Chereads / Mengejar Cinta Guru Tampan / Chapter 8 - Flasback 2

Chapter 8 - Flasback 2

Yang aku lihat itu adalah Desi, bukannya Desi sama Irfan pacaran? Ini kok lagi bermesraan dengan cowok lain?

Issss lagian apa peduliku.

"Din, Dini. Lihat tu." Kusenggol lengan Dini untuk mengikuti arah pandangku.

"Itu Desi kan?" Tanya Dini.

"Iya, itu Desi. Tapi kok sama cowok lain ya?" Tanyaku pada Dini.

"Kita abadikan momen mereka." Ucap Dini tersenyum licik.

Aku tau maksud dari ucapan Dini, ternyata kita sepemikiran. Segera kuambil ponselku dalam saku celana, kupotret dua manusia itu. Sebagai bukti jika Desi itu bukan cewek baik-baik. Aku akan menyerahkan bukti ini pada Irfan suatu saat nanti jika Desi berulah.

Eiitttsss, tapi aku nggak boleh gegabah, aku mempunyai cara lain tanpa menunjukkan foto Desi secara langsung pada Irfan.

Setelah mendapatkan foto-foto Desi, aku mengajak Dini untuk segera pulang.

Sebelum pulang aku upload dulu fotoku disosial media, yang menampakkan Desi lagi bermesraan dengan seorang cowok jauh dibelakangku. Tapi masih sangat dikenali kalau itu memang Desi.

Tak lupa kuberi caption "cari udara segar ditaman". Agar tak ketahuan kalau itu memang rencanaku untuk membuat Irfan dan Desi putus. Karena memang sosial mediaku semuanya berteman dengan Irfan, aku yakin Irfan pasti melihatnya.

Selesai mengapload foto-fotoku di taman aku segera pulang. Rasanya malas banget pulang kerumah, karena pasti nggak ada siapapun dirumah. Aku butuh teman ngobrol, aku butuh teman curhat, aku butuh perhatian. Andai Mama dan Papa tau itu.

Sampai didepan rumah aku segera turun dari jok motor Dini, dan Dini pamit untuk pulang. Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Perut terasa selalu kenyang saat dirumah, maka dari itu aku nggak pernah makan masakan Mama. Sarapan di kantin, makan siang di kantin, makan malam di kave sama Dini. Kalau makan dirumah rasanya hambar, karena nggak ada teman buat becanda saat makan.

Jangan tanya kenapa nggak minta temani Dini aja dirumah?

Dini sudah sering menginap dirumahku, aku juga sering menginap di rumah Dini. Nggak mungkin kan selamanya seperti itu.

Jadi kita berisiatif untuk belajar hidup mandiri tanpa siapapun. Walaupun masalah duit masih minta orang tua sih.

Aku segera mandi dan setelah itu tidur, karena tadi di taman sebelum pulang aku makan bakso jadi sekarang masih kenyang. Lebih baik aku tidur sampai besok, karena lagi malas ngapa-ngapain. Lagian Mama dan Papa juga pulangnya pasti tengah malam.

Saat aku tidur tiba-tiba terdengar suara pintu utama dibuka. Itu pasti Mama dan Papa yang baru pulang. Aku mengambil handpone diatas nakas dan melihat jam, ternyata sudah jam 1 malam. Sudah selama itu aku tidur? Perasaan tadi aku tidur jam 4 deh, masa iya sampai jam 1. Aku kira tadi bakal bangun jam 8. Rencananya ingin mengajak Dini keluar cuci mata. Eh malah tidur kebablasan.

Yaudah deh lanjut tidur aja sekalian.

**pagi hari** alarm berbunyi.

Segera kumatikan alarm dihandpone sambil sesekali mengucek mata. Aku harus segera bangun, mandi, dan bersiap kesekolah. Karena aku ingin melihat perang dunia yang membuat hatiku berbunga-bunga. Hihi

Ayoo bangun Amaira... bangun.

Kalau kamu nggak segera bangun, nanti nggak akan ada yang bangunin kamu, dan kamu juga nggak akan bisa melihat momen-momen terbahagia disekolah untuk yang kedua kalinya. Karena nggak ada siaran ulang.

Setelah bangun aku langsung mandi. Memasukkan semua keperluan sekolah, dan setelah itu keluar kamar.

