Aku masih tidak percaya. Karl, yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri memegang granat dan meledakan seisi rumah bersama dengan Cloudy , ternyata masih hidup!? Well, memang aku tidak melihatnya meledakan diri secara langsung. Tapi siapa yang tidak curiga dengan seorang pria yang memegang granat bersama penjahat dan sebuah rumah yang meledak? Siapapun itu, orang pasti berpikir bahwa tidak akan ada yang selamat dari ledakan sebesar itu. Namun semua berubah ketika Denny memperlihatkan foto itu.
"Karl? Masih hidup? A… aku tidak percaya… dia tidak mungkin… tidak akan dapat bertahan hidup…"
"Hey Herman. Dia Karl. Ingat? Manusia yang selalu selamat dari hal-hal ngaco? Selalu mempunyai tindakan yang tak terduga."
"Ta.. Tapi dia tidak mungkin selamat. Tidak. Hmm.. Tidak, tunggu dulu. Dia sedang mempermainkan kita. Kita hanyalah umpan kecil baginya."
"Loh kok? Gitu sih?" Tanya Rin sambil mengerutkan dahinya.
"Iya. Dia memang begitu. Manusia yang paling suka mempertaruhkan semuanya, manusia yang punya banget jalan-jalan yang gak terduga. Tapi tetep aja nonsense. Dia udah meledakan dirinya. Gue yakin banget!"
Semua diam untuk sesaat. Merenungkan apa yang aku katakan.
"Tapi Herman, memang kamu melihat sendiri, dengan mata kepala sendiri tentunya, dia meledakan dirinya? Bukannya yang kamu lihat Karl hanya memegang granat di tangannya? Kamu tidak melihat dia meledak kan? Sedangkan yang kamu lihat adalah rumahnya meledak, bukan Karl. Yang menjadi analisis saya akhir-akhir ini adalah mungkin ledakan itu bukan berasal dari granatnya. Lagi pula, mana bisa sebuah granat membuat rumah sebesar itu hancur menjadi berkeping-keping dalam satu ledakan bukan? Memang Karl ada didalamnya. Tapi ingat. Ini Karl. Karl Miller. Manusia yang punya banyak cara."
"Tapi Cloudy aja mati disana Danny! Dia mati! Dia tewas karena ledakan. Hasil lab membuktikan kalau Cloudy saja tewas! Apa lagi Karl?! Pikir dong! Pikir!"
"Kalau memang begitu, seharusnya polisi juga menemukan mayat Karl!"
Bentak Denny sambil memukul meja. Membuat semua orang yang berada di restaurant melihat kearah kami.
"Mungkin dia sudah hancur berkeping-keping?!" Tandasku
"Mungkin katamu? Mungkin? HAH! Seharusnya Cloudy juga begitu! Karena posisi terakhir yang kamu lihat adalah Karl menindih badan Cloudy. Jika Karl hancur berkeping-keping, maka Cloudy juga kan?! Begitukan? Begitu seharusnyakan?!"
"Ya berarti kalau Karl tidak hancur berkeping-keping, dia terpental jauh! Atau dia terkubur dalam-dalam di reruntuhan rumah itu!"
"Berarti, polisi seharusnya sudah menemukan mayat Karl di dalam rumah itu sewaktu mereka MEMBONGKAR SEMUA SISA-SISA RERUNTUHAN RUMAH ITU! FOR GOD SAKE! Terima aja kalau Karl masih hidup, Herman!"
"POKOKNYA KARL SUDAH TEWAS! DIA TEWAS! DAN TIDAK ADA YANG DAPAT MERUBAH FAKTA ITU! CAMKAN HAL ITU BAIK-BAIK DANNY!"
"LALU INI FOTO SIAPA HERMAN?! APA?! JELASIN SAMA SAYA INI FOTO SIAPA BODOH! JELASIN KE SAYA SEKARANG! HERMAN! JAWAB PERTANYAAN SAYA!"
