Napasnya tertahan ketika Rachelia memutar handle pintu, mendorong pintu kamar itu terayun membuka dan mendapati Regan yang tengah menatapnya balik dengan tatapan nyalang.
Saat ini Regan duduk di atas ranjang dengan minuman keras di tangannya. Tampak kacau. Terlihat jelas kalau pria itu sudah dalam pengaruh minuman keras tersebut. Sial! Apa pria itu berniat untuk mabuk di hari pernikahan mereka?
Rachelia mendekat dengan takut-takut. "Apa ini kelakuan orang yang katanya sangat dielu-elukan? Mabuk-mabukan bahkan di saat pesta pernikahannya belum berakhir?"
Regan mendongak. "Apa pedulimu, bitch?" desis Regan, lalu kembali menenggak minuman keras tersebut langsung dari botolnya.
"Aku hanya kasihan kepada kamu, Regan. Apakah kau sebegitu tidak inginnya menutupi sifat menjijikkan itu di depan banyak orang? Sampai kau harus mabuk-mabukan dan meninggalkan pesta pernikahanmu? Paling tidak, tunjukkanlah dirimu seperti yang diketahui orang selama ini, menjadi pria terpandang yang dielu-elukan orang banyak."
Entah dapat keberanian dari mana Rachelia, sampai seberani itu mengeluarkan kalimatnya, kalimat yang sudah membuat Regan bergemeletuk menahan amarah.
Hanya saja dia masih marah dengan pria itu. Belum selesai amarahnya tentang pria itu yang memata-matainya lewat Audrey, bahkan dia ditipu habis-habisan. Rachelia masih mencoba untuk tidak percaya, bagaimana mungkin wanita sebaik Audrey itu hanya berpura-pura padanya. Tetapi ternyata, semua itu telah disusun apik oleh Regan dan mereka bersama-sama mempermainkan hidupnya.
"Wah ... ternyata kau sudah semakin berani, Rachelia!" desis Regan. Gerungan kasarnya itu diikuti dengan melemparkan botol yang masih berada di tangannya menghantam tembok, membuat botol itu seketika hancur berkeping-keping.
Rachelia berjengit kaget. Mundur perlahan saat melihat Regan sudah berdiri dan mulai mendekatinya.
"Sepertinya kau semakin pintar berbicara, Rachelia. Mulutmu itu sudah semakin pandai ...." Regan maju dan mencengkeram mulut Rachelia dengan kasar. Membuat wanita itu seketika meringis dan mencoba melepaskan cekalan tangan itu dari mulutnya, yang jelas sia-sia. "Kenapa kau tidak memuaskan aku saja dengan mulut itu?" suara Regan berubah serak.
Rachelia membeku oleh kata-kata Regan. Rachelia menyesal, seharusnya ia tidak perlu mengikuti Regan sampai ke sini—harusnya ia membiarkan saja apa yang ingin dilakukan pria gila itu.
Tetapi semuanya sudah terlambat, dirinya kini sudah berada dalam cengkraman pria iblis itu. Apalagi ketika menyadari bahwa tatapan mata Regan kali ini bukan tatapan mata orang mabuk. Pria itu sudah sadar sepenuhnya.
Dengan kasar, Regan mencium bibir Rachelia. Sesekali menggigitnya, membuat bibir itu seketika mengeluarkan darah segar. Rachelia yang tidak tahan diperlakukan seperti binatang balas menggigit bibir Regan, kuat dan kasar.
"Sialan!" umpat Regan. Melepaskan ciuman mereka dan memegang bibirnya yang sudah mengeluarkan darah, lebih banyak dari darah bibir Rachelia.
Regan menarik tangan Rachelia dengan kasar. "Kau sudah semakin berani ternyata, huh!"
Rachelia menyentak lengannya dengan sekuat tenaga yang memang tidak dipegang kuat oleh Regan, lalu berlari mendekati pintu kamar, berniat kabur dari situ.
Namun, sebelum mencapai pintu keluar. Regan merenggut bahunya dengan kasar, kemudian membalik tubuh itu agar ia kembali berbalik ke arahnya. Rachelia menjerit kesakitan saat punggungnya membentur dinding kamar karena Regan menyudutkannya di sana.
"Mau kemana, heh?" ujarnya sambil mengunci kedua lengan Rachelia ke atas dinding.
"Turun ... aku mau ke bawah, Regan!" teriak Rachelia dengan mata menyala-nyala namun penuh ketakutan.
"Tidak! Kau harus tetap berada di sini untuk memuaskan aku." Regan menarik paksa gaun indah itu, mengoyaknya di bagian dada membuat dada Rachelia menyembul dari balik bra yang masih dikenakannya.
"Hentikan!" Rachelia berteriak keras. Dengan refleks menutupi ketelanjangannya itu dengan tangan.
Regan tertawa sinis. "Kenapa? Kalau kau lupa biar aku ingatkan, kita ini baru saja bersumpah di depan Tuhan menjadi suami istri. Kau istriku dan aku pantas atas dirimu."
Regan mengangkat tubuhnya dan menjatuhkan tubuh itu ke atas kasur. Ia membuka gaun itu dengan tergesa-gesa tanpa kelembutan sedikit pun. Dan hanya menyisakan pakaian dalam yang masih terpasang di tubuh Rachelia. Regan terus memaksanya, tidak peduli dengan rontaan Rachelia di bawahnya.
Rachelia kembali mengumpat saat Regan tengah berkutat untuk memisahkan kaitan branya. "Kau laki-laki yang tidak punya harga diri."
