Mobil hitam itu tampak baru saja berhenti tepat di pekarangan rumah minimalis. Regan turun dari sana dan menyerahkan kunci kepada seorang pria yang baru saja menghampirinya, sebelum berderap memasuki rumah tersebut.
"Bagaimana?" tanya Regan pada seorang wanita paruh baya yang baru saja menyambut kedatangannya.
"Dia baik-baik saja, Sir," jawab sang wanita sembari terus mengikuti langkahnya.
Pria itu menapaki anak tangga satu per satu dengan langkah tenang. Di tangan kirinya menggenggam buket bunga. Setelah hampir satu menit kemudian, ia sudah sampai di depan sebuah pintu kamar bercat putih. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan sebelum mengulurkan tangan dan membuka pintu tersebut.
Bibirnya terkulum membentuk senyum tipis namun tulus ketika melihat sosok bidadari yang nampaknya tengah memandangi pemandangan malam di depan jendela besar. Regan memasuki kamar luas dan remang-remang itu, menghampiri sosok yang tengah duduk di atas kursi roda tersebut. Langkahnya pelan dan tenang dengan senyum tulusnya yang tak pernah lepas di setiap kali ia melangkah.
Dengan perlahan, pria itu berjongkok di hadapan sang Bidadari, menatap lekat wajah cantik nan pucat itu.
"Hai …" katanya dengan nada yang begitu lembut. "Kau merindukanku? Aku membawakan ini untukmu."
Regan meletakkan bunga tersebut di atas pangkuan gadis itu. Bibir pucatnya tak bergerak sedikit pun untuk menanggapi suara berat milik Regan. Iris kelamnya bahkan tidak menatap seseorang yang baru saja berbicara padanya. Sorot matanya hanya tertuju pada satu titik yang entah apa di luar sana yang langsung membuat hati Regan serasa diremas ketika melihat sosok bidadari cantik itu tak merespons perkataannya.
Regan menggenggam tangan dingin dan ringkih itu sebelum berujar, "Aku akan menikahinya. Ya, gadis itu. Aku harap kau mengizinkan ku."
Tangan besar itu terulur mengusap salah satu pipi tirus sang bidadari rapuh yang terlihat menyedihkan itu.
"Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu. Kau harus menungguku, Sayang. Dan kau akan bahagia setelah ini. Aku janji!"
****
"Perintahkan Andreas segera ke ruanganku. Sekarang!"
Regan memutuskan sambungan telepon setelah mengatakan kalimat perintah tersebut. Ia ingin mencari tahu tentang persiapan pernikahannya yang memang diserahkan pada asisten pribadi sekaligus orang kepercayaannya, Andreas.
Tidak lama kemudian, pintu ruangan kerja akhirnya terbuka dan menampakkan Andreas yang bergerak memasuki ruangannya.
"Ada apa, Mr. Regan?" tanya Andreas setelah sedikit membungkuk hormat.
"Bagaimana persiapan pernikahanku?"
"Semuanya sudah siap, Sir. Pernikahan akan dilaksanakan empat hari lagi."
Regan mengernyit samar. "Bukankah itu terlalu lama? Ini sudah satu minggu sejak aku memintanya."
Sungguh, Regan tidak bisa berlama-lama lagi. Seluruh tubuhnya sudah mendesak setengah mati untuk menyiksa gadis sialan yang tengah tersekap di dalam penthouse-nya itu. Ia sudah tidak sabar melihat gadis itu menangisi hidupnya karena kehilangan seluruh kebahagiaan yang ia miliki.
"Maaf, Sir. Kami sudah berusaha secepat mungkin untuk menyiapkan semuanya," ucap Andreas membela diri dari kemarahan tuannya.
Baiklah. Itu bukanlah masalah besar. Empat hari lagi. Hanya sebentar. Regan akan menunggu momen yang baginya sangat indah itu.
Namun, sesuatu yang direncanakan memang belum tentu bisa terjadi. Seperti halnya Regan. Ketika ia mengatakan bahwa dia akan menahan diri untuk tidak menyakiti gadis itu sebelum hari pernikahannya terlaksanakan, sungguh tidak terwujud, semuanya hanya dalam pikiran semata. Semua yang dikatakan ketika di kantor tadi, tidak ada yang terbukti.
Pria itu bahkan sudah berdiri tepat di depan kamar Rachelia, menatap tajam pintu bercat putih gading yang sama sekali tidak bersalah di hadapannya itu. Entah mengapa, wajah gadis sialan itu selalu menghantui pikirannya. Regan bersumpah bahwa ia sangat membenci wajah itu. Terlebih lagi saat gadis itu mengeluarkan air mata di depannya, sungguh Regan sangat-sangat membenci gadis itu.
