Perasaan tidak nyaman menghantui Regan seharian ini, pikirannya terus berkelana ke kejadian tadi pagi. Regan tahu betul bahwa kalimat yang dilontarkan pagi tadi memang sudah sangat keterlaluan. Jujur saja, pria itu merutuki dirinya sendiri saat ini. Tetapi demi Tuhan, perempuan itu selalu berhasil memancing emosinya. Hanya karena sifat keras kepala yang dimiliki wanita itu, sudah membuat Regan terlihat layaknya sosok pembunuh berdarah dingin. Tetapi bukankah itu benar?
Suara ketukan pintu seketika membuyarkan lamunannya dan melihat Andreas memasuki ruangannya.
"Sebentar lagi pertemuan akan dimulai, Sir," ujar Andreas kemudian.
Sial! Regan bahkan hampir lupa bahwa hari ini memang ada jadwal pertemuan.
Pria itu mengangguk. "Ya, aku akan menyusulmu."
Regan membuang napas berat. Matanya kembali terpejam. Membiarkan sosok Rachelia kembali menghantui benaknya. Wajah kesakitan itu, suara jeritan dan tangisannya, lalu air mata yang menetes dari mata teduhnya, sungguh mengganggu pikiran Regan saat ini.
Sekali lagi, ia melepaskan napasnya yang bersuara dan meraih ponsel dari atas meja kerja
"Jeane ...."
****
Bahkan pada saat tengah melakukan pertemuan pun, sosok wanita itu masih belum menghilang dari pikirannya. Entah sudah permintaan izin yang keberapa kali ia ajukan pada direksi-direksi lain. Dan di sinilah ia selalu berakhir, di dalam toilet pria, membasuh wajah dan mematut dirinya di depan cermin wastafel.
"Kenapa kau memikirkan pembunuh itu, bodoh?" geramnya pada pantulan dirinya sendiri.
Ia kembali teringat dengan wajah wanita itu ketika semuanya masih baik-baik saja.
Senyuman tulus yang kerap kali merekah ditunjukkannya wanita itu kepada orang-orang. Sikapnya yang dewasa. Sorot matanya yang memancarkan keteduhan. Dan tidak hanya itu, penampilannya yang juga sederhana namun tetap mampu membuat pria-pria muda tak dapat mengalihkan tatapan terpesonanya ketika mereka melihat wanita itu apalagi mengetahui kelembutan yang dimilikinya.
Lalu ....
"Shit!"
Regan mengusap rambutnya kasar dan kembali membasuh sebelum menggosok wajahnya keras. Seakan-akan dengan demikian, ia bisa menanggalkan wajah Rachelia dari pikirannya.
Lalu aroma itu.
Ya, aroma itu sungguh membuatnya merasa tak sanggup untuk hidup jika sehari saja tidak menghirup aroma floral vanilla lembut dan feminin khas wanita yang berstatus sebagai istri pelacurnya itu. Regan sudah tidak tahu lagi alasan apa yang sesungguhnya kenapa ia sampai harus menikahi Rachelia.
Seharusnya kalau niatannya hanya untuk membalas dendam, dia bisa langsung membunuhnya saja. Atau kalau ingin bermain-main dia bisa saja menyakitinya tanpa adanya status pernikahan. Tetapi, kenapa dia harus melangkah sejauh itu?
Terkutuk! Ia bahkan jijik dengan dirinya sendiri yang selalu menginginkan tubuh cantik dan begitu menggoda itu.
Di satu sisi, ia sangat ingin menyiksa Rachelia. Menghancurkan hidupnya, membuatnya menderita tanpa ampun, mematikan sinar di matanya lalu membuat wanita itu menjadi hampa dan kosong. Dan pria itu memang sudah berhasil membuktikannya selama dua bulan ini, tetapi pemikiran lain sungguh berbeda dari sebelumnya.
Pemikiran yang sepertinya berasal dari perasaan dan sudut hatinya bahwa ia sungguh terobsesi untuk memiliki gadis itu sepenuhnya, menjaganya, memanjakan layaknya seorang suami kepada istri sebagaimana mestinya. Bahkan menyayanginya dengan sepenuh hati, bahkan mungkin ... mencintainya.
Regan menghardik diri sendiri saat ia memikirkan semua itu.
"Brengsek!"
Benar-benar konyol. Ia merasa bahwa dirinya bagaikan pria tangguh yang lemah.
Tidak, tidak, yakinnya pada diri sendiri. Dia tidak mau lengah dengan perasaan-perasaan menjijikkannya.
