"Tuan Regan akan datang sebentar lagi. Kau harus makan. Dia akan marah jika tahu perutmu sama sekali belum terisi sejak tadi."
Mendengar hal itu, Rachelia berjengit ngeri dan membenarkan perkataan Jeane. ia tidak ingin mengambil risiko. Jadi, wanita itu memilih duduk di tepi ranjang dan menandaskan setengah dari makanan tersebut, lalu membasuh diri setelahnya.
"Aku akan pulang. Beristirahatlah dengan baik, Mrs. Chadwell."
Semenjak Regan menikah dengan dirinya, pria itu memang sengaja menyuruh para pekerja untuk kembali beristirahat ke rumah mereka masing-masing tepat jam lima sore, lalu kembali bekerja di pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Regan tentu tidak bodoh untuk membiarkan Rachelia sendirian di kediamannya. Bisa saja wanita itu akan melarikan diri dari sana.
Tetapi jika menjelang malam tiba, para pekerja akan kembali ke kediaman mereka masing-masing yang telah disiapkan dan tidak jauh dari mansion besar ini. Karena setiap sore harinya Regan kembali, oleh sebab itu mereka harus pergi sebelum pria itu sampai di rumah.
"Oh ...." Jeane menghentikan langkahnya dan kembali memutar tubuh ketika ia hendak beranjak keluar kamar. "Tuan Regan baru saja meneleponku. Ia sedikit memberimu kebebasan untuk sekedar melihat-lihat taman sebelah untuk membunuh kebosanan dan kau bebas di sana. Aku tak akan mengunci pintu."
Mata Rachelia sedikit terbuka lebar ketika mendengar kalimat itu.
Tidak mengunci pintu?
"Benarkah?"
Ia melihat wanita setengah baya itu mengangguk ringan, turut serta dengan senyuman tipis yang menampilkan kerutan halus di wajahnya, sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan dirinya yang menegang. Tidak ada yang bisa menebak isi hati Rachelia saat ini. Perasaannya begitu kalut. Ia merasa sangat bahagia ketika mendengar penuturan Jeane. Namun, rasa takut pun tak mampu ia pungkiri.
Wanita itu terduduk di tepi ranjang, matanya yang berkaca-kaca bergerak gelisah. Rachelia menautkan jari-jemarinya yang bergetar hebat. Ini kesempatan yang tepat untuk pergi dari sini. Ia akan melarikan diri dari neraka ini. Ia akan membebaskan dirinya dari iblis gila tersebut. Tidak akan ada orang yang melihatnya, bukan? Jam lima kurang, belum waktunya lelaki itu kembali.
Rachelia berusaha mengontrol napasnya yang memburu. Dan ia memutuskan benar-benar pergi dan bermodalkan keberanian. Ia menuruni anak tangga besar itu penuh kehati-hatian. Berusaha melangkah tanpa suara. Rachelia bersumpah demi apa pun, ia benar-benar takut dan tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi jika Regan menemukannya.
Ketika kaki-kaki bergetarnya menapak di anak tangga terakhir, ia mengedarkan pandangan. Ruangan di lantai satu benar-benar gelap. Hanya cahaya-cahaya senja yang sedikit mengintip dari balik tirai yang menutupi jendela-jendela besar itu. Entah mengapa lampu-lampu di lantai satu itu tak satu pun yang menyala. Tidak mungkin mereka tidak ada yang mengingat untuk menyalakan lampu, 'Kan? Realita itu membuat nyalinya kian menciut.
Wanita itu kembali berjalan menuju pintu utama dan menariknya. Namun, pintu itu terkunci. Dengan penuh keyakinan, dia mencobanya sekali lagi dan langsung berhenti ketika suara berat itu terdengar.
"Kau menungguku, Sayang? Tenanglah, suamimu sudah ada di sini."
****
Regan hanyalah manusia biasa yang tidak selalu mampu mengendalikan emosi. Apalagi ketika matanya menangkap sosok wanita sialan yang tampaknya tengah mencoba melakukan perbuatan nekat. Sesuatu yang sebenarnya semakin memperburuk suasana hatinya saat ini.
