"Dek." Adiyaksa menahan geramannya saat Cintia tidak juga memberi tanggapan pada panggilannya sejak tadi. Bahkan tatapan mata Cintia terus menatap kedepan, mengabaikan Adiyaksa yang terus mengganggu fokusnya yang sedang menahan kesal.
Cintia sendiri menahan rasa kesal di dalam dirinya karena mendapati Adiyaksa yang berpikiran kotor terhadapnya. memangnya dia ini wanita macam apa sampai Adiyaksa bisa berpikir seperti itu. pakaiannya saja sudah sangat sopan, tidak ada kesan seksi sama sekali.
"Dek maaf, bukan gitu maksud mas dek."
"Kamu gak kasihan sama mas yang ngomong sendiri dari tadi." Cintia mendengus lirih mendengar setiap rayuan Adiyaksa yang terdengar seperti buaya yang sedang mencari mangsa itu. Adiyaksa pikir, Cintia ini wanita yang mudah luluh apa? Jelas saja tidak.
"Mas tuh… Gak mikir kotor tadi, tapi… lihat kucing yang seksi, lucu juga soal nya bulunya lebat dek, sama gemuk gitu lo kucingnya, kucing mahal tapi bisa di jalan gitu ya." Adiyaksa terus mencari alasan serta menunjukan raut muka yang ia buat semeyakinkan mungkin.
"Kucing apanya kucing, nyebelin banget orang ini," gerutu Cintia di dalm hati.
"Kalau sampai mas aneh-aneh lagi, aku aduin ke mas Bagas ya!" ancam Cintia yang dijawab dengan gelengan panik oleh Adiyaksa. Bisa bahaya kalau sampai laki-laki itu tahu, yang ada dia tidak akan jadi menikah dengan Cintia pujaan hatinya.
"Jangan lah dek, mas janji gak aneh-aneh, mas juga bakal jadi laki-laki yang bertanggung jawab sama adek hari ini." Adiyaksa kembali meyakinkan Cintia, bahkan dirinya seolah sedang menawarkan dirinya sendiri pada Cintia.
"Iya iya," jawab Cintia malas.
Adiyaksa hanya bisa menahan teriakan yang akan keluar dari bibirnya. Kali ini dia tidak boleh ceroboh dan harus memperingatkan dirinya sendiri agar tidak mengatakan hal yang macam-macam.
***
Cintia semakin mengedarkan pandangannya ke luar mobil saat mobil yang dikemudikan Adiyaksa memasuki pelataran parkir Candi Borobudur. Bahkan segala rencana sudah terbayang di dalam otak cantiknya.
"Salah siapa maksa mau nikah," batin Cintia licik.
"Aku mau keliling di sekitar candi dulu baru nanti naik ke atas ya mas." Adiyaksa hanya menganggukan kepala tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia akan menurut pada Cintia kali ini dibanding harus mempertaruhkan rencana pernikahan mereka.
Cintia sendiri beranggapan bahwa seorang Adiyaksa pasti hampir tidak pernah mengunjungi tempat yang berada di luar ruangan seperti ini, terlebih cuaca Yogyakarta sangat panas akhir-akhir ini. Cintia juga akan melihat sekuat apa Adiyaksa berada di luar ruangan.
Awas saja kalau tiba-tiba laki-laki itu memaksa untuk mengajak pulang karena tidak kuat tersengat sinar matahari. Meskipun dirinya sendiri sebenarnya sudah lama tidak mengunjungi tempat seperti Candi atau yang lainnya, dia juga tidak akan sanggup kalau panas kota ini sampai tiga puluh empat derajat. Mau menjadi apa kulitnya kalau berada di cuaca sepanas ini.
"Gak apa-apalah korbanin kulit cantik mulusku ini demi menguji mas Adi," batin Cintia pasrah. Tapi anehnya secara tak sadar dia menyematkan 'mas' saat menyebut Adiyaksa.
"Mau keliling kemana dek?" Adiyaksa berusaha menahan tangannya agar tidak lancang untuk menyentuh Cintia. Menyentuh dalam artian menggandeng tangannya, merangkul bahunya atau mengusap peluh yang mulai muncul pada dahi wanita pujaanya.
"Kemana ya? Mungkin muterin bagian depan Candi dulu baru naik ke atas candi mas."
