Regan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Setelah meninggalkan Rachelia, ia langsung berderap menuju ruang kerja pribadinya di pethouse miliknya. Pria itu melepaskan napas berat dan memejamkan matanya sejenak, lalu mengusap wajahnya gusar.
Regan hampir saja kehilangan kendali. Ia nyaris gagal menahan tangannya untuk tidak memukul atau mencekik leher perempuan itu. Emosinya memang tidak bisa terbendung setiap dia berdekatan dengan gadis itu, tetapi dia harus menahannya, ini belum waktunya. Ya, ini memang rencananya sejak awal untuk membunuh gadis itu dengan tangannya sendiri, tetapi belum waktunya ia melakukan hal menyenangkan tersebut. Ia harus bisa menahan diri. Sebentar lagi, setelah pernikahannya dengan Rachelia, dia akan melampiaskan segala emosi yang mengerubungi hatinya kepada perempuan itu.
Demi Tuhan, dia teramat sangat membenci kakak beradik itu. Baginya, Rachelia adalah sosok iblis kecil berparas malaikat. Gadis itu memang benar-benar pintar menyembunyikan kebusukannya. Tampang polosnya yang tampak tidak mengetahui apa-apa, sangat bertolak belakang dengan kelakuan yang dimilikinya, hampir saja membuatnya luluh. Gadis sialan itu sangat pintar berkilah dengan semua kebenaran yang sudah terpampang nyata di depan.
"Biadab! Sialan!" Regan menggeram marah sembari menghantam meja di depannya.
Matanya memerah, tangannya terkepal kuat di atas meja. Ia memejamkan matanya sekali lagi, mencoba menahan gejolak emosi yang sejak tadi menohok perasaannya. Dengan deru napas yang tersengal, ia mulai menggerakkan salah satu tangannya untuk mengambil sesuatu di atas meja.
"Apa kau sudah melihatnya?" tanyanya pada selembar foto di tangannya. "Adikmu. Adik kecil kesayanganmu itu, apa kau sudah melihat air matanya?"
Bibirnya yang bergetar, sedikit tertarik membentuk senyuman keji.
"Itu belum seberapa, brengsek!" Sedikit memberi jeda di sela ucapannya. "Aku yakin kau melihatnya. Dan akan kupastikan kau akan menyaksikan semua penderitaan adikmu selama dia hidup bersamaku. Sama seperti apa yang kau lakukan pada Valerie."
Ya, pria itu akan melakukannya. Tekadnya sudah bulat dan kuat. Dendam itu sudah melekat sempurna di dalam jiwanya. Tidak ada yang bisa menghilangkannya. Perasaannya akan segera tenang ketika menyaksikan kesengsaraan gadis itu.
Dan ia yakin, Rachelia akan menderita dan mati secara pelan-pelan karenanya. Regan sudah tidak sabar menyaksikan penderitaan yang akan dialami oleh gadis itu. Akan dikupas secara pelan dan begitu menyakitkan. Dan Regan akan menyaksikannya dengan tertawa keras, dan kebahagiaan yang meletup-letup.
****
Regan teringat bagaimana kehidupannya dulu, saat di mana dirinya hidup serba kekurangan. Sekitar tujuh belas tahun yang lalu, tepatnya ketika lelaki itu menginjak usia ke tiga belas. Ia hanyalah seorang anak laki-laki yang berasal dari panti asuhan bersama adik perempuannya. Mereka bukan anak yatim piatu sebenarnya, bukan juga anak yang sengaja dititipkan oleh kedua orang tuanya. Hanya saja, tinggal di panti asuhan adalah pilihan mereka sendiri.
Pernah suatu ketika, Regan mendengar bahwa dia adalah anak yang tidak pernah mereka inginkan. Ibunya hamil sebelum menikah dan meminta pertanggung jawaban dari seorang pria yang menjadi ayahnya hingga saat ini, sebelum akhirnya enam tahun kemudian kembali menghadirkan adik perempuan yang bernama Valerie.
Keluarga mereka tidak pernah akur. Tidak mengenal keharmonisan. Pertengkaran seolah menjadi hal yang lumrah dalam keluarganya. Layaknya sebuah kewajiban untuk memulai hari-hari di rumah sederhana itu. Tekanan kondisi ekonomi adalah satu-satunya alasan menjadi pemicu. Hingga saat di mana kegaduhan yang benar-benar hebat itu terjadi. Ibunya yang memang pada awalnya berprofesi sebagai wanita penghibur di salah satu bar di Chicago, kembali menjual dirinya pada pengusaha kaya yang membuat ayahnya menjadi murka.
