Di lorong jalan gelapnya montreal. Enricko mencengkram dadanya yang sakit. Tak sadar air mata menetes dari pipinya. Ia tersandar dibalik dinding.
"Kenapa.. kenapa orang yang paling dekat dengan gue jadi begini.. hiks!..."
"Kenapa lo tega banget KENAPA!!!"
BUKKK!!
Ia tinju tangannya sampai berdarah. Hanya isakan yang terdengar di lorong itu.
"Ugh.."
Enricko terbangun di sebuah kamar tidur, ia terbaring di kasur empuk. Ia kaget, ini ruangan siapa? Ia dimana? Siapa yang membawanya kesini?
Rasa panik mulai menghantui dirinya. Enricko mencoba bangkit. Rasa sakit di jantungnya membuat ia mengerang kencang dan beringsut di kasur itu.
"Eh jangan bangun!" ucap sessorang menghampiri dirinya. Ia mencoba membantu namun tangannya ditepis oleh Enricko.
"Si..apa..lo.. kenapa..gue..disini.."
"Tenang.. lo baru aja pingsan di lorong jalanan. Sepi, dan udah tengah malem pula. Lo harusnya hati-hati. Gue bawa lo kesini takutnya lo bakal kenapa-napa."
"Kenalin.." pria asing itu mengulurkan tangannya.
"Gue Keiser, Keiser Beckham."
Enricko tak menjawab salamnya. Ia masih meringis memegangi jantungnya. Keiser yang tak dibalas salamnya cuma mendengus,"Dasar jutek."
Karena kasihan melihat Enricko yang kesakitan ia menyerahkan secangkir teh.
"Minum."
"Nggak."
"Ini teh bisa mengurangi rasa sakit lo."
"Nggak percaya gue."
"Yaudah, lo sakit derita lo." Kata Keiser nyeleweng pergi.
Ia harus kabur dari sini. Tapi apa daya? Tubuhnya sakit seperti diremuk-remuk. Ingin lari tapi bangkit saja susah. Ia hanya mengerjapkan mata dan menghela nafas.
Beberapa menit berlalu, sampai pintu kamar itu terbuka lagi, menampilkan lelaki dengan kacamata bersurai pirang beriris zamrud.
"Itu diminum dulu tehnya, lo lagi sakit kan? Sini gue ringankan sakit lo."
Lelaki itu menyentuh pelipisnya tanpa izin si empunya. "Lepasin gue-" kata-katanya terhenti kala rasa nyaman memenuhi kepalanya. Rasa aman dan tenang mulai timbul di benaknya, Enricko tak jadi berontak. Ia bahkan merasakan kantuknya kembali.
"Lain kali kalau ada orang mau membantu, biarkan mereka bantu lo. Lo nggak bisa menghadapi semua sendirian."
"Lo siapa?"
"Gue Elyon, Elyon ben Asher."
"Gue Enricko, Enricko Filla."
"Yang jelas lo harus istirahat sampai pulih. Jangan khawatir, kita nggak bakal ngapa-ngapain lo. Kita cuma mau ngerawat lo setelah itu lo boleh pergi kemanapun lo mau."
"Ma..makasih.."
"Hm?"
"Sorry.. gue-gue.. tadi nggak sengaja ngebentak temen lo."
Elyon tertawa,"Nggak papa kok.. Keiser orangnya santai. Entar juga dia nggak kesel lagi."
"Kalo boleh tahu lo siapa?"
"gue mahasiswa jurusan aerospace engineering di Universitas Concordia, kalo lo?"
Enricko tersipu, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue.. nggak kuliah.." Cicitnya. Elyon hanya tersenyum. "nggak papa kok lo nggak kuliah. Lo udah makan belom? Gue ambilin bubur ya?"
"Hehe.. ngerepotin nanti." Namun bunyi keroncong di perutnya membuat ia semakin membenamkan kepalanya di bantal. Elyon tertawa. "Makan ya? Gue ambilin." Enricko hanya mengangguk.
Beberapa menit berlalu, Elyon membawa semangkuk makanan beserta air mineral dalam nampan. Ia meletakkannya di meja.
Enricko makan dengan lahap sampai tak memperdulikan Elyon yang sedang mengamatinya.
"Enak bangeeet~ uhuk!"
"Minum! Makanya jangan buru-buru nanti tersedak."
Enricko yang tengah lahap mendengar Elyon berbicara,"Kalau lo merasa susah, dateng ke teman lo... bukan malah menyendiri di jalanan sampai pingsan."
Raut wajah Enricko yang tadinya cerah kini berubah jadi kecewa. "Gue.. nggak punya teman."
"Di dunia ini, delapan miliyar orang semua pasti punya orang terdekat.. termasuk lo, tapi lo yang nggak merasakannya."
"tahu darimana lo?"
"Lo sekarang bicara sama gue kan? Gue kasih lo tempat untuk istirahat bukan berarti karena sebatas lo orang yang butuh bantuan but you deserve our help."
"Kita manusia punya rasa empati kala melihat orang yang sedang kesusahan. Maka dari itu, lo harusnya bersyukur dimana ada orang yang masih mau bantuin lo."
