Chereads / The Adventure of Detective Karl / Chapter 18 - Side Story Part Four: Masa Lalu yang Kelam

Chapter 18 - Side Story Part Four: Masa Lalu yang Kelam

______________________________________________

Author Note:

Beverly dalam bahaya besar! Mampukah Karl menyelamatkannya?

______________________________________________

Inspektur segera menyuruh para polisi untuk berangkat ke London Eye. Karl dan si kembar kali ini satu mobil dengan Inspektur. Sepanjang perjalanan, Karl gelisah. Pikirannya kacau. "Beverly. Kenapa harus dia?" Pikirnya. "Mungkinkah ada hubungan sama kasus yang pernah gue pecahkan sebelumnya?"

Melihat sahabatnya gelisah membuat Felix dan Rave menjadi sedih. Si kembar ini memang terbilang sangat peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Mereka gak rela kalau orang itu sedih. Terlebih kalau itu sahabatnya sendiri.

"Karl." Tegur Felix.

"Apa?" Jawab Karl.

"Lo yang tenang ya. Beverly itu pinter, dia kuat. Dia pasti bisa bertahan disana." Kata Rave coba menenangkan.

"Dan gue yakin, dia pasti nunggu kita. Terutama Lo. Tenang yah." Kata Felix.

Dua anak kembar itu lalu memegang pundak Karl. Karl merasa lebih baik sekarang.

"Yap. Apa yang di katakan kalian benar. Gue harus tenang dan fokus. Beverly akan baik-baik saja. Dia cewek pintar dan kuat. Gue yakin itu." Karl mencoba meyakinkan dirinya.

Perjalanan memakan waktu cukup lama. Tapi, sebelum sampai di London Eye, radio polisi di mobil inspektur berbunyi.

"Kami melihatnya inspektur! Kami melihat Beverly Watson bersama seorang tersangka!"

"Segera amankan mereka! Kami masih dalam perjalanan" Balas Inspektur.

"Dia tidak mau inspektur! Kami juga tidak bisa mendekatinya. Tersangka membawa pistol dan ditodongkan ke kepala korban! Dia mengancam jika kami mendekat, maka dia akan menembak! Tersangka dan korban naik kincir raksasa! Sekarang mereka berada tepat di level atas." Jawab polisi yang lain

"Inspektur. Dia tidak akan menyerah. Lebih baik kita bergerak lebih cepat" Karl panik kali ini.

Inspektur menginjak pedal gas lebih dalam.

Setibanya di London Eye, Karl, Inspektur beserta Felix dan Rave segera mencari tahu apa yang telah terjadi.

"Opsir. Apa yang sedang terjadi?"

"Begini inspektur. Korban dan tersangka sekarang berada di level atas. Mereka berada di titik puncak. Tersangka meminta jangan ada seorang pun yang menggerakan kincir kecuali…." Polisi itu berhenti.

"Kecuali apa?" Tanya Inspektur penasaran.

"Tidak ada yang boleh masuk kecuali Karl. Itu kata tersangka kepada kami."

Mereka semua diam untuk beberapa saat. Karl kini yakin. Orang yang menjadi tersangka itu adalah orang yang pernah dia tangkap sebelumnya. "Tapi siapa?" Terlepas dari itu, dia tau pasti. Orang ini pernah bertemu juga dengan Beverly. Tidak. Lebih tepatnya, dia pernah bertemu dengan keduanya. Itu terbukti mengapa si tersangka bisa menggunakan Beverly sebagai titik lemah Karl.

"Tidak. Kita tidak bisa mengorbankan Karl." Kata inspektur.

"Lagi pula," Lanjutnya "Kita akan mengirim polisi ke atas sana."

"Tidak inspektur. Tidak. Aku yang akan melakukannya. Orang ini tau pasti kelemahanku. Dia pernah bertemu dengan ku dan Beverly sebelumnya saat menangani sebuah kasus." Kata Karl.

"Kami rasa kami tau dia siapa. Dia yang Karl tangkap minggu lalu" Kata Felix.

"Yap. Yang hampir membuat Karl tertembak namun tembakannya meleset." Tambah Rave.

