Chereads / Miss Ting Ting & Crazy Duda / Chapter 16 - Cinta Buta

Chapter 16 - Cinta Buta

Cintia pun ikut menatap ke bawah dan membenarkan, tidak mungkin juga Adiyaksa turun dulu lalu naik ke atas lagi, bisa-bisa dia sudah menjadi Cintia panggang bukan lagi Cintai wanita cantik dan seksi. 

"Gak usah lah mas. Duduk saja di sini." Cintia jad menyesal sekarang. Niat awal ingin memberi tantangan pada Adiyaksa, apakah laki-laki itu tahan untuk berada di luar ruangan dalam waktu lama, tapi justru dia sendiri yang tidak kuat. 

Ini salah Cintia juga yang hampir tidak pernah pergi olahraga. Dia hanya pergi saat tidak malas saja, tapi sayangnya hampir setiap hari Cintia malas untuk pergi olahraga. 

Ingin sekali dia pergi ke tempat gym bersama temannya, tapi kalau dia ingat sekali lagi… Ternyata dia tidak punya teman. 

Cintia melirik Adiyaksa yang berada di sampingnya, laki-laki itu tengah menatap sekeliling. "Mas," panggil Cintia lirih. 

"Iya? Kenapa sayang? Eh maksud mas, kenapa dek?" Adiyaksa ingin sekali mengumpat sekarang karena cerobohnya harus datang disaat yang tidak tepat. Dalam hati kembali memaki dirinya sendiri karena sudah memanggil Cintia sayang. Semoga saja wanita tercintanya itu tidak mempermasalahkannya. 

"Aku mau pergi ke tempat gym." Adiyaksa membulatkan matanya mendengar ucapan singkat Cintia. Terlebih wanita itu menatap lurus kedepan, tidak lagi menatap Adiyaksa setelah panggilannya pada laki-laki itu. 

Entah kenapa, diri Cintia seolah belum memberi izin untuk menetap Adiyaksa terlalu lama. Padahal keinginan hatinya ingin menatap Adiyaksa, bahkan kalau bisa semalam penuh. 

"Sekarang dek?" Pikiran Adiyaksa rasanya sedang melayang entah kemana atau bisa jadi ikut menguap bersama panas matahari. Adiyaksa pun merutuki Cintia yang hanya berbicara singkat, tidak seperti dirinya yang bicara panjang lebar hingga berbusa. 

Cintia menatap sinis Adiyaksa. "Ya enggak lah mas. Maksud Tia kalau hari minggu atau tanggal merah mas gak sibuk aja. " Cintia mengucapkan dengan kepala menunduk dan memainkan kuku jarinya. 

Tiba-tiba saja dia takut mendapat penolakan dari Adiyaksa. Dia bahkan tidak tahu apa yang akan dia lakukan pada wajahnya kalau Adiyaksa menolaknya untuk pergi ke tempat gym bersama. 

Tapi berbeda dengan Adiyaksa yang seolah mendapat angin sejuk di tengah panasnya sinar matahari serta mendapat air segar di tengah gurun pasir. Adiyaksa…  Sangat bahagia. 

"Mau lah dek. Pokoknya setiap adek pengen pergi kemanapun, bilang sama mas kalau adek gak mau pergi sendiri."

"Asalkan mas ada di Jogja dan gak ada di luar kota, mas usahakan temui adek. Tapi… Kalau adek butuh mas banget, boleh kok hubungi mas kapanpun dan jam berapapun," jawab Adiyaksa begitu senang. Bahkan tubuhnya sudah duduk menghadap Cintia, mengabaikan beberapa orang yang sedang lalu lalang di hadapan mereka. 

Adiyaksa tidak mengenal orang-orang itu, jadi Adiyaksa juga tak peduli meski pengunjung itu menertawakannya dalam hati. 

Cintia sontak menatap Adiyaksa setelah mendengar penuturan yang membuat Cinta merasa tersanjung. Dia sama sekali tidak habis pikir dengan Adiyaksa, kenapa mau melakukan apa saja demi dirinya, wanita yang belum pasti menjadi istrinya. 

"Mas yakin? Kalau Tia hubungi tengah malam? Atau menjelang jam tiga pagi misalnya." Cintia mengerutkan dahinya saat Adiyaksa justru tertawa cukup keras. 

Tapi lagi-lagi, sifat Cintia yang juga tidak peduli dengan sekitar pun tidak mempermasalahkan beberapa orang yang menatap ke arah mereka. Untuk hal ini, Cintia akui mereka memiliki kesamaan. 

