kini kursi itu berbalik, menampilkan pria muda dengan rambut blonde yang disisir kebelakang. Gaya busananya sangat classy dengan turtle neck dan jam rolex yang melingkari lengan kirinya. Netra emas berkilau kala ia menangkap sesosok Enricko yang bediri kaku. Ia tersenyum.
"Saya Marseille March, Menteri sihir Quebeq."
"Senang bertemu dengan anda Sir Marseille, saya Keiser Beckham."
"Saya Enricko Filla, sebuah kehormatan untuk bisa bertemu anda."
"Sebelum memulai topik pembicaraan kita, silahkan kalian duduk."
Mereka semua duduk di sebuah sofa lebar nan empuk. Sang asisten yang tadinya berada di depan pintu menghampiri mereka untuk menghidangkan segelas minuman, namun ditolak oleh Keiser karena mereka baru saja minum dari cafè tadi.
"Bagaimana kabar kalian? Baik kah?"
"Puji tuhan, baik.."
"Bagaimana dengan kamu Enricko?"
"Um.. baik?"
"Hahaha.. jangan grogi begitu, kita disini hanya berbincang-bincang saja kok."
"Hehe.. iya.."
"Jadi.."
"Hm?"
"Saya sudah bawa orangnya." Kata Keiser sambil menepuk bahu Enricko. Yang ditepuk bahunya kaget. Ada apa ini?
"Enricko.., ada beberapa hal yang harus kami bahas mengenai kamu.." Kata Marseille lembut. Sehati-hati mungkin ia berkomunikasi dengan Enricko. Karena menurut data, dia memiliki gangguan paranoid dan delusi sedang sehingga berbicara dengannya haruslah membuatnya nyaman.
"Kalau boleh tahu ada apa dengan saya?"
"Kamu punya kekuatan kan?"
Enricko mengangguk. Bagaimana semua orang selalu menanyakan kekuatannya? Ia jadi khawatir.
"Kalau boleh bisakah kamu ceritakan tentang kekuatanmu?"
"Okay, jadi saya bisa berubah wujud menjadi mahluk humanoid hitam yang bisa melelehkan dan menelan benda apapun, namanya Black. Dia adalah alter saya saat saya menjadi Black. Black adalah seorang yang liar. Kadang saya tidak bisa mengendalikan dia seluruhnya. Saya selalu meminum Valium dan menghisap ganja sampai saya mabuk dan itu adalah salah satu cara saya agar bisa menghilangkan suara Black dari fikiran saya."
"Saat itu saya masih kuliah semester 4 dan Black sudah ada di dalam tubuh saya semenjak awal saya kuliah."
"Gimana kamu bisa dapat kekuatan Black?"
"uh.. itu..." Enricko mencengkram erat lengan Keiser meminta diberi bantuan. Enricko tak yakin menumpahkan semua masa lalunya akan membuat mereka segan untuk bertemu dengannya. Namun, Keiser justru menepuk-nepuk punggung Enricko tanda menenangkannya.
"Tenang kok, kita nggak bakal judge tentang masa lalu kamu. Justru disini kami ingin membantu." Ucap Marseille memberi tatapan meyakinkan.
Enricko mulai keringat dingin, seluruh badannya bergetar. Ia sampai tergagu-gagu untuk bicara.
"Weylyn" Kode Marseille pada bawahannya. Sang perempuan mengangguk. Ia mengeluarkan sejumlah Valium dari jarum suntik dan langsung menyuntikkan obat tersebut ke intravena Enricko.
"Tenang Enricko, lo nggak kenapa-napa.. ada gue disini." Kata Keiser. Enricko berusaha melawan, tapi cengkraman Keiser membuatnya sedikit tak berkutik. Apa yang ia suntikkan tadi? Apakah sesuatu yang berbahaya?
"Enricko, itu hanya Valium dosis tinggi. Tidak perlu kamu khawatir."
Beberapa detik kemudian, Enricko mulai bisa mengatur nafasnya. Tubuhnya tak lagi bergetar dan merosot ke bawah sofa.
"Marseille kayaknya kita nggak bisa tanya dia lagi." Ucap DeLeon melihat kondisi Enricko yang setengah sadar.
"Ehehe..hehehe.." Enricko mulai tertawa tanpa sebab. Semua yang ada di ruangan terdiam.
"Enricko emang goblok, pengecut, sampah masyarakat dan bangsat." Tanpa sadar ia meracau sendiri.
"Gue sebenarnya menyesal telah menginjeksi dirinya sendiri dengan sel X yang membuat dia menjadi monster..."
"Sebenarnya, Zinedine dan Christian nggak memandang gue lebih dari sekedar kelinci percobaan. Mereka sebenarnya sudah memanipulasi tubuh gue untuk yang kesekian kalinya.. mereka pernah bikin gue hampir mati dengan mengambil jantung gue.. sebagai uji coba keabadian dan kaki tangan gue hampir buntung gara-gara mereka membuat percobaan untuk mengganti kaki gue dengan kaki kuda..
"...dan gue sebenarnya tahu.. sudah berapa banyak korban yang gue makan.. sudah berapa banyak gue menghancurkan kota montreal dan sudah berapa banyak gue kehilangan teman karena gue..HAHAHAHA!!!"
"Gue kesepian, untuk itu gue tetap bertahan meskipun mereka memanfaatkan gue.. tapi sekarang nggak lagi.. karena gue ada Black yang selalu memahami perasaan gue.."
"Black selalu ada di tubuh gue.. kita sudah menjadi satu, Black adalah gue.. dan gue adalah Black!"
"Black akan selalu mengambil alih fikiran gue dan gue akan penuhi kota ini dengan darah! Tidak hanya kota BAHKAN SELURUH DUNIA!!"
"Black nggak akan segan memanipulasi otak dan memori gue supaya berjalan dengan rencananya.."
"dan Kalian.. kalian nggak akan bisa menghentikan gue."
Ucap Enricko sebelum ia kejang-kejang dan pingsan.