Ryan menutup koper setelah memasukkan pakaian terakhir. Rencana untuk berbulan madu bersama Hellen sungguh ia wujudkan. Ada banyak harapan yang tersemat, bahwa mereka akan mampu melalui segala rintangan pernikahan mereka.
Tak hanya Ryan, Hellen pun memiliki harapan sama. Menjalani pernikahan bersama pria itu tak pernah mudah. Dan kini ketika sudah berjalan cukup lama, dalam sekejap segalanya nyaris porak-poranda, maka ia tak akan membiarkannya terjadi begitu saja.
Apa yang mereka bangun bukanlah atas dasar paksaan.
Hellen dan Ryan berkuliah di Universitas yang sama, hanya jurusan berbeda. Ryan yang sebelumnya memang tak pernah bergaul dengan lawan jenis, langsung jatuh cinta saat pertama bertemu dengan wanita iotu di perpustakaan kampus.
Beberapa lama hanya bisa memandang dari kejauhan, akhirnya Ryan memberanikan diri untuk mendekat. Wanita dengan rambut hitam tergerai itu menerima ajakannya untuk berkencan.
Meski sudah berhasil melakukan beberapa kali pertemuan dan komunikasi yang intens, tetap saja bukan hal mudah mendapatkan hati Hellen. Wanita itu cantik, dan cukup diidolakan oleh beberapa mahasiswa. Bahkan salah satu dosen sempat menyatakan cinta padanya.
Ryan pun tak menyangkal akan hal itu. Tak mungkin dirinya begitu tergila, jika Hellen tak memiliki keistimewaan itu.
Tak hanya cantik, wanita itu cerdas dan berasal dari kelluarga terpandang.
Suatu ketika, Ryan mengajak Hellen mampir ke apartemennya. Dimulai dari sebuah obrolan ringan, hingga Ryan tak mampu menahan diri untuk tidak mendaratkan ciuman di bibir gadis itu. Sejak saat itulah, Hellen mulai tak mampu melupakan bayang-bayang Ryan dari ingatannya.
Akhirnya mereka menjalin hubungan yang cukup lama, dan menikah meski tanpa restu ayah Hellen.
Ryan telah melakukan perjuangan yang tak main-main untuk mendapatkan Hellen kala itu, jika kini dirinya mengorbankan segalanya dengan mudah hanya karena hubungan sesaatnya dengan wanita lain, sungguh ia sama saja menghina dirinya sendiri.
Ryan kemudian mendekat pada Hellen yang memandangi foto kebersamaan mereka saat di bangku kuliah, senyum terulas di wajah cantik yang masih sedikit pucat.
Ia belum sehat betul, tetapi memaksa untuk melakukan liburan lebih cepat karena terlalu rindu pada suaminya itu.
Ryan mengecup ceruk leher Hellen, mengendus aroma bacaratz yang lembut dan memabukkan. Tentu saja ia masih merasakan hasrat itu pada Hellen. Mungkin benar, Ryan melakukan semua itu hanya karena merindukan momen bersama wanita itu, bukan karena cinta.
Menyakitkan, tapi mungkin saja, bukan?
Hellen meloloskan desahan lirih, membuat Ryan justru tak hentikan diri untuk menjelajah tiap inch permukaan kulit istrinya.
Ia tahu Hellen masih lemah, tapi apa yang ia lakukan tak bisa disalahkan. Cukup lama ia mendambakan wanita itu, merindukan pelepasan bersamanya, tetapi yang ia temukan hanya rfanjang yang dingin.
Kini ketika segalanya kembali, ia tak ingin memberi ampun, bahkan anggap saja tindakan 'brutal' yang dilakukan Ryan terhadap Hellen saat ini adalah sebuah hukuman bagi wanita itu. Satu atau dua permainan, tanpa jeda.
Hellen bahkan tak sempat mengangkat bendera putih, karena permainan ia lanjutkan hingga pelepasan yang ketiga. Hellen jelas kalah telak.
***
Tak hanya Ryan dan Hellen yang menghabiskan waktu bersama sebagai bentuk balas dendam atas momen yang sempat hilang, Blake dan Jenna pun melakukan hal yang sama. Kini Jenna terbangun, masih berada dalam dekapan Blake.
Pria itu bahkan tak mengijinkan Jenna jauh darinya sedikit saja. Segala hal yang ia lakukan, pasti akan menyertakan Jenna di dalamnya.
Tentu saja, jika gadis itu setuju.
Blake tak ingin memaksa, karena ia mengerti kekasihnya itu masih membutuhkan waktu lebih banyak dan intensif untuk memulihkan diri. Namun, baik Blake maupun Jenna tak ingin menganggap penyakit itu sebagai sebuah keterbatasan.
Mereka tetap menghabiskan malam bersama.
Jenna pada akhirnya menerima tawaran Blake untuk bekerja bersamanya, dimulai hari ini.
Blake yang belum pernah melakukan hal semacam ini—bekerja bersama wanita yang ia cintai, membuatnya tak henti menyungging senyum. Terlebih jika memperhatikan bagaimana cekatan Jenna menyelesaikan pekerjaan.
