Kondisi Jenna mulai stabil, hanya masih memerlukan pemulihan beberapa hari. Sembari menunggu hasil tes kedua orang tuanya, untuk memastikan apakah cocok dengan sumsum miliknya. Tara dan Billy sengaja tidak memberi tahukan hal ini pada Jenna, mereka yakin gadis itu tak akan setuju.
Blake pun sangat memahami bagaimana karakter Jenna sehingga tidak mengatakan apa pun tentang donor. Ia hanya akan melakukan apa yang mampu ia lakukan. Tak 'kan lagi menyiakan kesempatan yang ada.
Ia berencana untuk mengatakan tentang perasaannya pada gadis itu, tanpa menunda lagi. Namun, tentunya akan dilakukaannya setelah Jenna sembuh. Jika tidak begitu, Jenna akan berpikir Blake mengatakan itu hanya karena kasihan padanya.
Seharian Blake menemani Jenna hingga gadis itu pun berulang kali bertanya bagaimana pekerjaannya. Pria itu hanya menjawab dengan senyuman, tak ingin gadis itu terlalu banyak memikirkan hal yang bisa saja menimbulkan pertengkaran.
Ia hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Jenna.
"Apakah kau yakin tak apa meninggalkan pekerjaanmu?" tanya gadis itu. Blake hanya tersenyum sembari mendorong kursi roda menuju ke taman.
Jenna menghela nafas berat. Sekilas bayang-bayang kebersamaannya dengan Dokter Karl kembali bermunculan dalam ingatannya. Seperti sebuah kilas balik akan kenangan itu, Jenna berusaha menepisnya. Yang ada saat ini adalah dirinya sediri. Blake hanya sebagai pelengkap.
Pria itu bisa saja pergi kapan pun, seperti sebelumnya.
Blake menghentikan kursi di hamparan rerumputan yang hijau. Meski tak menyukai ruangan rumah sakit ini, Blake menyukai bagian luarnya, yaitu taman ini. Begitu juga yang Jenna pikirkan.
Blake merebahkan panggulnya di atas rerumputan. ia bangkit kembali saat melihat Jenna berusaha turun dari kursi roda untuk ikut duduk bersamanya. Dengan perlahan Blake membantu Jenna duduk di atas kursi taman.
"Selama ini aku berusaha agar tidak kembali lagi ketempat ini, tetapi aku gagal," ucap gadis itu, sembari menghirup oksigen sebanyak yang ia inginkan, kemudian memejamkan mata dan mengembuskannya perlahan. "Aku suka udara sore hari di sini, tetapi tidak menyukai musim panas."
Blake tersenyum, melirik ke arah gadis itu, "Aku akan lebih sering mengajakmu jalan-jalan sore hari. Ke tempat yang lebih indah, bukan di sini."
Jenna menoleh pada Blake. Ucapan pria itu memancing reaksi yang sejak kemarin tidak ditampakkannya. Sejak siuman, ia bahagia melihat Blake menemaninya sepanjang hari, tetapi jika itu hanya sebagai bentuk belas kasihan, sungguh, Jenna tidak membutuhkannya.
"Benarkah?"
Pria it mengangguk.
"Asalkan kondisimu membaik." Blake memutar tubuhnya menghadap pada gadis itu, meraih jemarinya dan meremasnya lembut. "Kau bisa melalui ini, Jenna. Aku akan menemanimu melalui ini."
Jenna menatap manik mata pria itu dalam-dalam. Meski menemukan kejujuran dan ketulusan, mengapa ia sama sekali tidak terharu. Ia justrru merasa muak akan janji yang mudah diucapkan para pria. Ia mendengkus lalu membuang muka.
"Kau tak perlu melakukan apa pun hanya karena kasihan padaku, Blake. Aku baik-baik saja."
Blake berusaha menatap mata Jenna yang mulai terlihat sendu. "Aku tdak melakukan ini karena kasihan. A-aku ...." Pria itu tidak melanjutkan perkataannya.
"Apa? Kau tidak bisa melanjutkan karena tak tahu alasan yang tepat agar aku tidak marah? Sudahlah, Blake, tak perlu. Sudah kukatakan padamu, aku baik-baik saja."
