Kedua mata Dimas rasa nya begitu pegal saat harus melihat kelakuan sahabat nya yang terus mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga nya.
"Iya, yah. Sebentar lagi Arya pulang. Ini lagi di rumah sakit jengukin temen," suara Arya yang sedang memberi alasan kuat untuk ayah nya.
Arya terlihat menghela pasrah. Ayah nya kali ini sedang tidak bisa di ajak kompromi. Matanya mengedar pasa keempat sahabat nya. Baiklah, mereka sudah menjadi sahabat nya. Iya! Alga, Eiryl, Putri dan jelas Dimas yang memang sudah ada bersama nya sejak sekolah menengah pertama.
Usai berbincang dengan sang ayah, Arya menjatuhkan tubuh nya di atas bangsal. Tepat di samping Alga.
"Yaudah, yuk. Gampang. Besok kita bisa kesini lagi," putus Dimas mulai beranjak dari duduk nya.
Arya menoleh ke arah Alga yang sedang duduk santai menyadarkan punggung nya pada kepala bangsal.
"Cepet sembuh, ya. Biar kita bisa jahatin lo," ujar nya mengusak rambut Alga.
Alga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun terkekeh kecil hanya karena ujaran Arya.
"Iya. Bener apa kata Arya," sambung Arya tangan nya mulai usil mencolek pipi Alga.
"Udah, sana balik. Ntar keburu malem yang ada," balas Alga mengibas-ibaskan tangan nya.
"Yeuh, ngusir!" Tanpa segan Arya bangkit dan menoyor kepala Alga.
Sialan. Alga tertawa.
"Cepat sembuh ya, Ga. Maaf kita kesini nggak bawa apa-apa," ucap Putri dengan suara lembut nya.
"Iya, santai aja," balas Alga.
"Santai aja, asal bawa Eiryl, Alga udah senang, kok," timpal Arya.
Alga melirik ke arah Eiryl yang tengah tersenyum dengan pipi nya yang kemerah-merahan. Gadis itu nampak tersipu hanya karena candaan Arya.
"Kalian duluan aja. Gue mau ngomong sebentar sama Alga," ujar Eiryl.
"Cieee!" sorak Arya begitu norak.
"Jomblo syirik nih, ya!" maki Putri meledek Arya. Cowok itu seketika berdecak sebal.
"Makanya, biar gue nggak jomblo lo harus jadi pacar gue," balas Arya tidak memedulikan Dimas.
"Dih, ogah!" tolak Putri mentah-mentah.
"Yeuh! Maksa lo!" timpal Dimas.
Sedangkan Arya kembali berceloteh, "Ini nama nya usaha."
"Ck. Yaudah, kita saingan!" sahut Dimas menantang.
"Oke!" balas Arya tertantang.
"Udah! Cukup! Kalian tuh, ya!" lerai Putri kepada kedua anak manusia yang tidak mau berhenti berdebat.
"Oke, Put. Mending lo pulang sama gue," ujar Arya tidak menerima penolakan dan langsung menarik tangan Putri untuk keluar.
Dimas di tempat nya geleng-geleng kepala. "Gak waras tuh bocah," gumam nya terheran-heran.
Eiryl tertawa. "Gitu-gitu juga teman lo, kan."
"Nah, iya. Untung teman," gumam Dimas lagi. "Yaudah, lah. Gue pamit, ya. Gue tunggu di lobi," ujar nya lagi sebelum memutuskan untuk ikut keluar menyusul Arya dan Putri.
"Oke." Eiryl mengangkat ibu jari nya ke arah Dimas.
Cowok itu sudah berlalu. Kini ruangan ini hanya tersisa diri nya bersama Alga. Alga tersenyum kemudian mengeluarkan handphone dan earphone-nya dari dalam tas. Mengetuk-ngetuk layar nya lalu menyambungkan kabel earphone.
Alga hanya menatap Eiryl dari tempat nya. Memperhatikan suatu hal yang akan gadis gadis itu lakukan. Langkah nya perlahan mendekat dan duduk di samping nya. ikut menghadapkan wajah nya ke arah luas nya pemandangan di balik jendela.
"Coba kamu dengerin," ujar Eiryl. Sambil menyumpalkan sebelah earphone-nya di telinga Alga dan sebelah nya lagi ia pakai di telinga nya.
Laki-laki itu hanya menurut. Perlahan, alunan denting piano mulai memasuki indra pendengaran nya. Dengan nada-nadanya yang yang tersusun indah. Namun suara nya mampu mengusik gundah. Nan pelan, rasa gusar itu seakan menuntutnya yang lelah.