Tidak akan sekalipun Regan membiarkan itu terjadi. Tekadnya sudah bulat dan kuat. Ia tidak ingin menghancurkan keteguhan itu. Laki-laki itu harus terus membalas perlakuan Mike. Wanita itu akan tetap menjadi pelampiasan kemarahannya. Sampai Rachelia hancur dan runtuh. Tak bersisa.
****
Seperti hari sebelumnya, Rachelia hanya bisa berdiam diri di balkon kamar. Entah sudah berapa lama ia berdiri di tempat itu. Menikmati waktu sisa senggangnya tanpa kehadiran Regan. Karena sebentar lagi, lelaki gila itu akan pulang, lalu dia akan kembali berakhir menjadi pelacur murahan di bawah tubuhnya.
Balkon itu terasa lebih nyaman meskipun harus berdiri berjam-jam daripada berbaring di tempat tidur yang biasa ia tempati ketika Regan tengah menikmati tubuhnya. Sungguh, itu sangat menjijikkan.
Tidak ada aktivitas lain yang dapat dia lakukan. Semua gerakannya diatur oleh Regan. Ia tidak diperbolehkan ke mana pun kecuali bersamanya, bahkan taman yang sering dipandanginya itu tak pernah dia tapaki sama sekali. Ia hanya bisa menikmatinya dari arah balkon. Jika melanggar, wanita itu akan mendapat hukuman yang sebenarnya sungguh tidak layak dia terima hanya karena masalah kecil seperti itu.
Namun, kesalahan sekecil apa pun yang dia lakukan, pria itu akan tetap menghukumnya. Regan selalu berusaha mencari kesalahan yang tidak pernah wanita itu lakukan, lalu dijadikan alasan untuk terus menyakitinya. Tanpa ampun. Tanpa belas kasih.
Pernikahannya dengan Regan sungguh tidak ada keharmonisan sama sekali, hingga saat ini. Pria itu hanya menjadikan dirinya sebagai pemuas nafsunya. Menjijikkan sekali. Regan bahkan tidak ingin berbagi ranjang dengannya. Ia selalu menarik wanita itu ke dalam kamarnya hanya untuk memenuhi kepuasannya sendiri, lalu kembali mengusirnya setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Takdirnya menjadi seorang istri benar-benar miris. Bahkan pemikiran untuk menjadi seorang ibu sepertinya harus dia buang jauh-jauh. Bukan, Rachelia bukan tidak menginginkannya. Percayalah, itu adalah salah satu impian terbesarnya, memiliki bayi setelah menikah dan menjadi seorang ibu. Namun, ia tentu akan melupakan mimpi itu, jika situasinya seperti ini. Dan saat ini, pil penunda kehamilan tentu menjadi satu-satunya cara yang dapat membantunya.
Rachelia hanya takut jika suatu saat nanti janin itu benar-benar hadir. Dia mungkin akan menerimanya dengan senang hati. Tetapi, bagaimana dengan Regan? Bisa saja pria itu tidak mau menerimanya bahkan tidak ingin mengakuinya. Siapa juga yang mau menerima bayi dari musuhnya sendiri, bukan? Wanita itu juga sangat tidak ingin anaknya mengetahui seperti apa hubungan kedua orang tuanya sebelum dia hadir.
"Mrs. Chadwell?"
Suara itu memaksanya untuk menoleh. Setelah hari pernikahannya, para pekerja di kediaman Regan memang sudah mengganti nama panggilannya dengan nama tuan mereka. Termasuk Jeane. Dan jujur saja, itu terlalu menggelikan baginya.
Rachelia melihat Jeane melirik sepiring makanan dan segelas air mineral di atas nakas yang dibawakan oleh pramuwisma lain sekitar lima belas menit yang lalu dan menyadari bahwa makanan itu tidak tersentuh sama sekali.
"Anda tidak makan, Mrs. Chadwell?" tanyanya seraya mendekati Rachelia.
Rachelia menggeleng ringan. "Aku tidak lapar."
Suara itu benar-benar terdengar menyedihkan, membuat siapa saja yang mendengar akan merasa iba pada perempuan itu. Dan Jeane, satu-satunya orang yang mendengar suara itu tercenung. Wanita itu memperhatikan wajah Rachelia. Wajah cantik itu tampak pucat. Sangat berbeda saat pertama kali ia melihatnya.
Jeane menghela napas sejenak sebelum kembali membuka suara. "Tuan Regan akan kembali sebentar lagi. Kau harus makan. Dia akan sangat marah jika tahu perutmu sama sekali belum terisi sejak tadi.
Mendengar hal itu, Rachelia berjengit ngeri dan membenarkan perkataan Jeane. Ia tidak ingin mengambil risiko. Jadi, wanita itu memilih duduk di tepi ranjang dan menandaskan setengah dari makanan tersebut, lalu membasuh diri setelahnya.