Blake mendesah pasrah. Ia bukan tak tahu alasan yang tepat, ia hanya tak ingin mengatakan perasaannya sekarang. Lihat saja, belum juga Blake mengatakan apa pun, Jenna sudah bersikap defensif dengan mengatakan hal yang membuat Blake merasa terintimidasi.
Lagipula jika ia katakan perasaannya, tak mungkin Jenna akan percaya. Ia sudah terlalu menyakiti perasaan gadis itu.
"Tolong, antarkan aku keembali ke kamar," ucap Jenna, dingin, tanpa melihat ke arah Blake. Pria itu hanya mengembuskan nafas perlahan sebelum kemudian melakukan apa yang diminta gadis itu.
***
Ryan masih duduk di tempat yang sama sejak pagi. Hari ini ia meminta beberapa perawat untuk menghubungi dokter lain agar menggantikan, ia harus menyelesaikan masalah yang sedang terjadi dalam pernikahannya.
Ia merasakan dilema yang besar. Di satu sisi ia mencintai Jenna, bahkan tak mampu jika membayangkan hidup tanpa gadis itu. Buktinya beberapa hari ini ia sudah seperti orang gila. Menghubungi Jenna berkali-kali, tapi tak ada jawaban sama sekali. Ia yakin gadis itu pun merasa sangat patah hati.
Namun, di sisi lain ia tak mungkin mengorbankan perikahannya. Meski pada kenyataannya, pernikahan itu tak berjalan sebagaimana mestinya. Hellen tak melakukan kewajibannya sebagai istri.
Ia sungguh tak bermaksud untuk menyakiti Jenna, terlebih membohongi gadis itu tetang statusnya. Ia masih mengenakan cincin pernikahan saat pertama kali bertemu gadis itu. Namun, selanjutnya dan selanjutnya, ia melepaskan benda itu dari jemarinya. Ingin jujur dan mengatakan bahwa ia pria beristri, tetapi ia takut. Takut Jenna akaan meninggalkannya.
Lalu kini, ia bahkan sama sekali tak dapat menjangkau gadis itu. Ini sama saja seperti membunuhnya secara perlahan.
Wanita yang sudah lima tahun ia nikahi, kini duduk di seberang meja, agak jauh darinya. Mereka beradapan seolah sedang melakukan permainan catur. Salah melangkah, maka akan kalah.
Namun, yang Ryan harapkan bukanlah menang atau kalah. Ia ingin mendapat penyelesaian atas masalah ini.
"Sudah berapa lama kau bersamanya?" tanya Hellen, memulai pembicaraan. Ryan mendengkus, membuang wajah. Enggan menatap ke arah Hellen.
"Kau bertanya padaku seolah sudah menjadi istri yang baik."
"Memang aku sudah menjadi istri yang baik! Aku menikah denganmu saat kau bukan siapa-siapa! Kau hanya memiliki klinik kecil itu, dan aku, lihat apa yang kumiliki!"
"Jika kau hanya ingin membahas seberapa banyak yang kau miliki, maka teruskan! Tapi aku tak ingin mendengar omong kosong itu."
"Sejak kapan kau berselingkuh dengan wanita itu, Ryan? Jawab aku!mDan sejak kapan kau tidur dengannya?" Kali ini ada perih di dada Hellen, tatkala mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia tak menyangka suami yang ia cintai mengkhianatinya.
"Aku baru menjalin hubungan dengannya, dan untuk tidur ... apa urusanmu menanyakan sejak kapan aku tidur dengannya? Apakah kau perduli dengan kebutuhanku selama kau pergi?"
"Aku tidak terima dengan apa yang kau lakukan padaku, Ryan!"
Wanita itu bangkit, mendekat pada suaminya kemudian memukul lengan pria itu. Ia menangis sejadinya sembari meremas dadanya yang ia rasa nyeri. Nyeri bukan secara fisik melainkan batin. Batinnya sungguh terluka. Tak berapa lama lalu lunglai. Tubuhnya melorot ke lantai masih dengan isak yang tersisa.
Ryan dengan sigap menopang tubuh lemah itu. Membawanya masuk ke dalam pelukannya. Membiarkan wanita yang pernah dicintai menghabiskan sesak di dadanya.
"Mengapa kau tega melakukan ini padaku, Ryan?" isak Hellen. Ryan mendesah lemah.
"Maafkan aku, Hellen," ucapnya, lirih, mengiring wanita yang kemudian tak sadarkan diri.
***