Jenna bungkam, tak tahu bagaimana cara menjawab lamaran Blake yang terkesan tiba-tiba. Tidak. Mungkin saja memang Blake sudah merencanakan sejak lama, tetapi seperti yang baru saja ia katakan, dirinya terlalu pengecut untuk mengatakannya.
Memang, itulah Blake. Namun ... itu dulu, jauh sebelum hari ini.
Blake yang ada di hadapan Jenna saat ini adalah Blake versi terbaik yang pernah ia kenal. Blake versi super gentleman yang berani mengatakan cinta dan melamar gadis yang mungkin saja sebentar lagi akan mati.
Terlalu nekat untuk disebut berani. Bukan berani, itu bodoh.
"Blake ... a-aku ...."
Pria itu tidak tampak terluka, melainkan justru tersenyum lembut.
"Aku tidak memaksamu untuk menjawab saat ini jika kau masih ragu, Jenna. Namun, jika mungkin, aku menginginkan jawaban ya darimu. Karena aku tak ingin menyiakan waktu dan dirimu lagi."
Ucapan tulus dari pria tampan itu membuat Jenna merasa trenyuh. Di saat lainnya pergi entah ke mana, Blake justru mendekat. Saat sahabat seperti Clara pergi meninggalkannya seperti ditelan bumi, lalu Ryan ... Jenna masih nyeri setiap kali menyebut nama itu.
Pria yang sempat membuatnya tergila-gila dan begitu bersemangat menjalani hidup. Namun kini, ia sudah menorehkan luka di hati Jenna.
"Jenna ... apakah kau mendengarku?" tanya Blake, ketika melihat tatapan Jenna yang seolah menerawang ke dimensi lain. Tak lagi berada di sisinya.
Gadis itu terkesiap, kemudian berusaha menepis ingatan tentang Ryan yang sekejap tadi sempat mampir dalam benaknya. Tak ada lagi Ryan, itu yang harus terus ia gaungkan dalam pikirannya.
"Ah, m-maaf, Blake ... aku mendengarkanmu, aku hanya ...." gadis itu menggeleng. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, seolah tak mampu membuka mata, terasa hendak tertutup. Sungguh ia tak menyukai serangan bertubi yang tak kenal lelah seperti ini.
Penyakit ini mungkin tak akan lelah menyerangnya, tapi sungguh, Jenna mulai jenuh dan letih harus terus bertahan untuk sesuatu yang tak pasti.
Kesembuhan adalah hal abstrak baginyan saat ini. Tak akan ada yang bisa memastikan hal itu. Meski Dokter Armando menjanjikan kesembuhan nyata melalui donor sumsum, tetapi siapa yang rela menahan sakit demi menyembuhkan mayat hidup seperti dirinya?
Blake yang sedaritadi memerjhatikan, mampu membaca kegundahan yang dirasakan Jenna saat ini. Ia kemudian menggeser tubuhnya semakin dekat pada gadis itu.
"Katakan padaku apa yang membuatmu bimbang," ucapnya, sembari menggenggam jemari kekasihnya.
Jenna mendesah, memikirkan dirinya, memikirkan Blake andai ia menerima pinangan pria itu. Jika lalu dirinya harus pergi, bagaimana dengan Blake? Bagaimana dengan perasaannya, jika selama hidup bersama Jenna waktunya tersita untuk merawat gadis itu?
"Blake ... tentang ucapanku yang memintamu untuk menemaniku, bukan berarti aku menahanmu selalu bersamaku. Tak berarti kau harus menikahiku."
"Aku tahu. Aku melakukan ini, mengatakannya padamu, bukan karena permintaanmu, melainkan karena keinginanku sendiri. Dan semua ini ... aku sudah mengatakannya, bukan? Aku sudah merencanakan sejak pertama bertemu denganmu."
Jenna hanya menyimak apa yang dikatakan Blake.
"Apakah aku harus mengulanginya? Aku mencintaimu, Jenna ... aku ingin kau menikah denganku. Aku tak akan bertanya, tak akan meminta kali ini. I insist you. Ayo kita menikah."
Jenna tak mampu menahan gejolak hatinya kali ini. Juga tak sanggup menahan bulir air matanya yang tanpa aba-aba menetes begitu saja.
