Chereads / The Devil's Revenge / Chapter 27 - Bastard

Chapter 27 - Bastard

"Maaf …."

Kernyitan samar di dahi Rachelia kini terlihat jelas ketika mendengar ucapan seseorang yang tengah duduk di sisi kirinya itu.

"Untuk apa?" tanyanya tanpa menoleh. Tatapannya terus tertuju ke obyek di depannya yang baginya cukup menarik.

"Karena kau juga jadi korban mereka, dan itu semua karena aku."

Mendengar jawaban itu, Rachelia seketika menoleh dan malah terkekeh. "Itu tidak masalah. Aku—"

"Kau bisa menjauhiku," ucap gadis itu cepat sembari tertunduk lesu.

Dan kalimat itu berhasil membuat pandangannya teralihkan. Ia menatap lekat gadis itu. Bibirnya mulai bergerak ingin menantang, namun sedetik kemudian, gadis itu kembali mengulum senyuman geli ketika melihat wajah berantakan Valerie.

"Kenapa?" tanya Valerie heran setelah melihatnya tergelak."

"Wajahmu benar-benar jelek dengan luka seperti itu," jawab Rachelia dan malah dihadiahi sentilan ringan oleh Valerie di dahinya. Namun itu tidak menghentikan tawanya yang sekarang berubah terbahak-bahak.

"Kau juga sama. Tidak ada bedanya dariku. Wajahmu bahkan lebih jelek lagi dengan tambahan luka di bibirmu itu," balas Valerie tenang lalu turut tergelak ketika melihat Rachelia masih terus menertawakan dirinya.

Rachelia kemudian mendengkus. "Gadis-gadis sialan itu malah menghancurkan wajah cantikku, Vale!" ucap Rachelia dengan sedikit kemarahan.

Valerie tersenyum pelan. "Siapa suruh kamu melawan mereka dan malah membelaku."

Gadis itu menatap Valerie lekat. "Aku tidak bisa melihatmu dibully oleh mereka. Kau tidak salah apa-apa dan mereka malah sok jagoan di sekolah ini. Dan aku sama sekali tidak menyukai gadis-gadis sok jagoan itu."

Entah sudah kali berapa mereka seperti itu. Dua minggu setelah pertemuan kala itu, hubungan mereka kini semakin dekat. Rachelia Friona Stanley menjadi satu-satunya teman Valerie Chadwell di sekolah ini.

Namun, selama dua minggu itu juga, Valerie masih selalu mendapat perlakuan kurang baik dari teman-teman di sekolah barunya. Bukan hanya dia, tetapi juga Rachelia yang sekarang juga menjadi sasaran. Semua itu bermula, saat Rachelia mendapati satu geng itu berniat mengerjai Valerie, tetapi Rachelia malah mengacaukan rencana mereka. Alhasil, kini bukan hanya Valerie yang menjadi bulan-bulanan mereka, tetapi Rachelia pun demikian.

Hanya saja, Rachelia lebih mampu untuk membalas dan melawan perlakuan mereka, berbeda dengan Valerie yang selalu memilih diam ketika mereka melakukan sesuatu padanya. Valerie hanya bisa menerima gadis-gadis itu menyiksanya habis-habisan dan mengerjainya.

Dan setelah dibully habis-habisan seperti sekarang ini, mereka akan selalu berakhir di bangku taman itu, tempat pertama kali Rachelia menyapa dan mengajak Valerie untuk menjadi temannya. Dengan wajah yang penuh luka dan baju yang sudah berubah kotor dan tampak awut-awutan, mereka memilih duduk di tempat itu, membiarkan keheningan menyelimuti mereka hingga beberapa saat sebelum gelagak tawa bodoh itu terdengar ketika pandangan mereka bertemu. Mereka akan tertawa lepas seakan tidak terjadi sesuatu. Luka di bibir masing-masing bahkan tidak menjadi masalah bagi keduanya.

Konyol sekali. Namun seperti itulah kedekatan mereka.

Sejak saat itu juga persahabatan mereka dimulai. Ke mana pun selalu berdua. Hubungan persahabatan mereka bahkan bertahan hingga keduanya memiliki kesibukan masing-masing. Pernah suatu ketika, Valerie meminta persetujuan pada kakaknya agar memperbolehkan dirinya bekerja di perusahaan lain, tidak jauh dari gedung perusahaan tempat Rachelia bekerja. Meskipun permintaan tersebut sempat ditolak berkali-kali tetapi pada akhirnya sang kakak memberinya izin.

