Adiyaksa merasa bahwa dia sudah seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta. Terbukti dari laki-laki itu yang sedang melirik jam tangannya sesekali. Menunggu jam makan siang tiba beberapa menit lagi. Bahkan Adiyaksa sudah memikirkan hal menyenangkan apa yang akan dia lakukan bersama adik manis pujaanya.
Sampai jarum jam tangannya tepat menunjukkan pukul dua belas siang, Adiyaksa bergegas untuk pergi dari dalam ruangannya. Dia juga akan meminta asistennya mengirimkan beberapa file kerjasama ke emailnya. Bagi Adiyaksa, yang terpenting saat ini adalah Cintia, karena wanita itu adalah masa depannya. Jadi dia akan merayu adik manisnya sampai memberinya maaf. Apalagi kalau bukan karena Cintia cemburu. Adiyaksa ingin sekali terkikik geli saat mengingatnya. Bagaimana pipi Cintia yang memerah malu saat tertangkap basah sedang cemburu tapi tetap tak mengaku.
Sampai di kafe milik Cintia, Adiyaksa dengan cepat memasuki kafe lalu mengucapkan pesanannya. Dia juga akan menghubungi Cintia saya sudah duduk diam di kursi pelanggan. Lagipula dia sudah memastikan bahwa calon istrinya itu sedang berada di ruangannya.
Panggilan masih berdering dan berakhir operator yang mengambil alih. Adiyaksa tidak patah semangat dan terus menghubunginya. Sampai deringan telepon yang hampir berakhir, Cintia baru saja menjawab panggilannya.
"Halo cantik," sapa Adiyaksa penuh semangat.
"Sini dong, aku udah di depan nih, mau makan siang. Tapi maunya ditemani adik manis."
"Dek Cintia sudah makan belum ini?" tanya Adiyaksa beruntun.
Senyum Adiyaksa sama sekali tidak pernah luntur saat menunggu Cintia yang tidak kunjung memberikan jawaban itu. Tetapi hanya terdengar suara napas yang menurut Adiyaksa luar biasa merdu.
"Ehm… I-iya, Tia ke depan." Adiyaksa sekali lagi memeriksa ponselnya, memastikan bahwa panggilan memang sudah dimatikan sepihak.
Adiyaksa mengangkat bahunya cuek. Tidak masalah meski Cintia mematikan panggilannya secara sepihak, lagipula wanita itu juga akan menemuinya.
Adiyaksa kembali bersandar pada kursi yang ia duduki, menikmati pemandangan yang membuatnya iri, karena terlalu banyak pasangan yang begitu romantis. Sedangkan dia, masih mengejar sang pujaan hati.
"Mas," sapaan lirih yang membuat Adiyaksa menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah pusat suara. Dimana sang adik manis memakai pakaian casual yang begitu memikat hati.
Cintia masih tersenyum canggung ke arah Adiyaksa. Lebih tepatnya senyum untuk menghormat Adiyaksa. Bagaimanapun juga, Cintia masih mengingat kebodohannya pagi tadi. Dimana dia tertangkap basah sedang mengintip Adiyaksa di balik jendela kamarnya. Sungguh memalukan.
Tidak lama dari itu, pelayan di kafe Cintia mengantarkan makanan dan cukup memecah kecanggungan meski dalam beberapa detik saja. Setelahnya, keduanya masih saling diam dan saling menatap.
"Loh! Cintia!" Adiyaksa dan Cintia menoleh secara bersamanya ke arah seorang pria yang berdiri di dekat mereka. Alarm di dalam diri Adiyaksa pun berbunyi seketika, untuk segera menjaga sang pujaan hati dari serigala dan buaya buas di luar sana.
"Hey, Dit apa kabar? Lama banget gak ketemu." Cintia berdiri dan menerima tangan Adit untuk berjabat tangan. Sedangkan Adiyaksa justru mendengus kesal melihat tangan keduanya saling bersentuhan. Dia sangat tidak rela wanita tercintanya disentuh oleh sembarang orang. Kalau nyatanya orang asing itu membawa virus untuk adik manisnya bagaimana? Kan Adiyaksa tidak rela.
Adiyaksa juga semakin menajamkan mata dan telinga saat keduanya saling menebar tawa sambil membicarakan sekilas masa lalu keduanya saat berada di sekolah. Sungguh tidak penting untuk dibicarakan kalau menurut Adiyaksa.