"Gary Smith Philips. Dia yang Karl tangkap minggu lalu, yang tembakannya meleset. Ya, saya memang mendengar kabar kalau di kabur dari penjara baru-baru ini." Kata Inspektur.

"Pasti dia. Inspektur. Ijinkan aku masuk ke kapsul itu untuk bertemu dengan dia."

"Karl, itu terlalu berbahaya. Saya tidak bisa mengorbankan…."

"Inspektur! Ini tidak apa-apa. Saya akan baik-baik saja. Masalah ini, saya yang akan menyelesaikannya. Lagi pula, dia hanya butuh saya kan?" Kata Karl dengan tenang.

"Baiklah jika memaksa. Saya akan memberikan persiapan…."

"Tidak usah inspektur. Saya akan menangani ini tanpa kekerasan."

"Tapi bawalah pistol ini untuk berjaga-jaga." Inspektur memberikan pistol kepada Karl.

Karl mengangguk setuju. Setelah itu, dia berjalan menuju ke kincir besar itu. Ketika dia sampai tepat di bawah kincir besar itu, sang tersangka, Gary, melihatnya dari dalam kapsul di atas.

"GARY!" Teriak Karl. "AKU DISINI! TURUNKAN KAPSULNYA DAN KITA BICARA! AKU YANG ANDA INGINKAN!"

Gary memberi isyarat untuk pegawai di bawah menurunkan kapsulnya. Setibanya di bawah, Karl langsung masuk ke dalam kapsul itu dan kapsul itu kembali ke atas. Karl kini berhadapan langsung dengan lawannya. Dia melihat Gary yang berdiri dan Beverly yang berlutut. Gary memegang dagu Beverly dengan tangan kirinya dan mendongkan pistol ke kepala Beverly dengan tangan kananya. Sementara itu, Beverly berusaha agar tetap tegar walaupun dari tadi air matanya terus mengalir. Wajahnya mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja. Bahkan Beverly tersenyum kepada Karl.

"Sebentar lagi semua ini akan selesai, Beverly." Kata Karl.

"Ya. Gue tau lo pasti datang Karl." Jawab Beverly.

"Karl. Aku bersumpah! Jika anda datang lebih dekat, aku takan ragu untuk meledakan kepala wanita ini!" Kata Gary mengancam.

"Apa yang anda inginkan?!" Tanya Karl.

"Kematian anda, Karl. Ya. Kematian anda."

"Kematian saya?"

"Ya"

"Jika memang mengingkan kematian saya, kenapa anda menangkap wanita itu?"

"Karena dengan cara inilah saya bisa menemukan anda. Dia lah kelemahan terbesar anda!"

Beverly yang mendengarkan Gary seketika itu juga menunduk. Dia menangis. Dia tau kalau dirinya lah yang menjadi beban dalam tugas Karl. Dirinya yang di jadikan umpan agar Karl datang dan dibunuh oleh Gary. Kini orang yang dia sayangi akan mati di hadapannya. Menangis. Beverly hanya bisa menangis.

"Maaf, Karl." Kata Beverly.

Karl melihat Beverly menangis. Karl tau apa yang dirasaka Beverly. Dia lalu menghela nafas, lalu mulai berbicara.

"Tidak. Ini bukan salah lo Bev. Hey Gary. Anda benar-benar mengingkan kematian saya?" Tanya Karl

"Ya. Kau tau? Semenjak para polisi menangkapku, mereka juga menangkap teman-teman ku. Organisasi yang aku bangun selama ini… Hampir hancur berantakan! Aku akan membangunnya sekali lagi dan membuat organisasi ini jauh lebih kuat dari apa yang pernah anda bayangkan! Ingat itu!"

"Organisasi. Anda punya organisasi?! Dan ini semua demi organisasi itu?!" Tanya Karl penuh amarah.

"Iya! Aku punya sca…"

Belum sempat Gary menyelesaikan kalimatnya, Karl menyela.

"Berisik. Anda benar-benar berisik!"

Karl mengeluarkan pistol dari sakunya dan mengarahkannya pada Gary.

