Jeane memasuki kamar dan menemukan Rachelia yang tengah meringkuk di sudut kamar. Ia terlihat sangat kacau, keadaannya benar-benar memprihatinkan, belum lagi dengan luka yang masih menganga di telapak tangannya dengan darah yang terus mengucur dan terlihat hanya diabaikan. Jeane sangat kasihan, keadaan Rachelia benar-benar memprihatinkan.
Rachelia mendongak setelah menyadari kehadiran Jeane, sangat jelas kalau wanita itu kasihan melihatnya, dan ia sangat benci dikasihani. Dengan langkah gontai Rachelia berusaha berdiri, namun sialnya dia kembali terjatuh karena tubuhnya yang sudah sangat lemas. Dan hal itu yang kembali membuatnya menangis, ia benci terlihat menyedihkan, ia benci dengan dirinya yang sama sekali tidak bisa melawan, ia benci dirinya yang begitu lemah di depan Regan.
"Biar aku bantu, Miss!" Jeane berusaha membantunya. Tetapi lengannya disentak dengan marah oleh Rachelia.
"Tidak usah! Dan stop melihatku dengan tatapan kasihan, aku benci dikasihani." Rachelia berteriak, lalu kembali mencoba berdiri namun tubuhnya kembali terjatuh.
Dia benar-benar lemah.
Meskipun mendapat penolakan Jeane masih berinisiatif untuk mencoba membantu Rachelia berdiri meski gadis itu masih terus menyentak lengannya, dan terus menolak bantuannya. "Jangan begitu, Miss. Luka itu harus cepat diobati sebelum terkena infeksi." Jeane terus berusaha mencoba menenangkan Rachelia yang masih terus-terusan bersikap keras kepala dan sama sekali tidak ingin diberi bantuan padahal tubuhnya sudah tak bertenaga dan begitu lemah.
Rachelia menunduk dan melihat telapak tangannya yang menganga dengan darah yang terus mengalir, bahkan sedari tadi ia tidak menyadari kalau tangannya terluka separah ini. Sakit di hatinya melebihi sakit di telapak tangannya, sehingga ia tidak merasakan apa-apa di tangannya itu. Dan baru disadarinya setelah Jeane mengingatkannya, luka di tangannya itu memang benar-benar parah dan harus segera diobati.
Jeane yang melihat Rachelia sudah terlihat tenang kembali membantu gadis itu berdiri, dan kali ini Rachelia menuruti untuk dibantu berdiri. "Ayo aku bantu, Miss!"
Rachelia berhasil dibantu oleh Jeane berganti baju dalam diam. Gadis itu tidak berbicara ataupun membantu Jeane walau hanya sekedar menggerakkan tangannya. Dan Jeane terus sabar membantunya berganti baju bahkan mengobati lukanya dengan penuh kehati-hatian.
"Maaf ..." cicitnya, tetapi Jeane dengan jelas mendengar perkataan gadis itu yang kini telah terbaring lemah.
"Untuk apa, Miss?" tanya Jeane tidak mengerti.
"Karena aku selalu kasar kepadamu, tetapi kau masih saja mau membantuku. Jadi maafkan aku," ucapnya Rachelia tulus.
Jeane tersenyum mengangguk. "Itu bukan apa-apa, Miss. Ini pekerjaanku, aku bisa menerimanya. Justru aku yang harusnya minta maaf." Jeane menjeda kalimat nya dan bergerak merapikan selimut ke tubuh Rachelia. "Istirahatlah, aku akan keluar, Miss."
Rachelia berbalik memunggungi Jeane, kemudian kembali bersuara, "Terima kasih!"
Jeane hanya mengangguk, kemudian berlalu menjauh meninggalkan Rachelia untuk beristirahat.
****
Siang tadi, Regan menerima pesan dari sahabat baiknya yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan padanya. Jadi, Regan bergegas sesaat setelah pulang kerja dan memacu mobilnya dengan kecepatan normal untuk menemui sahabatnya tersebut.
Setelah dua puluh menit perjalanan yang ditempuh, Regan akhirnya sampai di tempat biasa mereka bertemu. Sebuah restoran mewah milik keluarga sahabatnya itu.
"Lalu apa yang akan kau lakukan pada gadis itu?"
Suara berat khas pria itu terdengar setekah Regan menceritakan segala rencananya terhadap Rachelia. Ya, sedikit banyak sahabatnya itu memang mengetahui keadaan yang menimpa adiknya, walaupun dia tidak mengetahui siapa pria brengsek yang tega membuat Valerie sampai memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Dan sahabatnya itu juga tahu, bahwa Regan berniat untuk membalas dendam kepada satu-satunya keluarga laki-laki brengsek tersebut.