"Ehm!" Adiyaksa berdeham cukup keras hingga membuat tawa Cintia dan teman laki-lakinya terhenti seketika. Bahkan dua orang itu menatap Adiyaksa dalam sekejap.
"Teman sekolah Tia ya?" tanya Adiyaksa basa-basi.
Adit yang merasa perbincangannya sejak tadi sudah begitu jelas pun hanya mengangguk singkat.
"Kenalkan, calonnya dek Tia." Adiyaksa mengucapkan dengan dagu yang sudah ia angkat sambil mengangkat tangannya ke depan Adit. Bahkan Adiyaksa sudah berdiri di samping Cintia.
Tangan Adiyaksa juga dengan cepat meraih tangan Cintia untuk digenggam. Adiyaksa semakin merasa menang saat laki-laki di hadapannya itu menganggukan kepala mengerti. Tapi seketika rasa kesalnya muncul saat teman adik manisnya itu justru menatap Cintia sambil menanyakan kebenarannya.
"Emm…."
"Kamu ini gak percayaan sekali jadi orang! Perlu aku undang nanti waktu kita nikah? Waktu kita resepsi?" sela Adiyaksa saat Cintia terlihat akan menjawab pertanyaan dari temannya itu.
"Oh, boleh banget kalau memang tidak merepotkan. Saya pasti datang kalau memang diundang."
"Nomerku masih sama kok Cin, lagian kamu juga bisa hubungi sosial media punyaku," lanjut Adit yang membuat hati Adiyaksa lega seketika. Dia merasa lega karena saingannya hilang dalam sekejap, jadi adik manisnya bisa terhindar dari laki-laki tidak jelas di luar sana.
Adiyaksa segera menuntun Cintia untuk duduk saat laki-laki bernama Adit itu menghilang dari hadapan keduanya. Adiyaksa sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran adik manisnya, tapi Adiyaksa akan mencoba untuk membuat raut kaku Cintia berubah menjadi senyum manis.
Adiyaksa bahkan dengan cepat mengarahkan satu sendok nasi goreng ke arah Cintia. "Aaa … ayo makan dulu cantik. Kamu lapar pasti kan. Apalagi barusan ngobrol sama teman kamu itu."
Sayangnya Cintia tidak kunjung menerima suapan Adiyaksa, wanita itu justru menatap tajam ke arah Adiyaksa. "Kenapa?" tanya Adiyaksa polos.
Karena tidak tega membiarkan sesuap nasi di hadapannya menganggur, Cintia akhirnya menerima suapan sebelum mencerca Adiyaksa dengan ribuan amarah di dalam dirinya. Tidak sampai ribuan sebenarnya, tapi Cintia hanya ingin melebih-lebihkan saja.
Usai makanan di dalam mulutnya habis, Cintia kembali melanjutkan tatapan tajamnya. "Mas itu kalau ngomong di pikirkan dulu apa gak sih?! Mas bilang kalau mas itu calon suamiku, pakai ngomongin undangan segala. Pamali mas! Gimana kalau kita justru gak jadi nikah, memang mas pikir aku gak malu?" ucap Cintia tajam tapi dengan suara yang lirih. Dia sama sekali tidak ingin perkataanya didengar oleh orang lain.
"Kenapa diem? Mas itu lo kalau ngomong yang sesuai sama realitanya gitu lo mas. Orang yang udah mau nikah aja banyak pantangannya, ini apalagi. Aku aja belum jawab apa-apa, mas udah main sebar-sebar aja." Ucapan sarkas Cintia sontak membuat gerakan menyuap Adiyaksa terhenti.
Jujur saja ada perkataan Cintia yang cukup membuat Adiyaksa terusik. Tapi apa yang dikatakan oleh Cintia juga memang benar. Tapi … kalau orang cemburu kan tidak bisa disalahkan. Bahkan Adiyaksa merasa kalau dia tidak bersalah sama sekali.
"Mas hanya gak mau kamu dekat-dekat dengan laki-laki lain. Gimana kalau kamu suka sama dia? Salah kalau mas bersikap waspada?" Adiyaksa kembali menarik napas dalam, demi meredakan rasa kesal yang tiba-tiba saja timbul ke permukaan karena beberapa ucapan Cintia.
"Mas tau kamu tadi pagi cemburu karena teman mas. Sekarang pun mas ngaku kalau mas cemburu, mas gak mau kamu jadi beralih ke laki-laki lain. Jadi anggap aja kita impas."