"Kau benar-benar bodoh, Blake. Kau menyiakan hidupmu hanya untuk menikahi mayat hid-"
Blake tak ingin Jenna melanjutkan kalimat yang terkesan merendahkan dirinya sendiri, karenanya ia membungkam gadis itu dengan kecupan, hal yang menjadi kebiasaannya beberapa waktu terakhir ini.
Jenna tak akan diam jika ia hanya membungkam kata dengan kata, karenanya, biarkan aksi yang melakukannya.
Blake membiarkan diri mereka hanyut akan kecupan itu, makin intens. Namun, kesadaran Jenna dengan cepat kembali, keika mengingat bahwa mereka masih berada di kantor.
Perlahan Jenna menjauhkan tubuhnya dari Blake. Membuat pria itu teringat hal yang hampir saja terlupa.
Ia merogoh saku jas dan mengambil sebuah kotak kecil. Ia membuka dan menampilkan sebuah benda kecil berkilau di hadapan Jenna. Mata gadis itu terlihat berkaca.
"Aku tak tahu harus berkata apa. Ini ... sungguh manis, Blake ... bahkan terlalu manis. Aku tak pantas menerima ini semua darimu," ucap Jenna, tergugu.
Blake tak menunggu, ia segera mengambil benda itu dan menyematkan di jari manis Jenna. Ia tak lagi perduli apakah gadis itu akan menolak, atau menyanggah dengan dalih yang tak dapat ia terima dengan logika.
Yang ia tahu saat ini adalah ia mencintai Jenna, dan ingin hidup bersama gadis itu, dalam kondisi apa pun.
***
Jenna melamun, memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya. Perasaan tak menentu menyusup ke dalam relung hatinya.
Apa yang dilakukan Blake sungguh tak pernah ia sangka. Bahkan terlalu tergesa jika mengingat bagaimana kondisinya saat ini. Ia berada di antara hidup dan mati saat ini. Andai pun ia mendapat donor sumsum, tak lantas begitu mudah.
Masih ada serangkaian tahap dan proses yang harus ia jalani, dan tak ada jaminan kondisinya akan baik-baik saja setelah menjalani operasi pencangkokan.
Jika ia berhasil melalui masa kritis, maka ia hanya tinggal menjalani pemulihan yang terbilang cukup lama.
Jenna menoleh ke arah pria yang sedang terlelap di ranjang, sementara dirinya tak mampu terpejam meski sejenak. Ia hanya duduk di sudut ruangan, tepekur dan berpikir.
Andai ada yang bertanya tentang perasaan Jenna terhadap Blake, untuk saat ini mungkin belum sepenuhnya. Namun, bukan itu yang menyebabkan dirinya bimbang menerima pinangan Blake, melainkan seperti apa yang telah ia sampaikan pada pria itu.
Pria itu kemudian melenguh, meraba sisi ranjang yang dingin. Dalam kondisi setengah sadar ia bangkit, mencari keberadaan Jenna yang bersembunyi di sudut ruangan yang gelap. Blake sepertinya menyadari keberadaan gadis itu di sana.
Pria itu bangkit dan menghampiri Jenna. Ia berlutut, agar dapat sejajari mata gadis di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan di sini, sayang? Ayo tidur ... ingatlah, kau tidak boleh terlalu lelah," ucap Blake, membelai wajah Jenna.
Gadis itu membalas dengan hal yang sama, membelai wajah Blake yang ditumbuhi bulu halus di rahangnya. Tak ada kata yang ia ucapkan, bahkan Blake pun sama.
Hanya tatapan mereka yang saling beradu dan menerobos satu sama lain, berusaha memahami isi hati satu dengan yang lain. Saat ini, Jenna tak butuh kata-kata. Ia terlalu sering mendapatkan itu dari pria yang pernah mampir sesaat dalam hidupnya untuk sekedar mencicipi satu malam bersamanya.
Saat ini ia hanya membutuhkan bukti, kepastian, bahwa ia akan baik-baik saja. Begitu pula Blake dan kehidupan mereka nanti.
Blake membiarkan Jenna membelai, menerobos ke dalam matanya, atau melakukan apa pun yang ia inginkan, jika itu bisa membuat perasaannya baik-baik saja.
Namun, ia merasakan belaian Jenna makin lama makin melemah, dan tak lama kemudian perlahan menghilang.
***