"Kau akan hancur malam ini, Rachel!"
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Regan yang penuh dengan ada ancaman itu membuat Rachelia seketika dilanda ketakutan.
Terlebih lagi di saat salah satu tangan Regan yang bebas, perlahan meluncur ke bawah, menjamah perut datar sang gadis yang masih terus meronta dan memohon agar pria itu menjauh, lalu semakin ke bawah, menyelusup masuk ke dalam sebuah pelindung terakhir yang tipis itu, membuat sang empunya semakin bergetar ketakutan.
"Aku mohon …." Rachelia tercekat oleh isakannya sendiri. "Jangan menyentuhnya, Regan. Aku mohon!" gadis itu terus merintih ketakutan dengan nada memelas.
"Jangan? Kau perempuan rendahan. Bibirmu mengatakan tidak, tetapi aku tahu tubuhmu akan menerimanya."
Regan melesakkan salah satu jemarinya di dalam sana. Dan rasa panas itu seakan menjawab hingga ke seluruh tubuhnya, dan lelaki itu tak mampu menampik bahwa hal itu cukup berhasil mengirimkan reaksi asing di dalam dirinya.
"Please … aku mohon!"
Rachelia terus-menerus merintih memohon agar pria itu tidak meneruskan permainannya yang begitu merendahkannya. Tetapi Regan sama sekali tidak mengindahkan permohonannya dan terus melakukan kegiatannya untuk menghancurkan gadis itu malam ini juga.
"Kau akan menyukainya," bisik Regan di telinga Rachelia.
Gadis itu menggeleng keras. "No! Please … aku tidak mau, jangan lakukan itu, Regan."
Isakan Rachelia kali ini benar-benar semakin menjadi. Jemari kakinya semakin tertekuk sempurna ketika Regan menggerakkan tangannya. Namun, gerakan tersebut terhenti ketika dia itu mendengar suara pintu yang terbuka. Lalu dengan cepat ia menjauhkan tangannya dari tubuh Rachelia dan menarik selimut, menutupi tubuh gadis itu agar tidak terlihat, pada siapa pun yang telah mengganggu kesenangannya, tanpa mengubah posisi awal.
Sementara Rachelia, ia terdiam tak berkutik, napasnya berubah terengah, air matanya masih terus merebak membasahi kedua pipinya, kemudian tangannya terus berusaha memeluk erat selimut yang baru saja diberikan oleh Regan. Gadis itu tidak bergerak sedikit pun jika tidak ingin tubuh polosnya terlihat oleh seseorang yang baru saja memasuki kamarnya. Namun ia sangat tidak bisa menampik ketika hatinya berkali-kali mengucapkan rasa terima kasih pada orang itu, karena telah berhasil menghentikan aktivitas menjijikkan yang akan dilakukan pria brengsek itu kepada tubuhnya.
Regan sedikit menoleh, tidak sepenuhnya melihat siapa yang masuk dan sedang mengganggu aktivitas bersenang-senangnya bersama Rachelia. Karena posisinya saat itu tengah memunggungi pintu kamar. Namun dari ujung matanya, ia bisa melihat Andreas tengah menegang di ambang pintu.
"Ada apa?" tanyanya setengah menggeram kesal. "Kau bisa mengetuk pintu terlebih dahulu!"
Andreas dibuat gelagapan dengan apa yang disaksikannya belum lagi kemarahan yang dilontarkan oleh Regan yang terdengar jelas dari kalimatnya. Pria itu pasti tidak menyukai karena dirinya telah mengganggu aktivitasnya.
"Maaf, Sir. Ada sesuatu yang—" ucapan Andreas berhenti, lalu melangkah keluar ketika ia melihat Regan mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar menghentikan apa pun yang akan terucap dari bibirnya dan sebagai isyarat untuk segera meninggalkan ruangan tersebut.
Setelah memastikan Andreas keluar dan pintu tertutup rapat, pandangan Regan kembali teralih pada wajah cantik namun tampak pucat ketakutan di bawahnya. Tangannya terulur menghapus air mata yang merebak itu. Dia kembali menunduk, menopang tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang diletakkan di sisi kiri dan kanan kepala Rachelia. Tatapan menusuk dan senyum keji itu kini menghiasi wajah Regan yang tegas.