Genggaman itu hangat ia rasakan. "Selamat. Kamu berhasil membuat puan jatuh, sekaligus membuat nya bingung bagaimana cara nya untuk kembali bangkit." Eiryl menatap Alga.
"Maaf."
Hening. Laki-laki di samping nya menoleh dengan pandangan nya yang kaku. Eiryl kembali tersenyum.
"Kenapa harus minta maaf?"
"Sudah menjatuhkan mu dengan cara ku yang selalu bersembunyi pada tatapan semesta."
Eiryl tertawa pelan. "Maaf juga."
"Untuk apa?"
"Untuk ku yang pernah meyakinkan diri kalau kamu itu pembohong."
Tawa Alga menguar. "Saya memang pembohong."
"Kamu bukan pembohong. Kamu hanya sedang bersembunyi dari rasa sakit mu. Bukan begitu?"
Ah, iya. Alga menghela sejenak. Kemudian mengangguk.
Tangan Eiryl bergerak mengusak rambut Alga yang lebat. Entahlah, rasa sayang nya mendadak tumbuh pada laki-laki yang kini bersama nya. Apa karena ia merasa sama-sama memiliki keinginan yang serupa? Saling menemani.
"Aku nggak pernah punya temen."
"Saya juga."
"Tapi bukan karena mereka menjauh. Melainkan aku yang menjauh dari mereka."
"Saya tahu itu."
"Oh iya? Darimana?"
"Dari mata mu." Alga menatap kedua bola mata indah milik seorang gadis di depan nya.
Tatapan nya bertemu. Saling melekat dan seakan menyiratkan rasa yang tak mampu untuk di suratkan melalui kata.
"Kita berbeda dalam banyak hal."
"Tapi cinta yang akan mempersatukan nya."
"Apa itu cinta?" tanya Alga sekaligus mengalihkan pandangan nya ke arah lain.
"Saling ada."
Alga tahu, tatapan Eiryl masih tertuju ke arah nya. Ia melepas earpon yang mengisi telinganya. Lalu memberikan pada Eiryl. Ah, tidak memberikan nya begitu saja. Ia menggenggam erat tangan itu dan kembali menatap gadis di sebelah nya.
"I need you," bisik Alga tepat di telinga nya. "Untuk menemaniku, seumur hidupku. Entah esok saya akan mati yang jelas saya ingin ada di sisi mu."
Debaran itu semakin membuat nya sesak. Kata-kata yang Alga utarakan terlalu manis untuk diri nya yang baru merasakan jatuh hati.
"Too me," balas Eiryl. Tatapan nya tidak kunjung lepas dan seolah-olah semakin dekat.
Alga bisa merasakan terpaan hangat napas Eiryl, bersamaan dengan wajah nya yang semakin mendekat. Membuat nya semakin lekat untuk memandangi pahatan Tuhan yang sempurna ini. Sampai bibir nya saling bertemu, melumat dengan hangat.
Entah, semua ini nyata atau semu. Takkala diri nya merasa semakin membumbung tinggi menuju awan dan menyentuh nya dengan penuh kelembutan. Eiryl merasakan detak jantung nya semakin berdebar hebat. Mengalirkan denyut dengan begitu deras nya.
Tangan nya bergerak menyentuh wajah Alga yang halus. Mengusap nya dengan lembut usai mencium nya. Ya, Eiryl sadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Ia yang memulai nya.
"Jangan menyerah. Aku akan selalu menemani kamu sampai kamu sembuh."
"Sembuh dalam artian apa?"
"Aku tahu ini berat untuk kamu."
"Iya. Memang berat. Sampai pernah ada di titik yang selalu mempertanyakan 'bagaimana kalau mati saja?'." Alga kembali mengalihkan tatapan nya.
"Tapi Tuhan nggak pernah menyetujui itu. Sampai akhir nya dipertemukan dengan salah satu makhluk ciptaan-nya yang indah ini."
"Jangan pernah ngomong gitu lagi," larang Eiryl.
Alga mengedikkan bahu nya. Ia tidak yakin untuk mengatakan iya.
"Karena akan ada dua pihak yang engak pernah setuju itu. Aku dan Tuhan mu."
Baru kali ini Alga merasa diri nya benar-benar ada. benar-benar menapakkan kaki nya di pelataran bumi yang kerap kali terasa asing untuk diri nya sendiri.