Cintia menghela napas kasar lalu menegakkan posisi duduknya, lalu bersiap pergi dari ruangan Adiyaksa. Rasanya cukup sudah hatinya dibuat kecewa. Dia sudah tak bisa lagi menahan rasa kesalnya untuk Adiyaksa. Semua terasa menyesakkan untuk Cintia.
"Kalau gitu aku pulang aja, makanannya sepertinya udah gak enak lagi, jadi mas buang aja. Kuenya terserah mau diapakan, sekalian dibuang juga gak apa-apa. Tia mau pulang," ucap Cintia sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Rasanya begitu malas untuk menatap Adiyaksa, karena ia yakin, saat Cintia menatap Adiyaksa lebih lama lagi, air matanya pasti akan segera menetes.
Adiyaksa yang melihat Cintia begitu muram pun sempat terdiam sesaat untuk memahami situasi apa yang sedang terjadi. Pasalnya dia begitu terkejut dengan ucapan Cintia. Bahkan tatapan Adiyaksa sesekali mengarah pada Cintia lalu beberapa saat beralih pada makanan yang wanita itu bawa.
Adiyaksa dengan cepat menyusul Cintia yang sudah berjalan cepat ke arah pintu ruangan. Dengan cepat pula Adiyaksa meraih pergelangan tangan Cintia. "Tunggu, tunggu. Kita bicara dulu dek, jangan bicara macam-macam dan semakin membuat semuanya rumit. Kita selesaikan masalah ini dulu."
Cintia yang sejak tadi memaksa untuk melepaskan cekalan tangan Adiyaksa pun memilih menghentikan upayanya. Dia mulai menyadarkan dirinya sendiri setelah mendengar ucapan Adiyaksa.
"Apanya yang buat rumit mas?" Cintia menatap Adiyaksa sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Aku itu nunggu kamu lama loh, bahkan seharusnya aku gak perlu bilang lagi karena kamu tahu sendiri aku sampai ketiduran. Dan kamu tahu? Aku niatnya itu mau minta maaf sama kamu karena kesalahan ku kemarin, udah nuduh kamu yang enggak-enggak. Tapi apa nyatanya mas? Kamu lebih milih wanita tadi kan!" Adiyaksa semakin diam tak berkutik mendengar penjelasan Cintia.
Adiyaksa mengusap wajahnya frustasi. Banyak yang ingin ia katakan pada Cintia tapi sayangnya sedikitpun tidak ada yang keluar dari bibirnya. Terlebih melihat mata Cintia yang memerah semakin membuat Adiyaksa merasa bersalah
"Aku mau pulang." Cintia melepas cekalan tangannya dengan keras. Cintia tidak peduli apa yang dia lakukan itu akan menimbulkan bekas merah pada tangannya atau tidak, karena yang ia pedulikan hanya pergi dari hadapan Adiyaksa secepatnya.
Cintia segera melangkah keluar sambil menyeka air matanya dengan cepat. Tidak akan pernah ia biarkan Adiyaksa melihatnya menangis, karena hal itu akan membuat Adiyaksa memandangnya rendah. Biarkanlah Adiyaksa hanya mengetahui bahwa Cintia adalah seorang wanita cuek.
Cintia terus melangkah meski Adiyaksa juga menyusulnya sambil memanggil namanya beberapa kali. Bahkan berulang kali Cintia menepis tangan Adiyaksa yang mencoba untuk meraih tangannya.
"Cin please!" Adiyaksa menekan ucapannya sambil memaksa Cintia untuk menatap matanya. Kedua tangan Adiyaksa pun sudah bertengger pada bahu Cintia lalu mencengkramnya.
"Jangan pernah sedikitpun meragukan aku, dia rekan kerjaku dan aku jujur saat ini. Tapi maaf karena aku gak tau kamu sudah bawa makan siang jadi aku … jadi aku makan di luar. Kalau tau kamu bawa makan siang buat aku, gak akan aku makan siang di kafe seberang." Napas Cintia masih tak beraturan karena amarah dan rasa kecewa yang masih ia pendam. Bahkan matanya terasa kabur karena genangan air matanya kembali muncul.
Cintia tidak tahu hal apa yang sudah membuatnya menjadi sangat sensitif, tapi menurut Cintia, apa yang dilakukan Adiyaksa sangat menyakiti hatinya. Dia belum makan siang sedangkan Adiyaksa sudah makan dengan nyamannya bersama seorang wanita berpakaian kurang bahan.
Cintia juga selalu mengalihkan tatapannya dari Adiyaksa karena dia benar-benar sudah tidak kuat lagi menahan tangisnya. Bahkan kedua tangan wanita itu sudah ia kepalkan erat hingga kuku jarinya memutih.