"Ini belum selesai. Simpan air matamu untuk permainan selanjutnya. Karena kau akan mendapatkan sesuatu yang lebih buruk dari hari ini. Jadi, persiapkan suaramu untuk meneriakkan namaku, dan juga tubuhmu agar bisa menerima tubuhku. Kau harus bersiap untuk menyambut hari itu, hari di mana aku benar-benar berhasil menghancurkanmu." Regan berujar dengan sinis sebelum membubuhkan kecupan singkat di bibir manis yang sudah membengkak itu. Ia kemudian menarik tubuhnya, lalu meninggalkan Rachelia sendirian di dalam kamar tersebut.
Dan pada saat itu juga tangisan Rachelia pecah. Mata birunya tak henti-hentinya meneteskan air mata. Gadis itu menangis tersedu-sedu begitu menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Ia kemudian bangkit duduk dengan tubuh bergetar, lalu dengan cepat membetulkan pakaiannya yang sebenarnya sudah tidak berbentuk lagi akibat dari keganasan Regan. Pria itu benar-benar menjijikkan!
****
"Kenapa?"
"Dia kembali menga—"
"Aku tahu itu. Tetapi kenapa dia bisa kembali mengamuk?"
Tanpa menghentikan langkahnya, pria itu kembali bertanya kepada salah satu pelayan wanita yang mengikutinya langkah lebarnya dengan sedikit kesusahan akibat berusaha menyejajarkan langkah Regan yang panjang.
"Dia tidak mau makan sejak siang tadi, Tuan. Kami sudah mencoba membujuknya. Tetapi nyonya hanya—"
Ucapan wanita itu kembali terpotong oleh suara tegas milik atasannya. "Siapkan makanan antarkan ke kamar setelah itu!"
Regan dengan berat melangkah ke arah kamar yang selalu menjadi tempat tujuannya ketika ia kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Pria itu memang langsung beranjak, menembus pekatnya malam, ketika mendengar kabar dari Andreas bahwa wanita itu kembali mengamuk dan memberontak.
Indra pendengarannya menangkap suara gemuruh orang yang tengah berteriak, saat kakinya membawanya untuk mendekat dengan kamar tersebut, membuat derap langkahnya semakin cepat, lalu segera membuka pintu dengan sedikit kasar.
"Biarkan aku yang menanganinya," teriaknya setelah ia melihat dua orang pelayan wanita yang tengah berusaha menahan dan menenangkan sosok gadis rapuh itu.
"Tetapi, Tuan—"
"Aku tidak menyuruh kalian berbicara! Menjauh dari situ!" sergahnya cepat yang membuat dua orang pekerja itu menjauhi gadis tersebut yang masih memberontak dan menjerit, membiarkan majikannya mengambil alih untuk menenangkan gadis tersebut.
"Hei, Sayang!" ucap pria itu sembari berjalan mendekati wanita yang terduduk di lantai dengan wajah ketakutannya.
"Kenapa kau di sana? Bukankah lantai itu sangat dingin?" ujar Regan kembali dengan suara yang begitu lembut.
Pria itu perlahan berjongkok di hadapan wanita tersebut, lalu mengulurkan kedua tangannya, mengangkat tubuh rapuh itu lalu kembali mendudukkannya ke atas kursi roda.
"Tenanglah," bisiknya lembut, tangannya mengusap pipi tirus itu dengan gerakan hati-hati. "Kau belum makan? Bagaimanakah jika aku yang menyuapimu?"
Lalu tatapan kelam yang berasal dari gadis itu sudah mulai terlihat tenang. Matanya tidak pernah teralihkan dari wajah Regan yang masih setia jongkok di hadapannya itu. Bibirnya yang bergetar, perlahan mulai terbuka, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
Regan yang melihat gerakan kecil itu menatap penuh antisipasi dengan sorot mata yang sama sekali tidak berpaling dari bibir pucat tersebut. Lalu ….
"Re—Regan …."
Hanya satu kata yang keluar dari bibir pucat gadis itu serta setetes air mata yang mengalir cepat, membasahi pipi mulusnya yang terlihat begitu pucat. Membuat Regan tercengang, menatap tidak percaya pada sosok cantik di hadapannya itu.
"Ya … iya." Pria itu meneguk air liurnya dengan kasar. "Kau mengenaliku? Ini … ini aku, Regan. Kau baru saja memanggil namaku, Sayang?"