"Re—Regan …."
Hanya satu kata yang keluar dari bibir pucat gadis itu serta setetes air mata yang mengalir cepat, membasahi pipi mulusnya yang terlihat begitu pucat. Membuat Regan tercengang, menatap tidak percaya pada sosok cantik di hadapannya itu.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari suara yang keluar dari bibir gadis kesayangannya itu. Suara yang sudah ditunggu-tunggunya selama ini akhirnya Regan bisa mendengarnya juga terucap dari bibir gadis kesayangannya itu.
"Ya … iya." Pria itu meneguk air liurnya dengan kasar. "Kau mengenal ku? Ini … ini aku Regan. Kau baru saja memanggil namaku, Sayang?"
Hening.
"Angel, kau mengenalku, bukan?" tanya Regan sekali lagi walau gadis itu kembali tidak meresponnya, meyakinkan bahwa apa yang baru saja didengarnya itu bukanlah halusinasi yang biasa ia rasakan. Suara gadis itu benar-benar nyata.
Jangankan Regan, para pelayan yang berdiri tidak jauh dari mereka pun sempat termangu ketika mendengar suara normal Nona mereka yang sudah berbulan-bulan tidak terdengar itu. Mereka bahkan tidak percaya, gadis itu pada akhirnya bisa mengenali tuan Regan. Padahal selama ini, gadis itu sudah sangat begitu sering menyerang Regan ketika ia tengah mengamuk seperti tadi. Tuanya bahkan seringkali pulang ke rumah dengan membawa hasil berkas cakaran atau pukulan dari sang nona. Karena Gadis itu memang sama sekali tidak menyukai pria yang mendatangi tempatnya.
Perempuan tersebut selalu meronta-ronta dan menerkam siapa pun lelaki yang ia lihat ketika tengah tersadar. Maka dari itu, Regan sama sekali tidak pernah membiarkan satu pun laki-laki yang memasuki kamar ini, kecuali dirinya. Bahkan seorang dokter yang rutin memeriksa keadaan gadis yang diberi Angela itu adalah seorang wanita setengah paruh baya. Regan benar-benar membatasi siapa pun orang yang berjenis kelamin laki-laki untuk mendatangi tempat tersebut.
"D—ia … jangan …."
Lirihan itu kembali terdengar, memecah kesunyian di ruangan remang tersebut, membuat Regan kembali menengadahkan kepalanya, menatap lekat mata kelam yang berkaca-kaca itu. Seakan mengerti apa maksud dari perkataan gadis itu, Regan kembali bersuara
"Ya, Angel. Dia sudah bersamaku, dan sebentar lagi aku akan menikahinya. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu. Percaya padaku, Sayang."
Dan airmata itu kembali menetes, membuat sepasang iris biru yang melihatnya segera menyekanya dengan lembut. Bibir pucat dan kering milik gadis itu hendak menyuarakan sesuatu namun dengan cepat Regan berujar, "Kau tenang saja. Dia sudah berada dalam genggamanku. Sebentar lagi gadis itu akan hancur di tanganku dia benar-benar akan kubuat menderita. Bersabarlah, Sayang."
****
Seorang pria dengan pakaian formalnya tampak baru saja turun dari mobil. Ia melangkah lebar menuju rumah miliknya seraya menampilkan wajah arogan yang berwibawa.
"Ke ruang kerjaku, sekarang!" Perintahnya pada sang asisten pribadi sekaligus orang kepercayaannya—tanpa menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" tanyanya setelah sampai dan duduk di ruang kerja pribadinya seraya menatap asisten pribadinya tersebut.
Matanya masih terus mengamati gerakan sang asisten yang tampak tengah mengeluarkan sesuatu dari dalam map coklat, lalu sedetik kemudian, pria itu menyodorkan beberapa lembaran kertas ke arahnya.
"Kami mendapat kabar bahwa pria itu akan menikah, Tuan Gavin," kata sang asisten yang membuat alis pria di hadapannya itu terangkat tinggi-tinggi seraya meraih kertas-kertas yang baru saja diletakkan di atas meja.
"Lalu apa untungnya kau menginformasikan hal ini padaku?" tanya pria itu dengan kasar.