Kata-kata itu bagaikan belati tajam yang menghunus tepat di hatinya. Tanpa sadar air mata menetes dari netra hazelnya. Piring kosong yang sudah habis terisi oleh titikan air mata.
Sehelai tisu disodorkan ke wajahnya, Enricko yang masih terisak menerimanya dengan senang hati. "Makasih.."
Elyon tersenyum,"Lo butuh waktu sendiri? Gue bisa keluar kalau mau."
"Makasih.."
Setelah Elyon keluar. Enricko hanya bisa berbaring sembari menahan isaknya.
"Gue cuma takut buat dimanfaatin, bahkan oleh sahabat gue sendiri."
Tanpa ia sadari, Elyon mendengar semua perkataannya hanya tersenyum penuh makna.
"What a pity."
"Gimana kondisi si brengsek? Gue kesel tahu, kalau aja dia nggak berkepentingan buat rencana kita udah gue bunuh dari tadi."
"Sabar Keiser."
"Gue nggak sesabar elo Yon, tuh anak parno nya udah kayak orang kena gangguan jiwa."
"Lo baikan dulu gih, gue males liat orang bertengkar di rumah ini."
"Males sih gue baikan sama orang kayak begitu.. tapi lo traktir gue ya?"
"Traktir mah gampang."
Saat Keiser membuka pintu, ia disuguhkan pemandangan Enricko yang melamun kearah luar jendela. Tatapan matanya kosong. Ia seperti ingin mati di tempat.
"Emang seberat itu ya masalah lo?"
"huh?"
"Lo melamun gitu, emang berat banget ya?"
"Enggak kok."
"Jangan bohong."
"Lo kalo ada masalah jangan dipendam sendiri, nanti lo jadi gila."
"Masa?"
"duh.. gue jurusan Psikologi disini. Jadi gue tahu gerak-gerik lo yang gelisah itu. Lo cuma butuh tempat yang aman untuk lo cerita karena lo itu orang yang terlampau waspada sampai nggak sadar lo telah menyakiti diri lo sendiri, semakin lo nggak cerita, gejala lo semakin parah, percaya gue."
Benar juga.. Enricko pikir. Ia sebulan ini menjadi paranoid setelah kehilangan Christian. Ia merasa tidak bisa mempercayai seorang pun. Untuk itu ia memendam masalah ini sendiri dan ia takut orang akan memanfaatkan kondisinya yang sedang tidak baik untuk menghancurkan orang lain ataupun dirinya sendiri.
"Apakah dengan gue cerita sama lo, semua masalah gue bakal kelar gitu?"
"Siapa yang ngomong kalau harus cerita ke gue?" Keiser yang ingin meminta maaf malah tidak jadi dikarenakan kejengkelannya semakin memburuk. Bocah ini tidak bisa diajak kerja sama. Ia beranjak ingin membuka pintu sampai sebuah suara menginterupsi.
"Gue adalah anak dari Yohanes dan Gabrielle. Sewaktu gue kecil gue selalu dibuli dengan orang-orang yang punya kekuatan super, mereka selalu jadiin gue babu, ngerjain pr mereka, belikan mereka makan, mereka suka mengolok-olok gue seakan gue badut yang ditakdirkan untuk jadi bahan guyonan mereka karena gue satu-satunya anak yang nggak punya kekuatan di sekolah itu.
Sampai gue ketemu dengan Aidan Zinedine dan Denzel Christian, mereka berdua penyelamat gue. Mereka yang menghajar anak-anak bangsat itu sampai nggak berani deketin gue lagi.
Tapi ternyata Setelah lama kenal mereka, gue baru sadar kalau gue nggak tahu apa-apa tentang mereka. Mereka menyembunyikan sesuatu dari gue. Gue cuma teman pajangan yang nggak bisa diajak berbagi. Karena itu gue merasa kesepian, akhirnya gue ngobat sampai gue halusinasi karena saking kesepiannya. Tapi mereka tahu gue kecanduan karena gue sempat overdosis di kamar mandi kampus.
Gue ngamuk ke mereka dan meracau apa yang selama ini gue pendam di isi hati gue saat itu. Respon mereka malah biasa aja. Mereka kayak orang nggak punya hati, sampai Christian datang dengan dengan temuan sel X yang ia kembangin jadi sebuah serum yang mereka suntikkan ke tubuh gue. Gue menerima dengan senang hati karena nggak bakalan ada yang mengolok-olok gue lagi. Dan lo tahu apa yang ada di fikiran gue sekarang?
Gue akan balas dendam kepada sahabat gue sendiri, Aidan Zinedine dan Denzel Christian.. gue akan habisi mereka dengan kekuatan yang mereka buat sendiri-HAHAHAHAHAHA!!!"
Tawa histeris menggema di dalam ruangan tersebut. Keiser yang menyenderkan tubuhnya di tembok hanya bisa tercengang akan perkataan Enricko yang tak ia kira.
"Wow..."
"Lo gila juga ya?" Keiser tersenyum miring.
Setelah tawa itu, hanya keheningan yang menimpa mereka. Keiser yang menyandar di pintu berniat ingin keluar.
"Balas dendam tanpa rencana itu bagaikan ke medan perang tanpa senjata."
Keiser pergi. Meninggalkan Enricko yang tersenyum cerah untuk pertamakalinya.