"Anda pikir aku takut hah?! Aku punya wanita yang anda sayangi disini! Dasar pria lemah! Aku dapat membunuhnya sewaktu-waktu! Turunkan senjatamu!" Teriak Gary yang semakin mendongkan senjatanya ke kepala Beverly dan siap menarik pelatuk.

"Maaf, Beverly" Kata Karl yang langsung menembak ke dada Gary.

DOR! Tembakan Karl tepat di dada Gary. Membuat Gary terjatuh. Beverly langsung berlari ke arah Karl dan memeluknya. Mereka berpelukan. Tapi bukan tanpa alasan mengapa Beverly memeluk Karl. Beverly tau penjahat itu akan berdiri dan menghabisi Karl. Dan itu terjadi. Gary bangkit dan menembak.

DOR! DOR!

Dua tembakan di lepaskan. Peluru-peluru itu terbang menuju badan Beverly yang memeluk Karl. Karl melihat kejadian itu. Dia shock. Badannya seakan terpaku tidak dapat bergerak.

Beverly berbisik lembut kepada Karl. "Aku sayang kamu. Karl" Lalu badannya menjadi lemas. Dia melepaskan pelukannya dari Karl dan terjatuh. Tapi sebelum badannya menyentuh lantai, Karl dengan cepat menopang badan Beverly. Kini Beverly sekarat. Tapi dia dapat melihat amarah yang besar dari mata Karl.

"Dasar bodoh! Wanita bodoh! Menghalangi saja!" Teriak Gary.

Karl benar-benar marah. Dia mengangkat pistolnya dan menembak.

DOR! DOR!

Dua tembakan pertama meleset. Membuat kaca di belakang Gary pecah menjadi berkeping-keping.

"Hey Karl! Tidak bisa menem…."

"Berisik!" Sela Karl

DOR! Kali ini tembakannya tepat. Peluru melayang tepat ke dada sebelah kiri Gary. Membuat Gary mundur beberapa langkah, dan dia terjun bebas dari kapsul ke laut di bawahnya.

Karl melayangkan pandangannya pada Beverly. Dia suda tidak peduli lagi denga Gary. Kini matanya fokus menatap Beverly yang sedang sekarat. Darah Beverly mulai bercucuran dari punggungnya. Mata Beverly berkaca-kaca.

"Hey Karl. Selamat pagi." Kata Beverly lemah.

"Pagi. Beverly." Jawab Karl.

"Maaf sudah…."

"Berisik. Beverly. Bisakah lo diam? Gue aka membawa lo ke rumah….."

"Tidak Karl! Tidak. Sudah terlambat. Aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi.."

"Tapi Bev…."

"Sut. Sudah. Dengarkan aku baik-baik Karl."

Karl diam. Dia menggenggam erat tangan kanan Beverly yang sudah mulai mendingin dan lemah. Beverly memandang wajah Karl. Lalu dia tersenyum.

"Selama ini…" Lanjut Beverly. "Selama ini.. Aku menyayangi mu, Karl. Aku tidak mau kehilangan kamu. Aku takut kehilangan kamu."

"Ya. Aku tau Beverly." Kata Karl sementara kincir besar itu begerak ke bawah.

"Dengar Karl. Aku mau…. Jangan bahayakan dirimu dalam setiap kasus. Jaga kesehatan kamu ya…." Beverly diam sebentar, lalu dia menangis.

Karl mengusap air matan Beverly. Hatinya sedih saat itu. Entah harus bilang apa lagi. Perasaan yang tidak bisa di tuliskan bahkan oleh seorang penulis ternama sekalipun.

"Dan… Jangan kebanyakan tidur di kelas apa lagi di taman." Lanjut Beverly sambil tersenyum.

"I… Iya… Beverly." Suara Karl mulai bergetar, perasannya tidak menentu.

"Karl… Aku tidak mau melihat kamu menangis. Aku mau di sisa hidupku, aku melihat orang yang aku sayang tersenyum. Hidup kamu masih panjang. Jangan pernah berhenti karena aku. Aku mau kamu untuk move on. Kenangan kita memang banyak. Tapi jangan jadikan itu alasan kesedihan kamu. Karl… Tersenyumlah" Kata Beverly masih tersenyum.