"Yakin satu juta persen adek manis."  Cintia mengalihkan pandangannya dari Adiyaksa. Dia takut tidak bisa menahan senyumnya saat menatap Adiyaksa yang tersenyum sangat manis itu. Dia takut tubuhnya bergerak sendiri untuk memberi kecupan manis pada Adiyaksa. 

Tangan Cintia pun saling menggenggam erat untuk menguatkan pertahanan dirinya. "T-turun yuk, " ajak Cintia lalu beranjak berdiri. 

Adiyaksa yang melihat sikap malu-malu mau dari Cintia itu hanya menurut saja. Dia tahu kenapa Cintia bersikap seperti itu, dia juga tahu kalau Cintia sedang tersipu karena dirinya. Hal itu pula yang membuat Adiyaksa semakin percaya diri karena dia menganggap bahwa usahanya sudah berhasil. 

"Usaha meluluhkan wanita tercinta sudah hampir berhasil. Pepet terus! " batin Adiyksa yang terus meyakinkan diri. 

Setelah sampai di bawah candi dan mengitari pelataran candi, Cintia juga sudah membeli beberapa perintilan sesuai keinginannya. Lalu sekarang, sisanya adalah pergi untuk makan siang bersama Adiyaksa. 

Cintia ingin, makan siang kali ini dia yang memilihnya. Dia juga akan menguji Adiyaksa untuk pergi makan siang di tempat sederhana. Kalau bisa di warung makan pinggir jalan. 

"Adek mau makan apa? Biar mas kasih tahu restoran langganan mas kalau emang adek mau sesuatu." Keduanya berjalan menuju parkiran mobil yang menurut Cintia tiba-tiba saja berubah sangat jauh. Padahal saat mereka berangkat beberapa jam lalu, jaraknya tidak sejauh ini. 

"Aku mau makan di tempat kesukaan aku mas. Aku mau makan gulai kambing." Adiyaksa menganggukan kepalanya saja. Tidak masalah makan dimana saja, dia juga tidak alergi dengan apapun. 

***

"Dimana tempatnya dek?" tanya Adiyaksa saat Cintia belum mengarahkan lagi harus kemana mobil yang dikemudikannya ini. 

"Itu mas, sebelah kiri ada warung gulai kambing. Masih beberapa meter lagi dari jalan ini." Cintia mengatakan dengan penuh percaya diri. Dia akan melihat bagaimana reaksi Adiyaksa setelah melihat tempat makan siang mereka. 

Bukan sebuah restoran yang memiliki pendingin ruangan serta cctv yang mengintai. Hanya berupa warung kecil yang ditemani dengan kipas angin. Kipas anginnya pun bukan kipas angin yang memiliki suara halus, tapi suara yang begitu berisik. 

Adiyaksa tersenyum tipis melihat tempat pilihan Cintia. Dia tidak masalah makan di tempat seperti itu. Dia juga yakin bahwa makan siang kali ini akan lebih berkesan karena ada Cintia yang ada di sampingnya. 

Sungguh rasanya Adiyaksa sudah dibutakan dengan cinta. Bukan hal asing lagi makan di pinggir jalan seperti ini karena gaya hidupnya dengan Bagas juga tak jauh beda. Dua lelaki yang hidup bebas. Bebas dalam artian ingin pergi kemanapun juga pergi saja meski tempatnya tidak sesuai dengan status mereka yang hidup dilingkungan keluarga kaya. 

"Duduk mas," ajak Cintia yang langsung saja mendudukan dirinya di bawah kipas angin yang begitu berisik menurut Adiyaksa. 

"Sepertinya enak makanan di sini, apalagi tempatnya pilihan adek manis," goda Adiyaksa lagi yang membuat Cintia mendengus sambil mengalihkan pandangannya. 

Meski Adiyaksa diam sejak tadi, sebenarnya dia juga tahu apa yang dilakukan oleh Cintia. Dia diam juga karena tidak keberatan sama sekali dengan perlakuan Cintia pada dirinya. 

Cintia adalah wanita yang baik, terbukti dengan cara mengujinya bukan dengan hal yang ekstrim tapi dengan hal wajar yang masih bisa Adiyaksa maklumi. 

Adiyaksa hanya berdoa semoga Cintia tidak melakukan hal di luar batas yang bisa membuat kesabarannya habis. Dia tidak ingin melampiaskan amarahnya pada Cintia. Dia juga akan bersikap sehalus mungkin pada Cintia karena wanita itu adalah wanita yang dicintainya.