Mereka saling menutupi kesalahan yang pada akhirnya berujung makian. Namun, bagi Regan, keduanya memiliki kebejatan yang sama. Ayahnya yang seorang penjudi dan hanya menghabiskan waktu serta uangnya untuk menyewa wanita-wanita murahan di luar sana. Wajar jika kemudian Regan membawa adiknya keluar dari rumah sederhana tersebut, karena tempat itu sama sekali tidak menyediakan kehangatan layaknya sebuah keluarga yang yang saling menyayangi dan melindungi. Regan yakin, bahwa Valerie bisa lebih bahagia jika hanya bersama dirinya, tanpa kedua orang tua mereka.
Keteguhannya untuk membahagiakan Valerie benar-benar butuh kerja keras. Semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Regan membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun lamanya hanya untuk menggapai semua kesuksesan tersebut. Saat itu, dengan bermodalkan beasiswa yang diraihnya di usia delapan belas tahun, anak laki-laki itu akhirnya memutuskan melanjutkan sekolahnya di New York. Dan tujuh tahun kemudian, dia kembali membawa Valerie dari panti asuhan dan menyekolahkannya. Menyewa sebuah apartemen sederhana dari hasil usaha kecil yang ia miliki dari kota julukan Big Apple tersebut.
Awalnya memang hanya usaha kecil dan sederhana. Namun, berkat kerja kerasnya mengelola perusahaan dengan baik dan tanpa patah semangat menyuplai peralatan-peralatan yang dimilikinya, serta bantuan keberhasilannya memenangkan tender di perusahaan minyak terbesar di Dubai, tak ayal membuat perusahaan kontraktor miliknya semakin besar dan berkembang hingga sekarang. Perusahaan-perusahaan lain bahkan tak henti menawarkan jalinan kerja sama dengannya.
Dan saat ini, ia sudah berhasil membuat sang adik bahagia bersama dirinya. Mereka hanya hidup berdua di sebuah rumah mewah yang dibeli. Tetapi kini dia tidak bisa lagi melindungi dan membahagiakan adiknya.
Orang tuanya?
Entahlah. Dia tidak ingin mencari tahu lagi tentang mereka. Persetan.
****
Bibir tipis itu tak henti-hentinya mengulum senyuman kecil turut serta dengan sepasang iris mata sebiru laut itu bergerak, menyapu semua detail yang terperangkap oleh indra penglihatan, terkagum akan pemandangan yang ada di bawahnya.
Sudah dua hari lamanya Rachelia terkurung di pethouse itu, namun ia baru saja mengetahui bahwa kamar yang ditempatinya saat ini ternyata memiliki balkon. Bukan, bukan balkon itu yang membuatnya terkagum, tetapi pemandangan di bawah balkon tersebut.
Sebuah taman yang cukup luas, beralaskan rumput hijau yang sepertinya berjenis cynodon dactylon, dan dihiasi beberapa macam jenis bunga dengan warna-warna yang berbeda, serta pohon-pohon kecil yang juga berwarna hijau. Benar-benar memanjakan mata. Belum lagi udara yang sejuk, membuat Rachelia tak henti-hentinya menghirup udara dalam-dalam udara segar itu. Hatinya seakan tenang ketika ia berdiri di tempat itu.
Namun, ketenangan itu menghilang ketika Rachelia mendengar suara pintu yang terbuka, membuat gadis berambut coklat gelap itu sedikit melirik sejenak, tanpa berniat menggerakkan kepalanya untuk sekedar menoleh. Gadis itu hanya tak acuh, ia benar-benar tidak ingin tahu siapa yang membuka pintu kamar tersebut. Ia tetap bergeming dengan tubuh yang masih menghadap ke arah taman yang sejak tadi dipandanginya.
Dia seakan tidak peduli siapa pun orang itu, mau Regan yang memasuki kamarnya ia tidak peduli lagi. Meskipun kedatangan pria itu untuk membunuhnya, Rachelia pun juga tidak peduli, rasanya Rachelia tidak ingin memikirkannya lagi. Ia muak, Rachelia muak dengan semua yang terjadi kepadanya.
Semuanya benar-benar memuakkan!