Iris mata Rachelia menatap Regan dengan tatapan jijik. Entah mengapa, setiap Regan ingin memaksakan kehendaknya terhadap Rachelia, ia benar-benar membenci pria itu.
Pria itu terkekeh, meremehkan sindirannya. "Kau berani menantangku rupanya. Tetapi itu tidak masalah. Aku bahkan lebih menyukaimu seperti ini. Kau terlihat lebih agresif. Tidak salah jika aku mengklaimmu sebagai wanita pemuasku."
Seakan tidak peduli, hidungnya kini menempel di leher jenjang Rachelia. Tangannya meremas kasar dada Rachelia yang membuat wanita itu setengah meringis, namun dengan cepat kembali merubah raut wajahnya lalu berdecak akan perlakuan pria monster itu.
"Para tamu saja masih berada di tempat ini, dan kau sudah akan memperkosaku sekarang juga. Kau memang tidak tahu malu." Regan sempat tercekat lama mendengar perkataan Rachelia. Tetapi itu hanya berlaku sepersekian detik, karena setelahnya Regan kembali melanjutkan menyentuh wanita di bawahnya dengan liar.
"Persetan dengan itu! Mereka pasti akan mengerti. Bukankah suami istri harus punya waktu private tersendiri?"
Setelah mengatakan kalimat itu. Regan mulai menyentuh Rachelia, mengabaikan teriakan maupun rontaan penolakan wanita itu.
Dan malam itu kembali terjadi. Malam pertama mereka dilewatkan dengan Regan memperkosanya dengan kasar dan tidak manusiawi.
***
"Brengsek! Beraninya Gerald mempermalukanku seperti ini," desis Gavino dengan marah.
Saat ini, ia sudah berada di mansionnya setelah beberapa menit yang lalu ia baru saja dipermalukan di depan banyak orang.
"Sebenarnya apa yang kalian lihat dari wanita itu? Bahkan wanita itu biasa-biasa saja," tanya Audrey yang tiba-tiba masuk ke dalam mansion pria itu.
Audrey dan Gavino juga berhubungan tanpa diketahui oleh Regan. Dan betapa kagetnya dia saat mengetahui bahwa Gavino sangat menginginkan kehancuran Regan. Bahkan berniat mengusik Regan dengan mengganggu Rachelia. Sungguh, Audrey tidak mengerti kenapa kedua pria itu memperebutkan wanita seperti Rachelia. Wanita yang jauh dari kata sempurna. Wanita yang sama sekali tidak pantas dijadikan bahan rebutan. Wanita yang jauh di bawahnya, sama sekali bukan levelnya. Cih! Cantikan juga dirinya, batin Audrey.
"Kenapa kau bisa masuk ke sini, sialan?" geram Gavino karena merasa terganggu dengan keberadaan pria itu.
"Itu hal yang mudah, Gavin. Hanya saja sepertinya kau memiliki maksud lain dari kesepakatan kita."
Beberapa waktu lalu, Gavino memang datang menawari Audrey untuk bekerja sama. Agar Rachelia menjadi miliknya dan Regan menjadi milik Audrey seutuhnya. Mereka melakukan kerja sama simbiosis mutualisme, sama-sama memperoleh keuntungan. Mereka akan sama-sama diuntungkan. Lagian, Gavino sangat tahu kalau Audrey sangat tergila-gila terhadap Regan. Dan Gavino bisa menghancurkan Regan melalui istrinya. Makanya dia berpura-pura mencintai Rachelia untuk melancarkan rencananya.
"Tetapi sepertinya kamu telah menipuku! Kesepakatan kita berubah tidak seperti sebelumnya, kamu punya maksud lain. Iya 'kan, Regan?"
"Apa maksudmu, huh?"
"Kau hanya menginginkan Rachelia sebagai alat untuk menghancurkan Regan. Kau sama sekali tidak menginginkan wanita itu, kau hanya menginginkan Regan yang hancur," jerit Audrey tidak tertahankan.
Dia baru menyadari sekarang, itu sama saja dengan bunuh diri kalau sampai harus bekerja sama dengan pria yang sebenarnya menginginkan agar Regan hancur. Dan Audrey sama sekali tidak menyukai ide tersebut.
Tawa keras terdengar dari mulut Gavino. Terbahak-bahak di depan Audrey. Perkataan wanita itu terdengar sangat lucu di telinganya.
"Brengsek! Kenapa kau tertawa? Ternyata benar, kau benar-benar menipuku, sialan?!"
"Kau ingin aku membantumu, Audrey Sayang?" Pria itu bersedekap dan setengah membungkuk ketika ia membisikkan penawaran tepat di telinga Audrey sebelum kembali terkekeh ringan ketika melihat kernyitan halus di kening wanita itu. "Baiklah, sepertinya wanita Regan itu tidak bisa dilewatkan. Begini saja, kita kembali ke rencana awal, kau mendapatkan Regan dan Rachelia juga menjadi milikku. Bagaimana?"
Dan kita lihat bagaimana kehancuran Regan setelah itu, lanjut Gavino dalam hati.
Alis mata wanita itu terangkat. Mengamati wajah pria di depannya, meneliti apakah tengah bermain-main atau serius. Tetapi kalau di lihat dari raut wajah Gavino, pria itu terlihat tidak main-main.
"Apa kau bisa dipercaya?"
"Tentu saja!"
Regan mengucapkan kalimat itu dengan penuh percaya diri. Dia sudah tidak sabar menghancurkan seorang Regan yang begitu sombong itu.