Ia memang gadis yang cerdas, hanya saja bisa jadi ia salah memilih. Sama seperti kesalahannya memilih Ryan.
Namun, tidak. Jenna tidak memikirkan pria itu lagi. Ia sudah melupakannya, atau mungkin berusaha untuk itu. Ia tak ingin berlarut-larut, terlebih kini sudah ada Blake yang mengisi hari-hari dan menemaninya.
Seharusnya itu lebih dari cukup. Tak ada Lagi Ryan dalam hidupnya. Dalam pikiran dan juga hatinya.
Ia kini bahagia, bahkan sangat bahagia. Blake yang sekarang jauh berbeda dengan yang ia kenal saat di bangku sekoah dulu. Kini ia bukan lagi pria pengecut yang akanlari dan meninggalkannya seorang diri.
Meski andai Blake melakukannya hanya karena kasihan padanya, Jenna tak akan mempermasalahkan itu. Karena apa yang dibutuhkan gadis itu hanyalah teman yang bisa menopang dan memberinya pegangan saat ia terjatuh.
Dan untuk saat ini, Blake-lah orangnya.
"Hmm ... Jenna, bolehkah aku mengatakan sesuatu?" tanya Blake kemudian, tampak ragu untuk mengucapkan sebuah keyakinan. Membingungkan, memang, itulah yang kini ia rasakan.
Ia sudah meminta terlalu banyak dari Jenna, entah apakah permintaan kali ini akan dikabulkan oleh gadis itu.
Namun yang pasti, ia tak mampu menahan lagi. Ia tak ingin membiarkan kesempatan berlalu begitu saja. It's now or never.
"Katakanlah, Blake, aku menyimak." Gadis itu meletakkan tumpukan kertas ke atas meja, kemudian menghadap pria yang kini sudah menarik kursi dan duduk tak jauh darinya. Bahkan sangat dekat.
"Aku sudah memikirkan matang-matang tentang hal ini. Demi kau, demi kita ...."
Blake menghentikan kalimatnya, ada banyak hal yang seolah berkecamuk di pikran pria itu. Jenna dapat melihat dari sorot mata Blake. Ada apa sebenarnya? Apa hal penting yang ingin disampaikan pria itu?
Jenna tak sabar mendengar apa yang sebenarnya ingin disampaikan Blake padanya. Perutnya mulai terasa bergejolak, seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan, membuatnya gelisah dan mual di saat yang bersamaan.
"Blake, ayo katakan ... kau membuatku cemas. Apakah ada masalah? Apakah kau ...."
"Tidak, Jenna, tidak. Bukan seperti yang kau pikirkan. Sama sekali bukan tenatng itu. Hanya saja, aku takut kau akan menolak permintaanku ini," ucapnya. Matanya terlihat seperti berkaca, antara gugup, bahkan takut.
Blake mengghela nafas, dalam, berusaha mengusir perasaan tak karuan yang ada dalam hatinya. Tak hanya Blake, Jenna pun kini merasakan hal yang sama.
Apakah Blake akan menyerah lagi kali ini?
"Jenna, aku ...." Lagi-lagi Blake menghentikan kalimatnya, menggantung, membuat gadis di hadapannya mengucurkan keringat dingin, tak sabar menanti.
"Aku mencintaimu, Jenna ... maukah kau menikah denganku?"
Jenna tertegun, mendengar kalimat yang diucapkan Blake dengan tenang, meski sebelumnya batinnya sempat berperang, mencemaskan bagaimana jika Jenna menolak permintaannya.
Namun, gadis itu tak bersuara. Ia terdiam, matanya tampak mulai berair. Ia bahkan sudah sesenggukan dan sesekali terlihat mengusap hidung.
"Hey ... Jenna, mengapa kau menangis? Ssh ... maafkan aku, sayang, jika apa yang kukatakan membuatmu sedih. Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu. Ini ... ini adalah hal yang sejak lama ingin kuminta darimu, hanya saja, entah mengapa aku begitu pengecut, takut akan penolakan darimu. Terlebih setelah apa yang kulakukan padamu dulu."
Blake menarik Jenna masuk ke dalam pelukannya.
"Lalu mengapa sekarang kau katakan, jika takut aku akan menolak?" tanya Jenna, terdengar merajuk. Bibirnya terlihat mencebik, masih tergugu.
"Karena aku tak ingin kehilangan dirimu lagi. Saat kau tiba-tiba pingsan, lalu tak sadarkan diri selama beberapa hari, aku sangat kacau. Aku mengamuk, mengumpat, memohon agar Tuhan mengembalikanmu padaku." Pria itu menjauhkan tubuh Jenna, meminta gadis itu menatap ke dalam matanya.
"Aku bahkan berjanji pada diri sendiri akan menjagamu, dan tak akan menyiakanmu lagi, jika saja kau kembali padaku. Dan keajaiban ini ... kau berada di sini sekarang merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku. Karena itu ... Jenna, kumohon menikahlah denganku."
***