Sebenarnya dia tidak terlalu mendukung rencana Regan, tetapi tekad Regan sudah bulat dan sulit untuk diingatkan lagi. Oleh karena itu, dia hanya berusaha mengerti dan mencoba memposisikan diri seandainya dirinya yang tertimpa kejadian tersebut.
"Sesuatu yang akan membuatnya menderita di setiap tarikan napasnya," jawab Regan setelah menyeruput secangkir coffee di depannya.
"Tidakkah itu terlalu berlebihan?"
Alis Regan terangkat tinggi ketika mendengar pertanyaan tersebut. "Berlebihan?" Regan terkekeh ringan. "Tidak sama sekali, David."
Regan melemparkan pandangan ke luar jendela besar, yang menampilkan pemandangan laut lepas dengan matahari yang tampak sudah mulai membenamkan dirinya.
"Kau yakin akan melakukan hal itu?" tanya David kembali.
Ya, nama sahabat Regan itu bernama David. Mereka dulunya adalah partner bisnis yang sama-sama memulai dari awal, mereka sama-sama bekerja keras hingga bisa mencapai kesuksesannya seperti sekarang ini. David juga memiliki perusahaan yang sangat besar dan terbilang cukup sukses diusia muda. Bukan hanya kecocokan mereka dalam dunia bisnis, tetapi mereka yang seumuran membuatnya semakin cocok untuk bersahabat.
"Kau pasti tahu itu, David. Kau sudah lama mengenalku, bukan? Kau tahu apa yang terjadi pada adikku? Aku rasa tanpa perlu menjawab pertanyaanmu pun kau pasti sudah mengetahui jawaban yang sebenarnya."
David tetap bersikeras dan masih belum mengerti kenapa Regan harus melampiaskan kepada wanita yang lemah. "Tetapi gadis itu tidak bersalah," kata David yang membuat Regan kembali mengalihkan tatapan tajam ke arahnya. Alisnya tampak berkerut marah. Namun, pria itu tidak mengeluarkan satu kalimat pun untuk menanggapi.
"Kau tidak sadar bahwa perlakuanmu itu terlalu kekanakan dan tidak masuk akal, Regan. Bagaimana bisa kau menyakiti seorang perempuan lemah yang tidak bersalah?"
Dan kali ini, Regan tidak lagi mampu menahan lidahnya untuk tidak menjawab. Ia menegakkan duduknya lalu kembali bersuara, "Kau tidak akan mengerti bagaimana penderitaan Valerie. Kakak gadis itu telah membuat adikku menderita sedemikian rupa. Gadis itu bahkan sempat membantu menyembunyikan keberadaannya ketika Valerie meminta sebuah pertanggung jawaban. Dan kau bilang dia tidak bersalah?"
"Tetapi, bukankah Valerie—"
"Stop! Berhenti membahasnya," potong Regan cepat. Dia sudah tahu apa kelanjutan dari kalimat pria itu dan ia sama sekali tidak mau membahasnya.
David terdiam. Bukannya kalah, hanya saja ia benar-benar malas berdebat dengan Regan. Pria itu memang arogan. Apa pun yang ia katakan, itu akan terjadi dan akan dibuktikannya. Mereka sudah sangat sering berdebat seperti ini, mau hal serius ataupun masalah remeh. Dan David yang selalu angkat tangan untuk mengalah, membiarkan Regan melakukan apa saja yang ingin dilakukannya. Mungkin karena ini juga persahabatan mereka akan langgeng sampai sekarang, karena David yang akan selalu mengalah.
Keduanya kemudian terpenjara dalam keheningan. Setelah terdiam cukup lama, Regan kembali membuka suara, "Aku akan menikahinya."
David tercengang seketika saat mendengar pernyataan dari sahabat baiknya itu.
"Menikah?"
"Ya, David. Aku akan menghancurkan semua yang ada pada dirinya, tak akan ada yang tersisa."
David mendesah frustasi ketika mendengar ancaman mengerikan tersebut. Sungguh, pria itu tak pernah melihat Regan semarah ini. Terlihat dari raut wajahnya yang menggelap, Regan sepertinya memang benar-benar serius akan menghancurkan gadis malang itu.
David memang tidak pernah sama sekali bertemu dengan sosok gadis yang sudah beberapa minggu ini menjadi incaran Regan. Regan juga tidak pernah memberitahunya siapa wanita itu, jadi David sama sekali tidak mengetahuinya. Namun, bayangan-bayangan apa yang akan sahabat bengisnya itu akan lakukan, tak ayal membuatnya bergidik ngeri.
Sementara di sisi lain, pria yang baru saja mengatakan sumpah itu benar-benar tidak mampu menahan diri untuk tidak menyeringai tajam. Ia sungguh tidak sabar menunggu momen pembalasan itu datang.
Sebentar lagi, senyum kemenangannya akan merekah setelah menyaksikan penderitaan gadis itu.