"Iya, Beverly…."

"Janji?"

"Janji"

"Kalau begitu, terseyum lah… Karl.."

Karl lalu mencoba tersenyum meski itu dia paksakan. Perasaan yang hancur tidak dapat dia kendalikan. Dia tetap meneteskan air matanya.

"I love you." Kata Beverly yang sudah sangat lemah.

"I love you too, Beverly" Jawab Karl.

"Good bye…Karl…"

Setelah mengucapkan kalimat itu, kedua kelopak mata Beverly pun menutup. Genggaman tanganya melemas. Tubuhnya menjadi dingin. Jantungnya berhenti berdetak, dan ia menghembuskan nafas terakhir nya sambil tersenyum bersamaan dengan berhentinya kapsul itu di bagian bawah.

Karl bingung. Kini perasaannya benar-benar hancur dan tidak menentu. Dia masih tidak percaya. Dia coba menggoyangkan tubuhnya Beverly sambil berkata "Beverly… Beverly…." Lalu dia terdiam sesaat.

"Beverly…" Katanya lagi. Tapi kali ini dia memeluk Beverly yang sudah tidak bernyawa… Karl menangis sejadi-jadinya…

"Beverly.. Bangun.. Bangun.. Bangun sayang.." Bisik Karl dengan lembut sambil menangis dan memeluk tubuh Beverly erat-erat.

Beberapa polisi melihat kejadian itu. Termasuk inspektur David dan si kembar. Rave dan Felix. Merek semua terdiam dan terlarut dalam kesedihan. Bukan. Bukan hanya karena Beverly meninggal. Tapi mereka melihat sikap Karl yang mencoba membangunkan Beverly walau dia sendiri tau, Beverly sudah tiada.

"Beverly… BEVERLY!!! BANGUN!!!" Teriakan Karl memecahkan keheningan siang itu.

Dia mengucapkan kalimat yang sama itu berulang-ulang kali. Felix dan Rave menangis juga. Namun mereka tahu apa yang harus di perbuat kepada sahabatnya ini. Mereka mendekati Karl, memeluknya dan mencoba mengangkat Karl.

"Karl. Sudah… Sudah cukup.." Kata Felix.

"Tapi… Jika… Jika tadi gue menembak mati orang itu, Beverly tidak akan begini…" Kata Karl masih dengan tangisan yang tidak dapat dibendung.

"Sudahlah. Itu sudah terjadi. Setidaknya Beverly dapat menyelamatkan lo dan dia sudah mengetahui bahwa lo juga mencintai dia. Sudah… Lo gak bisa begini terus." Kata Rave mencoba menguatkan.

Kedua anak kembar itu mengangkat Karl. Petugas medis masuk dan mengangkat jasad Beverly. Sungguh hari yang sangat kelam. Itu adalah hari terburuk sepanjang hidup Karl. Hatinya yang hancur, mustahil dapat di bangun kembali. Karl mengalami penderitaan yang sangat berat. 1 tahun setelah kejadian itu. Karl meminta untuk bersekolah di Jakarta. Ya. Dia mau dirinya melupakan peristiwa tersebut.

Sementara Karl mengenang memori kelam itu, tanpa sadar dirinya larut dalam kesedihan. Air matanya becucuran. Tubuhnya menjadi lemas. Hatinya kembali hancur. Dia lalu jatuh dalam keadaan berlutut. Perasaannya kini bagai badai di laut.

"Bev… Kenapa… Kenapa?!" Kata Karl.

"Apa yang harus gue lakukan?! Apa?" Lanjutnya

Sementara Karl larut dala kesedihannya, matahari mulai bangkit dan menyinari wajah Karl. Lalu Herman yang baru bangun, keluar dari kamarnya. Dia melihat Karl belutut di balkon sambil menangis.

"Eh, Karl… Kenapa?" Kata Herman.

To Be Continued

Next Issues: Setelah mengingat masa lalu Karl yang Kelam. Masih mampukah dia menerima, Rin?