Pria itu berani bersumpah demi apa pun, bahwa hari ini ia tidak seperti biasanya. Seluruh tubuhnya benar-benar lelah. Bagaimana tidak? Kesibukannya di kantor yang kian hari kian meningkat, lalu disusul dengan kepalanya yang sejak pagi tadi di hantui oleh sosok wanita itu. Dan sekarang, wanita perusak pikirannya itu kembali berbuat ulah.
Seandainya Regan adalah sebuah bom waktu, maka wanita itu baru saja menekan detonator dan meledakkan pria itu dengan ulahnya. Benar-benar nekat.
Sejak dalam perjalanan tadi, ia memang merutuki dirinya sendiri karena dengan gamblangnya membiarkan Jeane untuk tidak mengunci pintu utama. Ia sungguh menyesali perkataannya sendiri yang akan memberikan wanita itu kesempatan untuk menghirup udara segar di luar sana dan membunuh rasa bosannya.
Regan memang sudah cukup baik untuk tidak mengurungnya. Begitu baik karena sudah membiarkan wanita itu sedikit bebas keluar masuk kediamannya. Dan sangat baik karena ia sempat memikirkan keadaan perempuan itu yang semakin hari kian mirip dengan mayat hidup.
Baik sekali, bukan?
Namun, kebaikannya itu bukan berarti dia akan membiarkan perempuan itu dengan bebasnya melarikan diri atau pergi dari hidupnya. Rachelia salah besar jika dia berpikir seperti itu. Dan sekarang, apa yang dilakukan perempuan itu sungguh membuatnya semakin naik pitam hanya dalam sekejap mata. Wanita itu benar-benar keras kepala dan tidak tahu diri. Sialan!
"Sedang menungguku, Sayang? Tenanglah, suamimu sudah ada di sini."
Suaranya sungguh membuat Rachelia terperanjat dan berbalik seketika.
Mata merahnya yang membola sempurna menangkap sosok iblis yang tengah berdiri angkuh tak jauh darinya. Dan pada saat itu juga kakinya terasa kebas, seakan tak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Bibirnya bergetar hebat bersamaan dengan air matanya yang menetes deras. Dan dia merasa jantungnya seakan direnggut dengan paksa.
Rachelia menelan ludahnya dengan kasar dan berharap dunia menelannya saat itu juga. Atau apa pun itu yang membuat dirinya tidak berhadapan langsung dengan Regan. Wanita itu tahu bahwa Regan akan melakukan sesuatu yang lebih buruk lagi dari biasanya. Wajah itu tampak mengkilap marah, turut serta dengan rahangnya yang mengetat ketika lelaki itu mendekat. Langkahnya tidak cepat. Sungguh, pria itu hanya berjalan tenang mendekatinya. Namun, aura kemarahannya terpancar jelas dan dia sendiri merasakannya.
"Kenapa? Kau merindukanku?"
"T—tidak ...." suaranya tercekat ketika Regan mendekatkan wajahnya.
"Lalu? Apa yang baru saja kau lakukan?"
Tangan pria itu terulur menyeka air mata Rachelia yang menitik sebelum kemudian menangkap rahang wanita itu dengan kasar.
"Apa kau tidak memikirkan, apa yang akan kau dapatkan setelah itu?"
Emosi Regan membuncah. Ia sungguh tidak sanggup bermain-main lagi. Perempuan itu memang tidak bisa diperlakukan dengan secara lembut.
Tidak, tidak, bahkan dengan cara apa pun juga, Rachelia masih selalu berani menantangnya.
Di benaknya hanya ingin memberi hukuman untuk wanita itu. Tanpa ampun. Agar perempuan keras kepala itu tahu bahwa percobaannya untuk melarikan diri itu benar-benar salah
"Aku hanya ingin pergi dari tempat ini, Regan!"
Tatapan Regan semakin tajam, seakan-akan tatapan itu bisa membunuh Rachelia seketika. Kali ini dia benar-benar marah, benar-benar tidak menyukai ucapan perempuan sialan itu.
"Jadi kau benar-benar ingin kabur, huh?"
"Ya! Karena aku tidak tahan tinggal di sini, aku tidak menyukai menjadi istrimu. Dan ya ... aku berniat kabur dari rumah ini!" Rachelia berteriak kencang, mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan Regan. "Lepaskan aku, sialan! Biarkan aku pergi."
Lama Regan memandangnya dengan tajam, sebelum menarik lengannya menaiki tangga.
"Baiklah, aku akan mengeluarkanmu dari rumah ini."