Danny membentakku dengan begitu keras. Mukanya berubah menjadi muka yang penuh amarah dan kemuakan. Seakan-akan dia gak setuju dengan teori yang aku berikan. Seakan-akan dia mengindikasikan bahwa Karl memang masih hidup. Hal tersebut lah yang tidak masuk dalam logika ku. Entah mengapa, aku tidak terima jika Karl masih hidup. Perasaan ini tidak menentu. Seperti.. Seperti Aku sedang dibohongi habis-habisan oleh seorang anak SD. Marah, kesal, sedih, semuanya bercampur menjadi satu.
Suasana menjadi hening selama beberapa menit. Tidak satu orangpun dari kami mau membuka mulut kami. Entah itu Rin, Danny dan bahkan aku. Orang-orang disekeliling kami juga sudah beralih kepada urusan mereka masing-masing. Tidak lama kemudian, Cleo datang. Dan melihat kami semua yang terduduk diam tanpa kata, dia menjadi bingung sendiri.
"Eh, kalian kenapa? Kok hening? Terus itu foto siapa? Herman, aku liat yah fotonya."
Cleo memperhatikan foto itu dengan seksama, dan tidak lama kemudian…
"Ini Karl? Ini dia? Dia masih hidup? Kok bis… Oh my sweetheart Herman"
Tanpa basa-basi, Cleo memelukku. Aku rasa dia mengerti perasaanku yang sekarang. Perasaan yang sedang tercampur aduk tidak menentu. Pelukan Cleo mampu membuatku merasa nyaman dan tenang, sehingga aku dapat berpikir normal kembali.
"Aku tau apa yang kamu rasakan sayang. Aku tau. Kita gak usah bahas ini dulu ya. Kak Danny, simpan dulu foto-fotonya. Rin, ayo pergi. Kita kembali ke apartemen Herman."
Dalam perjalanan pulang, hatiku masih tidak menentu. Pikiran masih kacau balau. Bahkan Rin pun diam seribu bahasa. Tapi air matanya mulai menetes, satu demi satu karena shock yang dialaminya jika benar Karl yang kami pikir sudah mati, ternyata masih hidup. Karl? Hidup? BULLSHIT! Gak mungkin! Tapi bagaimana dengan fotonya? Bagaimana dengan kasus yang dia pecahkan akhir-akhir ini? Hal tersebut masih mendengung keras di dalam pikiranku, sampai-sampai mobil peninggalan Karl yang kami kendarai hampir menabrak sebuah bus. Karena kejadian itu, Cleo menggantikan aku untuk menyetir mobil.
"Sayang, aku tau apa yang ada didalam pikiran kamu sekarang. Sedih, marah, kecewa, bahagia, semuanya bercampur semenjak kamu liat foto itu bukan? Foto yang membuktikan Karl masih hidup…"
"Dia sudah mati Cleo! Sudah Mati!" kataku
"Oke oke sayang. Oke. Karl sudah mati… Sudah yah, jangan dibahas dulu masalah ini."
"Tapi foto itu asli Cleo. Asli. Mungkinkah dia masih hidup?" Ucap Rin sambil tetap meneteskan air matanya.
"Apa sih Rin? Dia sudah mati! Oke? Sudah mati!"
"Herman! Cukup yah! Kamu gak liat Rin dari tadi nangis terus di belakang hah?! Kamu seharusnya juga bisa mengerti perasaan dia. Jangan jadi egois begini."
Aku kembali terdiam. Iya. Apa yang dikatakan Cleo benar. Aku tidak bisa menjadi egois begini. Bukan hanya aku yang kehilangan dia. Tapi Rin, Cleo, Denny dan seluruh keluarga besar Miller juga kehilangan sosok seorang Karl. Seseorang yang baik, yang tulus, yang selalu care kepada setiap orang. Seseorang yang jenius tapi sangat ngeselin dan penuh dengan semangat. Seorang sahabat yang tidak akan pernah tergantikan.