"Kamu gak kepanasan kan mas?" Cintia menatap Adiyaksa dengan pandangan menelisik. Jangan-jangan laki-laki yang mengaku akan bertanggung jawab padanya ini akan memilih menepi dan membiarkannya berjalan sendirian.
"Gak lah, anggap aja lagi olahraga dek. Apalagi jalannya sama kamu, seneng banget lah mas ini." Adiyaksa sudah mulai kembali melempar godaan pada Cintia. Seolah janjinya pada diri sendiri untuk tidak ceroboh sudah ia lupakan.
Cintia sendiri hanya mendengus sambil menahna senyumnya. Entah kenapa dia menjadi mendadak berdebar hanya mendengar rayuan ala anak remaja itu. Kalau Cintia mengingat berapa usianya rasanya dia ingin tertawa keras lalu berguling pada pelataran candi ini, sungguh memalukan.
Usianya yang sudah matang ini justru tersipu dengan godaan ala anak remaja usia tujuh belasan. Cintia sendiri jadi mulai berpikir, kira-kira yang bermasalah di sini jantungnya atau mulut Adiyaksa?
"Kenapa dek?" Adiyaksa mengerutkan dahinya saat melihat pikiran Cintia yang sedang tak ada ditempat.
"Panas ya? Atau mau aku beliin payung buat adek? Kasian nanti kulitnya kebakar lo kena sinar matahari atau mau duduk duduk dulu dimana gitu?"
"Tak belikan payung aja ya. " Cintia segera menarik tangan Adiyaksa yang akan melangkah pergi. Dia tidak apa-apa, tidak butuh duduk, payung atau yang lainnya. Tapi dia juga tidak ingin berkata jujur kalau sedang memikirkan Adiyaksa. Bisa besar kepala laki-laki itu kalau tahu Cintia sempat memikirkannya.
"Gak perlu payung. Kita naik ke atas candi sekarang aja deh."
"Aku mau naik sampai atas ya mas," lanjut Cintia mulai berjalan ke arah candi.
Meski bukan musim libur tapi candi borobudur tetaplah ramai, hanya bedanya tidak seramai saat musim libur atau tanggal merah.
Beruntung Adiyaksa dan Cintia berangkat saat tanggal di kalender berwarna hitam, jadi tidak perlu berdesakan atau megantri untuk jalan di anak tangga. Lagipula kalau tidak ada banyak orang di sana, Adiyaksa kan juga bisa memulai aksinya untuk merayu Cintia secara halus. Siapa tahu setelah kembali dari candi borobudur Cintia mendadak luluh lalu ingin menikah secepatnya.
"Keringetan aja cantik dek," gumam Adiyaksa saat berjalan di belakang Cintia.
Dua anak manusia itu sedang menaiki tangga menuju ke atas dengan posisi Cintia berada di depan Adiyaksa. Sesuai permintaan Adiyaksa yang ingin melindungi Cintia, jadi laki-laki itu harus berada di belakang Cintia.
"Siapa tahu ada yang mau ganggu kamu dari belakang, apalagi kalau ada laki-laki yang jalan di belakangmu dek. Kamu kan harus hati-hati," ucap Adiyaksa saat Cintia bertanya kenapa memilih berjalan di belakangnya.
Cintia juga hanya menganggukan kepalanya saja, dia tidak peduli Adiyaksa akan berjalan dimana. Tapi… Kenapa ucapannya manis sekali? Kan Cintia jadi mendadak berdebar lagi jantungnya.
Sudah berdebar karena naik tangga candi yang tinggi ini, tapi juga harus berdebar karena godaan yang Adiyaksa lontarkan selama mereka naik ke atas candi.
"Mas tenagamu banyak banget sih? Kamu gak keluarin tenaga apa waktu naik tangga ini?" Cintia jadi ingin tahu sebenarnya tenaga Adiyaksa ini sebanyak apa, sampai napasnya masih baik-baik saja meski sudah menaiki hampir setengah candi. Dia saja sudah tersengal napasnya.
"Tahu begini beli minum tadi," gumam Cintia sambil menyeka peluh di dahinya.
"Kenapa dek? Kamu mau minum? Tapi di sini gak ada yang jual minum dek." Adiyaksa yang mendengar gumaman Cintia itu mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling patung-patung.
Kepalanya pun dengan reflek menatap kebawah, melihat sejauh apa mereka berjalan.
"Aku gak mungkin turun ke bawah terus balik ke atas lagi dek, ini udah jauh banget. Kalau mau kita turun sekarang?"