Begitulah Jarrel yang selalu membenci kedua orang tuanya. Ia membenci bukan tanpa sebab. Ia benci karena kesibukkan orang tuanya. Mungkin bagi kedua orang tuanya, dengan harta berlimpah dapat membahagiakan putra semata wayangnya itu. Nyatanya tidak demikian, yang dibutuhkan Jarrel bukan hanya harta berlimpah atau uang yang banyak saja. Ia juga sebagai seorang anak membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tua.
"Ya sudah nanti aku turun, masih belum lapar!" sahutnya lagi mengeraskan suaranya.
"Baik, Den Jarrel."
Asistem rumah tangganya sudah kembali pada kesibukannya. Namun, anak dari majikannya masih juga enggan beranjak dari dalam kamarnya. Ia memang lebih sering bermalas-malasan jika hari weekend telah tiba. Baginya ini adalah me time-nya. Bersantai sembari melakukan hobi yang ia sukai, itu membuatnya lebih bahagia daripada harus berjumpa dengan kedua orang tuanya.
Ia sengaja tadi pagi tidak turun dari kamarnya. Ia malas jika harus melihat kedua orang tuanya yang begitu sibuk. Bahkan, ia ingin bercerita atau bertukar pikiran saja sulit sekali. Seolah kedua orang tuanya bagaikan orang penting atau artis selebritis yang waktunya sangat terbatas.
Jarrel baru saja menyelesaikan film bertema vampir. Kali ini bergenre mix antara horror, fantasy, romance, action dan juga thriller. Agak lebih dark dari biasanya. Hanya saja ia sedikit kecewa dengan ending yang menggantung. Jarrel berharap ada sekuel lanjutan dari film yang baru saja ia tonton.
Selesai mematikan layar televisinya ia justru kembali tertidur walau tidak benar-benar tertidur. Ia hanya malas untuk beranjak dari kamarnya. Apalagi sekarang dirinya sudah lulus sekolah menengah pertama, ini adalah waktu libur baginya.
Yang masih diingat Jarrel ketika di hari kelulusan dan wisudanya, kedua orang tuanya tak sempat datang. Padahal ia begitu mengharapkan kehadiran mereka. Terkadang ia merasa iri kepada teman-temannya jika setiap ada acara sekolah yang mengharuskan mengundang para orang tua, selalu saja orang tua Jarrel berhalangan hadir. Terpaksa harus diwakilkan oleh sopirnya.
"Ah, mereka memang nggak bisa diharapkan. Terserah deh mau gimana, gue malas lama-lama tinggal di rumah ini," keluhnya yang masih merebahkan tubuhnya di atas kasur empuknya.
Kedua orang tua Jarrel memang seorang pengusaha sukses. Dengan bidang usaha berbeda. Ayahnya sejak muda sudah menjadi seorang milyarder sukses dibidang e-commerce sedang ibunya juga memiliki bisnis sendiri di bidang kecantikan yakni, salon & spa kecantikan yang memiliki banyak cabang di beberapa kota di Indonesia.
Terkadang ada berapa teman sekelas Jarrel yang malu jika harus berkawan dengan anak milyarder yang sukses. Padahal sudah sering Jarrel berkata, jika kekayaan atau kesuksesan orang tuanya tidak ada sangkut pautnya dengan ia.
Dikarenakan hari semakin siang, perut Jarrel juga butuh asupan makanan. Tiba-tiba saja perutnya berbunyi layaknya sebuah alarm pengingat baginya. "Aduh, lapar nih," ringisnya sembari memegangi perutnya.
Ia langsung saja bangkit dari ranjangnya. Berjalan ke arah pintu toilet yang berada di dalam kamarnya. Ia memang ingin membuang hajat kecil sekaligus membersihkan dirinya sebelum pergi ke ruang makan.
Berapa menit kemudian, ia pun telah selesai mandi dan bergegas turun ke bawah. Kamar pribadinya berada di lantai 2. Terkadang naik turun tangga yang membuatnya malas. Biasanya ia selalu menyetok aneka cemilan atau minuman ringan di dalam kamarnya. Namun, kali ini stok cemilannya sudah habis karena baru saja ia menonton sebuah film.