Kami tiba di apartemen. Setelah mengantarku, Cleo dan Rin pulang naik taksi. Lalu aku mulai masuk kedalam lift, menekan angka 21. Tiba di lantai 21, aku berjalan menuju kamar nomor 177. Tempat tinggalku dan Karl. Aku mulai menggesekan kartu. Sebelum membuka pintu, aku mengambil nafas dalam-dalam dan akhirnya membuka pintu. Hal pertama yang aku lihat adalah sofa tempat Karl biasanya duduk. Aku bahkan dapat membayangkan Karl yang sedang tersenyum kearahku sambil memainkan psp kesayangnnya. Aku tersenyum ke arahnya dan saat aku mulai melangkah, bayangan itu lenyap. Perasaan ku semakin tidak menentu. Kuputuskan untuk berjalan ke balkon. Tempat dimana Karl biasanya mencari inspirasi dan bersantai.
Aku menggeser pintu kaca yang menjadi pembatas antara ruangan utama dan balkon diluar, mulai melangkah ke balkon dan ya, aku berdiri di balkon sekarang. Dari sini, aku bisa melihat pemandangan Jakarta di sore menjelang malam. Lampu-lampu jalanan yang mulai menyala, burung-burung yang berterbangan untuk pulang ke sarangnya, langit yang berwarna oranye tua sebagai tanda matahari akan segera tenggelam beberapa saat lagi, ditambah dengan hembusan angin sore yang lembut. Pemandangan yang cukup membuat aku harus menghela nafas. Rupanya hal inilah yang dilihat Karl setiap hari sepanjang hidupnya. Pemandangan yang cukup mengesankan di tengah kota Jakarta.
"Seandainya… Seandainya lo ada disini sekarang, Karl." gumamku
Air mata mulai mengalir dari mata menuju pipiku hingga akhirnya terjatuh ke lantai. Aku terpaksa harus kembali menghela nafas untuk tetap membuat diriku tenang. Ketika aku menoleh ke kanan, aku melihat bayangan Karl yang sedang berdiri tepat disampingku sambil menikmati pemandangan dari atas balkon ini.
"Pemandangan yang indah bukan, Herman?" katanya dengan lembut.
Aku kembali memandang kedepan. Kembali melihat pemandangan sore hari ini. Awan, langit yang berwarna oranye, lampu-lampu yang mulai menyala. Semuanya aku perhatikan.
"Iya Karl. Sangat indah." Jawabku sambil tetap melihat pemandangan tersebut.
Dan akhirnya bayangan itu kembali lenyap bersama dengan hembusan angin. Perlahan tapi pasti, air mata mulai membasahi pipiku. Semakin lama semakin aku tidak kuat menahan tangisan ini. Aku akhirnya berlutut dan mulai menangis saat matahari sudah terbenam, dan awan menjadi gelap.
><><><><
6 January 2014. Pkl 07:00
Beberapa hari setelah merayakan tahun baru dan menikmati kembang api tanpa Karl, aku yang masih berada di tempat tidur dibangunkan dengan ketukan yang berulang-ulang dari pintu utama. Aku berusaha menyadarkan diriku, mulai bangun dan berjalan ke pintu utama. Ketika aku membuka pintu, Danny sudah berada di depan pintu.
"Herman. Ganti bajumu sekarang, dan ikut aku ke tempat kejadian perkara di daerah BSD. Ada kasus pembunuhan yang mungkin cukup menarik perhatian kamu nantinya."
"Hah? Kasus? Tapi saya sudah tidak menangani kasus lagi semenjak Karl meninggal."
"Tidak-tidak. ini sangat menarik dan mungkin akan membawa kita kepada Karl." Katanya dengan antusias.
To Be Continued
Next Issues: Danny dan Herman menangani sebuah kasus yang mereka yakini akan membawa mereka kepada Karl. Tapi tak disangka, mereka malah bertemu 'teman lama'. Siapakah dia?