Sang asisten berdeham pelan. "Kita bisa mengalihkan perhatiannya melalui perempuan itu, Bos."
Wajah menyeramkan Gavino perlahan terlihat tenang. Salah satu sudut bibirnya tertarik hingga membentuk senyum licik yang samar. Ia membenarkan perkataan asistennya barusan. Tanpa perlu penjelasan panjang lebar, dia mengerti, sangat mengerti.
Perempuan itu tentu saja akan menjadi kelemahan Regan, bukan?
Senyum liciknya semakin terlihat jelas. Ia lalu kembali menatap sang asisten dengan tatapan yang seakan kemenangannya sudah berada di depan mata seraya berujar, "Lakukan apa pun itu yang bisa membuat pertemuanku dengannya seolah-olah tidak terencana!"
****
Rachelia yang tengah berdiri menikmati pemandangan taman yang ada di bawahnya itu lagi. Semenjak kejadian itu, tepatnya dua hari yang lalu degup jantung Rachelia tidak pernah stabil hanya karena mendengar decitan pintu yang terbuka. Jam tidurnya bahkan tidak bisa dikatakan normal, saking takutnya ia lebih memilih mengawasi pintu kamar daripada harus memejamkan matanya karena takut tiba-tiba Regan kembali memasuki kamarnya dan kembali menyerangnya dengan membabi buta.
Demi Tuhan, itu benar-benar menjijikan.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan lega di hatinya. Karena sejak kejadian tersebut Regan sudah tidak pernah menunjukkan batang hidungnya lagi.
Kenapa? Entahlah. Perempuan itu tidak ingin tahu. Sangat tidak ingin mencari tahu kenapa pria sakit jiwa itu tidak pernah terlihat lagi.
Baguslah, Rachelia justru berharap kalau pria itu benar-benar menghilang dari muka bumi ini, agar pria itu tidak kembali mendatangi dan melecehkannya kembali. Sungguh, Rachelia sangat berharap agar kematian segera menjemput pria brengsek itu. Rachelia sangat-sangat berharap hal itu akan terjadi dan mengembalikan kehidupan tenangnya seperti sedia kala.
Dan saat dua hari itu juga, Rachelia selalu mendoakan apa pun yang dapat membuat Regang mati mendadak agar ia bisa terbebas dari semua ancaman yang dilontarkan laki-laki itu.
Gadis itu kemudian menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menghembuskannya pelan. Matanya terpejam, menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya yang anggung. Kedua tangannya diletakkan di atas terali besi itu. Sepertinya tempat ini akan menjadi tempat terfavoritnya. Taman itu benar-benar terlihat indah terhampar di hadapannya. Terlebih lagi di saat malam hari, taman itu benar-benar terlihat indah, membuatnya merasa nyaman dan tentram.
Bunyi kunci dan pintu yang dibuka membuat matanya perlahan terbuka, lalu berbalik dan melangkah melewati pintu kaca pembatas. Namun, ia tiba-tiba berhenti. Dugaan Jeane yang memasuki kamarnya—lenyap seketika saat pupil matanya menangkap sosok malaikat pencabut nyawanya yang tengah berdiri diambang pintu kamar.
Oh Tuhan!
Tubuhnya bergetar. Entah mengapa perasaannya semakin merasa tidak enak dengan penampilan Regan saat ini. Apa lagi saat ia melihat tatapan tajam milik pria itu yang bergerak dari ujung kaki hingga kepalanya, lalu kembali menatap matanya. Lelaki biadab itu seolah mengamati tubuhnya. Dengan tatapan sorot mata yang benar-benar melecehkan. Pria itu benar-benar kurang ajar.
Jantungnya seakan direnggut paksa ketika Regan melangkah ke arahnya. Tidak cepat. Sungguh, langkah pria itu sangat santai, namun bukan itu yang membuat Rachelia juga turut melangkah mundur, tetapi wajah dan sorot matanya. Wajah pria itu menggelap, sorot matanya memancarkan kebencian yang sangat mendalam, belum lagi seringai licik yang melengkung sangat jelas di salah satu bibirnya.
Benar-benar menyeramkan.