"Kamu sudah siap sayang? Yuk berangkat." Ajak Papa dengan melangkah keluar rumah. Sepertinya Papa kesiangan, biasanya saat aku bangun Papa sudah nggak ada dirumah. Maklumlah, aku biasa berangkat sekolah jam 8. Jika pintu gerbang sudah ditutup, manjat dinding lah. Nggak repot kalau buat Amaira mah. (Adegan ini dilarang ditiru ya gaeess)

Setelah aku masuk mobil, Papa segera menjalankan mobilnya menuju sekolahku.

Tak butuh lama mobil Papa sudah sampai didepan gerbang sekolah. Aku segera turun dan pamitan sama Papa. Kulangkahkan kakiku menuju kelas.

"Tumben tuan putri Amaira sudah nyampai kelas. Padahal baru jam 7 kurang 10 menit loh." Ucap salah satu teman kelasku.

"Iya dong. Karena memang ada tujuannya, dan tujuannya yaitu mau melihat perang dunia secara live." Ucapku sambil tersenyum.

Mereka seketika diam. Mungkin bingung dengan ucapanku. Biarin lah.

Terdengar suara keributan dari arah luar. Semua teman kelasku keluar satu per satu untuk melihat keributan yang ada di luar. Perang segera dimulai. Hihi.

Aku pun ikut keluar untuk melihat apa yang terjadi. Tapi, sebelum aku keluar tiba-tiba Irfan dan Desi masuk kedalam kelasku.

"Amaira, boleh aku pinjam handponmu?" Tanya Irfan padaku. Desi langsung menyahut sebelum aku menjawab.

"Amaira, jelaskan sama Irfan kalau bukan aku yang ada dalam fotomu." Ucap Desi seperti memohon.

"Sebenarnya kalian ini kenapa sih?" Tanyaku sok bingung.

"Amaira, cepat jelaskan." Bentak Desi.

Aku hanya diam. Sebenarnya aku nggak takut sama sekali dengan Desi, tapi memang aku sok lemah aja biar Irfan sedikit iba.

"Pelankan nada bicaramu sama Amaira." Ucap Irfan menegaskan.

Ada sedikit rasa bahagia menyelimuti hati melihat mereka seperti ini. Tapi semua itu kan real, bukan fitnah. Jadi Desi harus menanggung akibatnya karena sudah bermain-main dengan cinta.

"Aku cuma mau pinjam handponmu, Amaira." Ucap Irfan dengan nada merendah.

Kukeluarkan handponku dari dalam tas dan kukasihkan pada Irfan. Kulihat Irfan sedang membuka galeriku. Irfan melihat-lihat semua fotoku yang kemarin aku ambil di taman. Dengan berbagi pose yang berbeda-beda.

"Nih, buktinya lebih banyak. Kamu mau ngelak lagi, hah." Bentak Irfan pada Desi.

"A..aku bisa jelasin." Ucap Desi memelas sambil memegang tangan Irfan.

"Aku nggak butuh penjelasanmu." Ucap Irfan sambil melepaskan pegangan tangan Desi dengan kasar. "Amaira, makasih ya!" Irfan mengembalikan handponku dan segera pergi.

Aku hanya mengangguk. Kulihat Desi menatapku dengan tatapan nyalang.

Lo pikir gue takut? Haha.

"Gue tunggu lo di lapangan sekolah waktu istirahat." Ucap Desi padaku dengan tatapan nyalang.

Saat istirahat tiba, aku menemui Desi di lapangan sekolah, dikira aku takut. Haha enggak lah.

"Gue tau itu rencana lo buat hancurin hubungan gue sama Irfan." Desi mencengkeram lenganku dengan sangat kencang.

"Kalau iya memang kenapa?" Ucapku sambil melepas paksa cengkraman tangan Desi dan mendorongnya keras, hingga membuat Desi terjungkal kebelakang. "Lo pikir gue takut sama lo, hah." Lanjutku menarik rambutnya.

"Amaira, lepasin. Gue pastiin setelah ini lo nggak bakal ketemu sama Irfan selamanya, lo bakal dikeluarin dari sekolah ini, Amaira." Desi berteriak sambil mencoba melepaskan rambutnya dari tanganku.

"Gue nggak takut. Jangan mentang-mentang Papa lo mempunyai peran penting di sekolah ini terus gue bakal takut sama lo, gue sama sekali nggak takut sama lo, Desi." Ucapku tak mau kalah sambil terus menarik rambutnya.

"Gue bantuin, Ra." Dini berlari kearahku dan langsung memegang kedua tangan Desi sampai tak bisa berkutik.

Reflek aku membuat Desi terluka tanpa sadar.