"Mike nitip salam untukmu," kata Rachelia saat itu sebelum menyeruput coklat panasnya yang masih mengepulkan sedikit asap.

Saat ini, mereka tengah berada di sebuah cafe yang tak jauh dari tempatnya bekerja. Setiap jam istirahat tiba, keduanya memang selalu bertemu di cafe itu. Dan selalu berjanji untuk tidak melewatkan makan siang bersama. Ya, persahabatan mereka memang se-akrab itu.

"Benarkah? M—Mike?" cicit Valerie dengan matanya yang sedikit membola, membuat gadis cantik yang duduk di hadapannya itu mengernyit heran.

"Kenapa?"

"T—tidak ada apa-apa, Chel."

Rachelia memicingkan mata, penuh selidik dalam tatapannya. Iris birunya mengamati gadis itu lekat-lekat. Ia kemudian menegakkan posisi duduknya.

"Kau … kau menyukainya?" tanya Rachelia cepat setelah menopang dagu dengan kedua punggung tangannya.

Melihat Valerie bungkam dengan mata yang bergerak gelisah, ia mengulurkan tangannya lalu menyentil dahi gadis itu.

"Jangan memilih dia untuk menjadi pasanganmu! Pria itu terlalu jelek untukmu, Valerie."

"Dia tampan! Kau yang jelek," seru Valerie seraya mengusap dahinya.

Rachelia mendengkus. "Sama sepertimu!"

Lalu gelak canda tawa itu kembali terdengar. Bak alunan musik di dalam cafe tersebut. Tatapan aneh yang dilemparkan oleh orang sekitar pun mereka abaikan.

****

Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya pemecah keheningan di ruang makan itu. Tidak ada satu pun kalimat yang terdengar. Hening dan kaku, selalu seperti itu. Mereka menyibukkan diri dengan makanan yang tersaji di hadapannya.

Oh, sebenarnya hanya Regan yang sibuk menikmati sarapannya, sementara Rachelia lebih memilih bungkam dan menatap kosong makanan-makanan itu, tanpa berniat sekali pun untuk menyentuh mereka.

"Kau mau mati kelaparan?" Regan membuka suara.

Terdiam cukup lama, wanita itu kembali melemparkan pertanyaan dengan nada ketus. "Apa pedulimu?"

"Terserah …."

"Aku ingin kembali bekerja!" Rachelia berkata dengan nada dingin.

"Tidak," sergah Regan cepat, namun tetap tenang sembari menikmati sarapannya.

"Apa hakmu mengaturku?" Merasa diabaikan, Rachelia kembali melanjutkan. "Selain bajingan dan sakit jiwa. Apa kau juga tuli?"

Pria itu melepaskan napas berat dan menghempas kasar pisau makan beserta garpu itu ke atas meja. Punggungnya bersandar pada sandaran kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Kau sudah bekerja menjadi pemuasku. Lalu, apa lagi maumu? Kau ingin aku mengirimmu ke tempat prostitusi dan menjualmu di sana?"

Lamat-lamat Rachelia mendongak melihat Regan yang melempar pandangan melecehkan. Ia kemudian membalas tatapan kurang ajar tersebut. Rasa benci yang mendalam terlihat jelas di bola matanya yang berkaca-kaca.

That bastard!

"Kau binatang!"

****

Pria itu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Matanya terpejam erat, teringat akan kejadian di ruang makan tadi. Entah mengapa sejak dalam perjalanannya menuju kantor, wajah Rachelia selalu membayangi kepalanya. Ia merasa ada yang aneh di dalam dirinya ketika melihat tatapan wanita itu. Sorot mata yang penuh dengan luka dan kebencian, lalu disusul dengan air matanya yang menggenang di pelupuk mata teduhnya.

Regan tahu, bahwa kalimat yang dia lontarkan pagi tadi memang sudah sangat keterlaluan. Jujur saja, pria itu mengutuk dirinya sendiri saat ini. Tetapi demi Tuhan, perempuan itu selalu berhasil memancing emosinya. Hanya karena sifat keras kepala yang dimiliki wanita itu, sudah membuat Regan terlihat layaknya sosok pembunuh berdarah dingin. Tetapi bukankah itu benar?