Jika boleh jujur, Regan juga tidak mengerti akan perasaannya saat ini. Mengapa dia harus melampiaskan semuanya pada seorang gadis yang bahkan tidak bersalah sama sekali? Gadis yang sesungguhnya bukan pelaku utama atas kejadian yang menimpa adiknya?
Benar kata David, seharusnya dia tidak perlu terlalu berlebihan terhadap gadis itu yang sama sekali tidak bersalah itu, karena memang gadis itu sama sekali tidak bersalah. Bersikap kekanakan karena melampiaskan amarahnya kepada gadis lemah seperti Rachelia, seperti perkataan David. Ya, seharusnya memang seperti itu.
Tetapi, entah angin dari arah mana yang seakan menampar kepalanya dengan kuat, menyadarkan dirinya agar tetap melanjutkan sikap bengisnya. Biar bagaimanapun juga, di mata Regan, gadis itu tetaplah bersalah. Apapun itu. Rachelia tetap bersalah karena terlibat dalam masalah Valerie.
Dengan gerakan cepat, tangannya terulur membuka pintu hingga menimbulkan suara yang membuat Rachelia memekiki kaget. Perempuan yang tengah berbaring di atas ranjang itu lantas bangkit berdiri dengan mata yang terbelalak takut saat melihat Regan yang melangkah cepat mendekatinya.
"Apa—" Belum sempat Rachelia menyelesaikan kalimatnya, Regan tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga terempas dengan kasar ke atas tempat tidur, Regan lalu menempatkan dirinya di sela paha Rachelia dan sedikit menindih tubuh kecil itu. Tanpa memperdulikan teriakan dengan engahan berat karena gadis itu kesulitan bernapas akibat tindihan dari tubuhnya yang besar. Badan kekarnya yang masih terbalut kemeja putih itu nyaris menutupi sekujur tubuh mungil Rachelia.
"Lepaskan aku!"
Rachelia kembali membuka suara, namun suaranya meredam ketika Regan membungkam mulutnya dengan bibir tipisnya. Melumat dan menekannya dengan kasar. Tangan-tangan kecil itu berusaha mendorong dan memukul tubuh besar di atasnya. Tetapi sekuat apa pun tenaganya yang dikeluarkan, Regan tidak bergeser sedikit pun. Kedua kakinya yang terbuka lebar bergerak liar ke udara.
Kepala Regan bergerak turun ke leher jenjang Rachelia setelah melepaskan bibir itu, dan pada saat itu juga teriakan melengking tersebut terdengar, memekakkan telinga. Namun, Regan tidak peduli. Justru pria itu merasa senang akan invasinya terhadap tubuh lemah di bawahnya itu yang sama sekali tidak bisa melawannya. Pria itu kemudian menghirup aroma khas itu dalam-dalam, menghisap dan menggigitnya sesekali, membuat sang empunya berteriak kesakitan. Tangan besarnya kemudian bergerak menangkupi dada gadis itu lalu meremasnya dengan kuat, tanpa meninggalkan wajahnya dari lekukan leher sang gadis.
"Kau akan hancur malam ini," bisiknya seraya merobek dengan kasar gaun tidur yang dikenakan Rachelia. Ia kemudian menangkap kedua tangan kecil sang gadis lalu menekannya dengan satu tangan ke atas ranjang. Sementara tangan yang lain, berkutat pada dada yang penuh dan padat itu. Gadis itu semakin menjerit frustasi ketika Regan menarik dalamannya ke bawah.
Tubuh Rachelia menegang bersamaan dengan jari-jari kakinya yang tertekuk kuat, juga tangannya yang terkepal erat saat merasakan mulut hangat Regan yang menyecapi puncak dadanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa perasaan aneh itu membuat perasaannya tertahan sejenak. Regan menghisapnya rakus, sesekali memainkan lidahnya pada benda padat tersebut. Ia terus menggerakkan lidah dan kepalanya, sama sekali tidak memperdulikan permohonan serta tangisan pilu gadis yang berada di bawah tubuhnya itu.
Regan merasakan Rachelia yang tak mampu lagi berkutik. Engahan berat yang diiringi oleh isakan itu sama sekali tidak dapat membuat hati Regan luluh dan menghentikan aksi bejatnya. Kedua tangan gadis itu bahkan sudah tertahan sempurna oleh jemari besarnya di atas kepala Rachelia.
"Kau akan hancur malam ini, Rachel!"