Dalam sekejap Adiyaksa membawa Cintia untuk masuk ke dalam pelukannya, membiarkan wanita pujaanya bersandar pada dada bidangnya. Berulang kali, Adiyaksa juga menggumamkan kata maaf tepat pada telinga Cintia.
Adiyaksa terus mengusap punggung Cintia yang bergetar karena menangis. Isakannya pun terdengar sampai ke telinga Adiyaksa yang membuat laki-laki itu sangat merasa bersalah. Adiyaksa juga berharap, setelah hari ini, dia masih bisa mendekati Cintia dan nilainya sebagai calon suami tidak turun karena peristiwa hari ini.
Keduanya pun mengabaikan bahwa mereka sedang berada di depan lift. Keduanya bahkan lupa, bisa sewaktu-waktu, karyawan Adiyaksa akan keluar dari dalam lift.
"Tenang ya sayang, maafin mas. Bukan maksud mas untuk buat adek kesel. Tapi mas bener-bener gak tahu. Emm … atau gini aja deh. Mas makan makanan buatan kamu ya sekarang ya. Mas jamin pasti rasanya lebih enak dari kafe seberang." Adiyaksa menumpukan dagunya pada kepala Cintia yang sedang menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Adiyaksa.
Cintia bahkan melupakan rasa marahnya karena wangi tubuh Adiyaksa kembali memenuhi hidungnya. Bahkan Cintia merasa tidak bisa mencium wangi lain selain Adiyaksa.
Perlahan Adiyaksa juga merasa lega karena penerimaan Cintia pada kata maafnya. Setelah ini, Adiyaksa benar-benar akan menghabiskan makanan yang dibuat Cintia. Adiyaksa tidak peduli kalau perutnya akan terasa sangat penuh dan tidak nyaman karena memang prioritasnya adalah membuat Cintia, adik manisnya bahagia bersamanya.
"Ikut mas dulu ya ke ruangan ya. Kamu temani mas makan dan kita makan bersama. Janji deh mas suapi. Yuk," ajak Adiyaksa sambil melepas pelukannya perlahan. Tapi tidak dengan cengkramannya pada bahu Cintia. Laki-laki itu tidak akan pernah membiarkan Cintia pergi dengan amarahnya yang masih meluap.
Perlahan pula, Adiyaksa menarik tangan Cintia untuk mengikutinya masuk ke dalam ruangannya. Menuntun Cintia duduk dan memberikannya segelas air dingin. Adiyaksa sangat berharap, air dingin itu bisa ikut mendinginkan amarah yang masih menyelimuti wanita tercintanya.
Cintia masih tak berniat untuk berkata apapun pada Adiyaksa, masih ingin diam dan membiarkan Adiyaksa menjelaskan apa yang terjadi hari ini. Sesekali mata wanita itu juga menatap tajam Adiyaksa yang sedang membuka beberapa penutup makanan.
"Maaf soal omongan mas kemarin. Mas hanya … kesel aja dengar ucapan kamu soal mas yang cemburu. Jadi kamu jangan mikir macam-macam ya. Karena mas memang gak ada wanita lain, kamu bisa percaya sama mas dan mas juga … mau liat sikap kamu kalau mas marah, kamu akan seperti apa." Adiyaksa mulai mengakui rencananya yang sebenarnya. Bahkan laki-laki itu menatap Cintia dengan ringisan di wajahnya. Apalagi melihat wajah terkejut Cintia, sudah pasti hal itu membuat hati Adiyaksa menjadi lebih waspada.
"Mau lihat sikapku? Seperti buat aku nunggu sampai dua jam, sampai aku ketiduran dan bahkan aku belum makan siang mas. Kamu gampangin aku?" Cintia menatap Adiyaksa tak percaya. Bahkan kekehan sinis terdengar sampai ke telinga Adiyaksa bersamaan dengan mata merah Cintia yang menatapnya.
"Maaf sayang … sebenarnya tadi meeting-nya cuma meeting tambahan aja dan bisa ditunda sebenarnya, tapi aku gak tunda. Maaf … bukan maksudnya seperti itu sayang. Perkiraan mas meeting-nya gak selama itu, bahkan bayangan mas, meeting-nya selesai dalam waktu satu jam saja, jadi mas gak pesen makanan. Karena mau makan siang sama kamu. Eh ternyata …." Adiyaksa menatap Cintia dengan raut penuh rasa bersalah, bahkan dengan cepat laki-laki itu menumpukan wajahnya pada genggaman tangan Cintia.