Di dalam kamarnya sudah layaknya hotel berbintang 5 begitu mewah. Segala fasilitas ada di sana. Makanya ia malas terkadang keluar kamar hanya demi berjumpa dengan kedua orang tuanya. Lebih baik ia main keluar rumah atau diam di dalam kamarnya, itulah pilihan terbaik.
Jarrel sudah sampai di ruang makan, di sana masih ada sisa sarapan tadi pagi. Ia membuka tudung saji di atas meja makan. Dari situ ia mengetahui jikalau semua makanan ini telah dihangatkan kembali oleh bi Mira.
Tanpa banyak berpikir lagi, Jarrel segera menyendok hidangan di hadapannya. Ia menyantapnya dengan lahap. Akhirnya ia dapat memberikan asupan energi kepada perutnya ini.
"Gimana, Den dengan makanannya? Apa mau Bi Mira buatkan lagi yang lain?" sapa bi Mira bertanya.
"Ah, tidak usah, Bi. Ini juga aku sudah kenyang," sahutnya seraya mengunyah sarapan paginya yang terbilang telat, karena saat ini sudah menjelang siang hari.
"Baik, Den. Ya sudah Bibi tinggal ya, Den. Oh iya tadi tuan dan nyonya berpesan agar Den Jarrel jangan main jauh-jauh. Kalau bisa di rumah saja." Bi Mira menyampaikan pesan kedua orang tua Jarrel, sebelum ia pergi dari ruang makan.
Jarrel hanya berdeham. Dalam hati ia mendengkus kesal. "Banyak aturan, kalian saja di rumah bentaran doang. Sok ngatur-ngatur hidup orang." Jarrel menyudahi aktivitasnya di meja makan. Untung saja ia sudah menyelesaikan makannya.
Ia pun kembali ke atas menuju kamarnya.
***
Sementara itu, di sebuah rumah sakit umum Sekar dan Andres memasuki ruang IGD. Di sana ada Dreena yang baru saja diperiksa oleh tim medis. Usai mendengarkan semua diagnosis dari sang dokter, membuat keduanya tampak murung dan tidak bersemangat.
Baru saja mereka masuk ke dalam ruangan, Dreena langsung merengek memanggil kedua orang tuanya. "Ma, Pa aku mau pulang. Aku tidak apa-apa 'kan?"
Sekar pun tersenyum dengan memaksakan diri. "Iya kamu cuma kecapekan saja kok. Nanti juga kamu diperbolehkan pulang oleh dokter. Iya 'kan Pa?" Sekar melirik ke arah suaminya. Andres pun bingung menanggapinya, ia pun kikuk meresponnya.
"Ah, iya Sayang. Sebentar ya, tunggu dokter dulu. Nanti kita tanyakan dokter kapan kamu bisa pulang," tukas Andres tampak gugup.
Seharusnya mereka tidak perlu berbohong, tapi orang tua mana yang akan menyakiti perasaan anaknya? Baik Sekar maupun Andres tidak ingin membuat putri tunggal mereka satu-satunya itu kecewa apabila mengetahui penyakit Dreena yang sebenarnya.
Tidak lama sang dokter datang bersama dengan seorang suster, ia kembali memeriksa kondisi kesehatan Dreena. "Baik, kondisi kamu sudah semakin baik. Sepertinya kamu tidak perlu dirawat di rumah sakit ini," tutur sang dokter seraya menyunggingkan senyum bersahabat kepada pasiennya.
Dreena dan kedua orang tuanya sangat senang mendengar penuturan sang dokter. "Berarti aku bisa pulang sekarang, Dok?" tanya Dreena berbinar bahagia.
Dokter itu mengangguk pelan seraya berkata, "Iya, Nona kamu bisa pulang sekarang."
"Asyik, akhirnya aku bisa pulang ke rumah. Ma, Pa aku boleh pulang sekarang nih!" seru Dreena antusias.
Namun, Sekar dan Andres tampak tidak antusias. Jelas tergambar di raut wajah mereka kekhawatiran yang mendalam. Dreena menyadari hal itu. "Apa yang mereka pikirkan? Jangan-jangan sebenarnya aku ...." Dreena tak sanggup meneruskan ucapannya.
***